KlinikBerita
New
Hukumonline Stream
Data PribadiJurnal
Personalisasi
Halo,
Anda,

Segera Upgrade paket berlangganan Anda.
Dapatkan fitur lebih lengkap
Profil
Ada pertanyaan? Hubungi Kami
Bahasa
id-flag
en-flag

Jerat Hukum Penganiayaan PRT Anak

Share
Pidana

Jerat Hukum Penganiayaan PRT Anak

Jerat Hukum Penganiayaan PRT Anak
Rifdah Rudi, S.H.Si Pokrol

Bacaan 10 Menit

Jerat Hukum Penganiayaan PRT Anak

PERTANYAAN

Mau tanya, apabila si A mengizinkan anak di bawah umur yang bekerja kepadanya sebagai pekerja rumah tangga (PRT) dibawa pergi oleh si B untuk pindah kerja, dan ternyata anak tersebut dianiaya atau mengalami tindak kekerasan, apakah si A terkena sanksi pidana juga?

DAFTAR ISI

    INTISARI JAWABAN

    Perlu diketahui bahwa terdapat empat golongan penyertaan yang membuat seseorang dapat dipidana yaitu pelaku (pleger), menyuruh melakukan (doenpleger), turut serta (medepleger), dan penganjur (uitlokker). Lantas, apakah pihak A sebagaimana Anda tanyakan dapat dipidana?

     

    Penjelasan lebih lanjut dapat Anda baca ulasan di bawah ini.

    ULASAN LENGKAP

     

    Terima kasih atas pertanyaan Anda.

    KLINIK TERKAIT

    Daluwarsa Tindak Pidana Perkosaan dan Penganiayaan

    Daluwarsa Tindak Pidana Perkosaan dan Penganiayaan

    Artikel di bawah ini adalah pemutakhiran dari artikel dengan judul Ancaman Pidana Pelaku Kekerasan Terhadap PRT Anak yang dibuat oleh Tri Jata Ayu Pramesti, S.H. dan pertama kali dipublikasikan pada 15 Maret 2017.

    Seluruh informasi hukum yang ada di Klinik hukumonline.com disiapkan semata – mata untuk tujuan pendidikan dan bersifat umum (lihat Pernyataan Penyangkalan selengkapnya). Untuk mendapatkan nasihat hukum spesifik terhadap kasus Anda, konsultasikan langsung dengan Konsultan Mitra Justika.

    Belajar Hukum Secara Online dari Pengajar Berkompeten Dengan Biaya TerjangkauMulai DariRp. 149.000

     

    Penyertaan dalam Tindak Pidana

    Untuk menjawabnya, kami akan menggunakan pendekatan teori penyertaan dalam tindak pidana sebagaimana termuat pada Pasal 55 KUHP lama maupun Pasal 20 UU 1/2023 tentang KUHP baru yang berlaku 3 tahun sejak tanggal diundangkan,[1] yaitu tahun 2026.

    Pasal 55 KUHP

    Pasal 20 UU 1/2023

    1. Dipidana sebagai pelaku tindak pidana:
    1. mereka yang melakukan, yang menyuruh melakukan, dan yang turut serta melakukan perbuatan;
    2. mereka yang dengan memberi atau menjanjikan sesuatu, dengan menyalahgunakan kekuasaan atau martabat, dengan kekerasan, ancaman atau penyesatan, atau dengan memberi kesempatan, sarana atau keterangan, sengaja menganjurkan orang lain supaya melakukan perbuatan.
    1. Terhadap penganjur, hanya perbuatan yang sengaja dianjurkan sajalah yang diperhitungkan, beserta akibat-akibatnya.

     

    Setiap orang dipidana sebagai pelaku tindak pidana jika:

    1. melakukan sendiri tindak pidana;
    2. melakukan tindak pidana dengan perantaraan alat atau menyuruh orang lain yang tidak dapat dipertanggungjawabkan;
    3. turut serta melakukan tindak pidana; atau
    4. menggerakkan orang lain supaya melakukan tindak pidana dengan cara memberi atau menjanjikan sesuatu, menyalahgunakan kekuasaan atau martabat, melakukan kekerasan, menggunakan ancaman kekerasan, melakukan penyesatan, atau dengan memberi kesempatan, sarana, atau keterangan.

     

     

    Adapun berdasarkan kedua pasal tersebut dapat disimpulkan bahwa terdapat empat golongan orang yang dapat dipidanakan, yakni:

    1.  
    2. Pelaku (pleger);
    3. Menyuruh melakukan (doenpleger);
    4. Turut serta (medepleger);
    5. Penganjur (uitlokker).

    R. Soesilo dalam bukunya Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) Serta Komentar-Komentarnya Lengkap Pasal Demi Pasal menjelaskan mengenai apa yang dimaksud dengan “orang yang turut melakukan” (medepleger) dalam Pasal 55 KUHP (hal. 73). Menurut R. Soesilo, “turut melakukan” dalam arti kata “bersama-sama melakukan”. Sedikit-dikitnya harus ada dua orang, ialah orang yang melakukan (pleger) dan orang yang turut melakukan (medepleger) peristiwa pidana. Di sini diminta bahwa kedua orang itu semuanya melakukan perbuatan pelaksanaan, jadi melakukan anasir atau elemen dari peristiwa tindak pidana itu.

    Oleh karena itu, tidak boleh misalnya hanya melakukan perbuatan persiapan saja atau perbuatan yang sifatnya hanya menolong, sebab jika demikian, maka orang yang menolong itu tidak masuk “medepleger” akan tetapi dihukum sebagai “membantu melakukan” (medeplichtige).  Penjelasan lebih lanjut dapat Anda simak dalam artikel Perbedaan Turut Serta dan Pembantuan Tindak Pidana.

    Kemudian apabila mengacu pada penggolongan pelaku pidana di atas, menurut hemat kami A tidak dapat disebut sebagai “pelaku” (pleger) karena pelaku kekerasan sesungguhnya adalah B. Adapun A juga bukan termasuk orang yang “menyuruh melakukan” (doenpleger) karena A tidak menyuruh B untuk melakukan kekerasan pada si pekerja anak tersebut. Selanjutnya A juga tidak bisa dikategorikan “turut serta” (medepleger) karena A tidak melakukan perbuatan pelaksanaan dari tindak kekerasan tersebut. Selain itu, A juga tidak memenuhi unsur sebagai “penganjur” (uitlokker) karena B melakukan kekerasan kepada anak tersebut bukan anjuran/saran dari A.

    Sehingga berdasarkan keterangan di atas, A tidak dapat dipidana karena A tidak dapat dikategorikan ke dalam empat golongan yang dapat dipidanakan menurut KUHP atau UU 1/2023.

    Baca juga: Di Usia Berapa Anak Boleh Dipekerjakan?

     

    Pasal Penganiayaan Anak dalam UU Perlindungan Anak

    Perlu diperhatikan bahwa pada dasarnya pasal tentang penganiayaan anak ini diatur khusus dalam Pasal 76C UU 35/2014 yang berbunyi sebagai berikut:

    Setiap Orang dilarang menempatkan, membiarkan, melakukan, menyuruh melakukan, atau turut serta melakukan Kekerasan terhadap Anak.

    Adapun selanjutnya sanksi bagi orang yang melanggar pasal di atas (pelaku kekerasan/penganiayaan) ditentukan dalam Pasal 80 UU 35/2014:

    1. Setiap Orang yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 76C, dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun 6 (enam) bulan dan/atau denda paling banyak Rp72 juta.
    2. Dalam hal Anak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) luka berat, maka pelaku dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan/atau denda paling banyak Rp100 juta.
    3. Dalam hal Anak sebagaimana dimaksud pada ayat (2) mati, maka pelaku dipidana dengan pidana penjara paling lama 15 (lima belas) tahun dan/atau denda paling banyak Rp3 miliar.
    4. Pidana ditambah sepertiga dari ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), dan ayat apabila yang melakukan penganiayaan tersebut Orang Tuanya.

    Penjelasan lebih lanjut tentang tindak pidana penganiayaan anak dapat Anda simak artikel Jerat Pasal Penganiayaan Anak yang Menyebabkan Koma.

     

    Perspektif UU Penghapusan KDRT

    Dalam hal si anak bekerja sebagai pembantu untuk B, maka perbuatan B juga dapat dijerat dengan ketentuan UU PKDRT dikarenakan karena perbuatannya itu termasuk kategori kekerasan dalam rumah tangga (“KDRT”).

    Adapun lingkup rumah tangga dalam UU PKDRT dapat meliputi juga orang yang bekerja membantu rumah tangga dan menetap dalam rumah tangga tersebut.[2] Hal ini dapat diartikan bahwa anak yang dipekerjakan oleh B masuk ke dalam orang dalam lingkup rumah tangga.

    Setiap orang dilarang melakukan kekerasan dalam rumah tangga terhadap orang dalam lingkup rumah tangganya, termasuk salah satunya kekerasan fisik.[3] Perlu diperhatikan bahwa bagi setiap orang yang melakukan perbuatan kekerasan fisik dalam lingkup rumah tangga dipidana penjara paling lama 5 tahun atau denda paling banyak Rp15 juta.[4]

     

    Contoh Kasus

    Dalam praktiknya, perbuatan B ini dituntut berdasarkan UU PKDRT dan UU Perlindungan Anak. Sebagai contoh, dalam Putusan MA No. 1449 K/Pid/2012 Tahun 2012.

    Dalam putusan tersebut diketahui bahwa terdakwa dituntut berdasarkan UU Perlindungan Anak dan UU PKDRT karena menganiaya pembantu rumah tangga yang masih berusia anak (hal. 36).

    Adapun hakim memutus terdakwa terbukti secara sah dan meyakinkan telah bersalah melakukan tindak pidana “secara bersama-sama melakukan perbuatan kekerasan fisik dalam lingkup rumah tangga yang mengakibatkan korban (pembantunya) jatuh sakit” dan  menghukum terdakwa dengan pidana penjara selama 2 (dua) tahun (hal. 42-43).

     

    Demikian jawaban dari kami, semoga bermanfaat.

     

    DASAR HUKUM

    Kitab Undang-Undang Hukum Pidana
    Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak
    Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak
    Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2016 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak
    Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2016 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2016 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak Menjadi Undang-Undang
    Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga
    Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2023 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana

     

    PUTUSAN

    Putusan Mahkamah Agung Nomor 1449 K/Pid/2012 Tahun 2012.


    [1] Pasal 624 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2023 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (“UU 1/2023”)

    [2] Pasal 2 ayat (1) huruf c Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga (“UU PKDRT”)

    [3] Pasal 5 huruf a UU PKDRT

    [4] Pasal 44 ayat (1) UU PKDRT

    Tags

    anak
    prt

    Punya Masalah Hukum yang sedang dihadapi?

    atauMulai dari Rp 30.000
    Powered byempty result

    KLINIK TERBARU

    Lihat Selengkapnya

    TIPS HUKUM

    Somasi: Pengertian, Dasar Hukum, dan Cara Membuatnya

    7 Jun 2023
    logo channelbox

    Dapatkan info berbagai lowongan kerja hukum terbaru di Indonesia!

    Kunjungi

    Butuh lebih banyak artikel?

    dot
    Pantau Kewajiban Hukum
    Perusahaan Anda di sini!