Sering kali saya dengar terdapat kasus pelecehan seksual fisik dengan diminta memegang kelamin secara paksa oleh pelanggan laki-laki terhadap terapis pijat di tempat pijat relaksasi ternama daerah Jakarta Selatan. Lantas, bagaimana hukumnya mengenai hal tersebut? Apakah tempat pijat tersebut mempunyai kewajiban untuk memberikan perlindungan hukum pada terapisnya seperti memberikan bantuan hukum dan pemulihan?
DAFTAR ISI
INTISARI JAWABAN
Sebelumnya perlu diketahui bahwa pelaku yang melakukan pelecehan seksual kepada terapis pijat dapat dipidana berdasarkan ketentuan KUHPmaupun UU 1/2023dan juga UU TPKS. Lantas, langkah hukum apa yang dapat ditempuh korban pelecehan seksual?
Penjelasan lebih lanjut dapat Anda baca ulasan di bawah ini.
Artikel di bawah ini adalah pemutakhiran dari artikel dengan judul Jerat Hukum Pemerkosa Terapis Pijat Online yang dibuat oleh Sovia Hasanah, S.H. dan pertama kali dipublikasikan pada 20 Maret 2019.
Seluruh informasi hukum yang ada di Klinik hukumonline.com disiapkan semata – mata untuk tujuan pendidikan dan bersifat umum (lihat Pernyataan Penyangkalanselengkapnya). Untuk mendapatkan nasihat hukum spesifik terhadap kasus Anda, konsultasikan langsung dengan Konsultan Mitra Justika.
Belajar Hukum Secara Online dari Pengajar Berkompeten Dengan Biaya TerjangkauMulai DariRp. 149.000
Jerat Hukum Bagi Pelaku Pelecehan Seksual
Kami berpendapat apa yang telah dilakukan oleh pelanggan Anda termasuk kasus perbuatan cabul dengan ancaman pasal berikut ini:
Pasal 289 KUHP
Pasal 414 UU 1/2023
Barang siapa dengan kekerasan atau ancaman kekerasan memaksa seorang untuk melakukan atau membiarkan dilakukan perbuatan cabul, diancam karena melakukan perbuatan yang menyerang kehormatan kesusilaan, dengan pidana penjara paling lama 9 tahun.
Setiap orang yang melakukan perbuatan cabul terhadap orang lain yang berbeda atau sama jenis kelaminnya:
di depan umum, dipidana dengan pidana penjara paling lama 1 tahun 6 bulan atau pidana denda paling banyak kategori III, yaitu Rp50 juta;[1]
secara paksa dengan kekerasan atau ancaman kekerasan, dipidana dengan pidana penjara paling lama 9 tahun; atau
yang dipublikasikan sebagai muatan pornografi, dipidana dengan pidana penjara paling lama 9 tahun.
Setiap orang dengan kekerasan atau ancaman kekerasan memaksa orang lain untuk melakukan perbuatan cabul terhadap dirinya, dipidana dengan pidana penjara paling lama 9 tahun.
Selain itu dalam UU TPKS, diatur juga mengenai pelecehan seksual fisik yang terdiri dari tiga bentuk. Adapun salah satu bentuk yang dilakukan oleh pelaku adalah perbuatan seksual fisik yang ditujukan terhadap tubuh, keinginan seksual, dan/atau organ reproduksi dengan maksud menempatkan seseorang di bawah kekuasaannya secara melawan hukum, baik di dalam maupun di luar perkawinan. Terhadap perbuatan tersebut sebagaimana diatur dalam Pasal 6b UU TPKS, maka pelaku dapat dijerat pidana penjara maksimal 12 tahun dan/atau denda maksimal Rp30 juta.
Adapun disarikan dari Ada Pelecehan di Tempat Kerja? Tempuh Langkah Ini,pada dasarnya setiap pekerja, baik laki-laki maupun perempuan berhak untuk dilindungi dari segala bentuk kekerasan ditempat kerja, termasuk kekerasan seksual. Pasal 86 ayat (1) UU Ketenagakerjaan pun juga menyebutkan bahwa setiap pekerja/buruh memiliki hak untuk memperoleh perlindungan atas:
keselamatan dan kesehatan kerja;
moral dan kesusilaan; dan
perlakukan yang sesuai dengan harkat dan martabat manusia serta nilai-nilai agama.
Oleh karena itu perlu diperhatikan walaupun dalam UU Ketenagakerjaan tidak diatur secara spesifik mengenai pencegahan pelecehan seksual di tempat kerja, tanpa membedakan karyawan kontrak atau karyawan tetap namun ada rambu-rambu yang wajib dilaksanakan pengusaha terkait pencegahan pelecehan seksual di tempat kerja sebagaimana diatur dalam ketentuan-ketentuan di atas.
Perlindungan Hukum Korban Pelecehan
Menjawab pertanyaan Anda mengenai apakah perusahaan pijat relaksasi mempunyai kewajiban untuk memberikan perlidungan hukum pada terapisnya yang menjadi korban pelecehan?
Pertama, korban dapat mengadukan bentuk pelecehan seksual kepada penyelia (pengawas/supervisor), manajer lain atau pejabat penanganan keluhan yang ditentukan sebagaimana dinyatakan dalam Lampiran SE Menaker 03/2011(hal. 16).Menurut hemat kami, korban dapat juga melapor kepada pimpinan perusahaan, serikat pekerja, atau kantor dinas tenaga kerja setempat.
Kedua, korban dapat melaporkan pelaku kepada polisi berdasarkan ketentuan KUHP atau UU 1/2023 dan UU TPKS. Adapun mengenai prosedur melaporkan tindak pidana ke polisi, dapat disimak dalam artikel Mau Melaporkan Tindak Pidana ke Polisi? Begini Prosedurnya.
Ketiga, apabila korban takut melaporkan sendiri ke polisi, dapat juga dilaporkan oleh atau orang yang mengetahui, melihat dan/atau menyaksikan kejadian tersebut ataupun oleh tenaga medis.
Keempat, korban dapat mencari pendampingan. Salah satunya ke Unit Pelaksana Teknis Daerah Perlindungan Perempuan dan Anak (“UPTD PPA”), lembaga penyedia layanan berbasis masyarakat untuk diberikan pendampingan dan pelayanan terpadu yang dibutuhkan korban.[2]
Adapun disarikan dari artikel Cara Melaporkan Pelecehan Seksual Tanpa Buktidijelaskan bahwa korban dapat melaporkan pelecehan seksual melalui layanan call center Sabahat Perempuan dan Anak (“SAPA”) 129 yang dapat diakses melalui hotline 021-129 atau Whatsapp 08111-129-129. SAPA 129 ini memiliki 6 jenis layanan yaitu layanan pengaduan masyarakat, penjangkuan korban, pengelolaan kasus, akses penampungan sementara, mediasi, dan pendampingan korban.
Kemudian menurut Pasal 19 ayat (1) PP 7/2018,korban sebagai orang yang mengalami penderitaan fisik, mental, dan/atau kerugian ekonomi yang diakibatkan oleh suatu tindak pidana berhak memperoleh restitusi berupa:[3]
ganti kerugian atas kehilangan kekayaan atau penghasilan;
ganti kerugian yang ditimbulkan akibat penderitaan yang berkaitan langsung sebagai akibat tindak pidana; dan/atau