Beberapa waktu lalu, ramai dibincangkan salah satu paslon gubernur/wakil gubernur independen yang akan maju dalam kontestasi pilkada mencatut KTP warga sebagai syarat mendaftarkan diri ke KPU. Adakah sanksi bagi paslon yang mencatut KTP masyarakat itu?
Daftar Isi
INTISARI JAWABAN
Mencatut identitas/data pribadi orang lain adalah tindakan melanggar hukum. Bakal pasangan calon kepala daerah yang mencatut KTP-el warga tanpa seizin yang bersangkutan berpotensi dijerat hukum, baik berdasarkan peraturan perundang-undangan tentang pemilihan kepala daerah maupun pelindungan data pribadi.
Penjelasan lebih lanjut dapat Anda baca ulasan di bawah ini.
ULASAN LENGKAP
Terima kasih atas pertanyaan Anda.
Seluruh informasi hukum yang ada di Klinik hukumonline.com disiapkan semata – mata untuk tujuan pendidikan dan bersifat umum (lihat Pernyataan Penyangkalanselengkapnya). Untuk mendapatkan nasihat hukum spesifik terhadap kasus Anda, konsultasikan langsung dengan Konsultan Mitra Justika.
KTP-el sebagai Syarat Calon Kepala Daerah Independen
Calon gubernur/wakil gubernur, calon bupati/wakil bupati, dan calon wali kota/wakil wali kota menjadi peserta pemilu apabila diusulkan oleh partai politik, gabungan partai politik, atau perseorangan yang didaftarkan atau mendaftar ke Komisi Pemilihan Umum(“KPU”) provinsi atau kabupaten/kota.[1]
Pasangan calon (“paslon”) perseorangan menjadi peserta pemilihan kepala daerah (“pilkada”) jika didukung oleh sejumlah orang.[2] Untuk bisa mendaftarkan diri sebagai calon gubernur dan calon wakil gubernur, maka pasangan calon harus memenuhi syarat dukungan jumlah pendudukyang mempunyai hak pilih dan termuat dalam daftar pemilih tetap (“DPT”) pada pemilihan umum atau pilkada sebelumnya yang paling akhir di daerah bersangkutan, dengan syarat sebagai berikut:[3]
Provinsi dengan jumlah penduduk yang termuat pada daftar pemilih tetap sampai dengan 2 juta jiwa harus didukung paling sedikit 10%;
Provinsi dengan jumlah penduduk yang termuat pada daftar pemilih tetap lebih dari 2 juta jiwa sampai dengan 6 juta jiwa harus didukung paling sedikit 8,5%;
Provinsi dengan jumlah penduduk yang termuat pada daftar pemilih tetap lebih dari 6 juta jiwa sampai dengan 12 juta jiwa harus didukung paling sedikit 7,5%;
Provinsi dengan jumlah penduduk yang termuat pada daftar pemilih tetap lebih dari 12 juta jiwa harus didukung paling sedikit 6,5%; dan
Jumlah dukungan tersebar di lebih dari 50% jumlah kabupaten/kota di provinsi dimaksud.
Belajar Hukum Secara Online dari Pengajar Berkompeten Dengan Biaya TerjangkauMulai DariRp. 149.000
Dukungan sebagaimana dimaksud di atas dibuat dalam bentuk surat dukungan yang disertai dengan fotokopi Kartu Tanda Penduduk Elektronik (“KTP-e”) atau surat keterangan yang diterbitkan Disdukcapil yang menerangkan bahwa penduduk tersebut berdomisili di wilayah administratif yang sedang menyelenggarakan pilkada paling singkat 1 tahun dan tercantum dalam DPT pemilu sebelumnya di provinsi atau kabupaten/kota dimaksud.[4]
Sebagai catatan, frasa “dan termuat” serta “dan tercantum” pada ketentuan Pasal 41 ayat (1) dan ayat (3) UU 10/2016di atas, berdasarkan Putusan MK No. 54/PUU-XIV/2016(hal. 81 – 82)dinyatakan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai bukan mengacu pada nama yang termuat/tercantum dalam DPT melainkan pada jumlah penduduk yang telah memiliki hak pilih.
Berdasarkan ketentuan di atas, maka dapat dipahami bahwa syarat untuk maju menjadi calon gubernur/wakil gubernur perseorangan harus didukung sejumlah orang sesuai ketentuan UU 10/2016 dan dibuktikan dengan fotokopi KTP-el.
Adakah Sanksi Administratif bagi Paslon yang Mencatut KTP-el?
Lantas, adakah sanksi administratif bagi paslon gubernur/wakil gubernur yang sengaja mencatut KTP-el warga tanpa seizin yang bersangkutan menurut UU 1/2015 dan perubahannya? Sepanjang penelusuran kami, tidak terdapat ketentuan mengenai sanksi administratif yang secara spesifik mengancam paslon perseorangan yang mencatut KTP-el.
UU 8/2015hanya mengatur sanksi administratif bagi paslon dalam Pasal 53 ayat (4) berupa denda sebesar Rp20 miliar bagi paslon gubernur/wakil gubernur jika mengundurkan diri setelah ditetapkan oleh KPU provinsi.
Meski demikian, merujuk pada Peraturan KPU 8/2024, apabila terdapat pencatutan KTP-el dalam rangka menghimpun dukungan kepada paslon perseorangan, maka masyarakat yang terdaftar sebagai pendukung dapat memberikan tanggapan terhadap keberadaannya sebagai pendukung paslon yang bersangkutan.[5]
Tanggapan masyarakat tersebut disampaikan kepada KPU provinsi atau kabupaten/kota secara tertulis disertai dengan bukti identitas diri dan dapat melampirkan bukti yang relevan.[6]
Kemudian, KPU akan melakukan verifikasi terhadap tanggapan masyarakat tersebut. Apabila hasil verifikasi menyatakan tanggapan masyarakat itu terbukti kebenarannya, maka KPU provinsi dan KPU kabupaten/kotamengurangi dukungan hasil verifikasi kebenaran tanggapan masyarakat.[7]
Jerat Hukum Catut KTP Warga untuk Maju Pilkada
Mencatut KTP warga tanpa seizin yang bersangkutan untuk menjadi paslon perseorangan dalam pilkada termasuk ke dalam tindak pidana. Pasal 185A ayat (1) UU 10/2016 menyatakan bahwa setiap orang yang dengan sengaja memalsukan daftar dukungan terhadap calon perseorangan dipidana dengan pidana penjara paling singkat 36 bulan dan paling lama 72 bulan dan denda paling sedikit Rp36 juta dan paling banyak Rp72 juta.
Apabila pencatutan KTP itu dilakukan oleh penyelenggara pilkada (seperti anggota KPU) dipidana dengan pidana yang sama dengan Pasal 185A ayat (1) UU 10/2016 dengan ditambah 1/3 dari ancaman pidana maksimumnya.[8]
Selain dalam UU 10/2016 mencatut KTP-el orang tanpa izin juga dapat dijerat dengan UU PDP. Paslon perseorangan dalam UU PDP dapat dikategorikan sebagai pengendali data pribadi yang mempunyai tanggung jawab pelindungan data pribadi ketika melakukan pemrosesan data. Mengapa demikian?
Pengendali data pribadi menurut Pasal 1 angka 4 UU PDP adalah setiap orang, badan publik, dan organisasi internasional yang bertindak sendiri-sendiri atau bersama-sama dalam melakukan pemrosesan data pribadi atas nama pengendali data pribadi.
Adapun, yang dimaksud dengan “setiap orang” dalam pengertian pengendali data pribadi di atas adalah orang perseorangan atau korporasi.[9]
Ketika melakukan pemrosesan data pribadi seperti KTP-el, dalam proses pemerolehan dan pengumpulan serta memperlihatkan ke pihak lain, maka pengendali data pribadi wajib mendapatkan persetujuan yang sah secara eksplisit dari subjek data pribadi (pemilik identitas).[10]
Bentuk persetujuan pemrosesan data pribadi pun perlu dilakukan melalui persetujuan tertulis atau terekam baik secara elektronik ataupun nonelektronik yang memiliki kekuatan hukum yang sama.[11] Jika persetujuan antara subjek dan pengendali data pribadi tidak memenuhi ketentuan tersebut, maka dinyatakan batal demi hukum.[12]
Atas perbuatan mencatut KTP-el warga tanpa izin, berdasarkan Pasal 67 ayat (1) dan (3) UU PDP dapat dijerat pidana sebagai berikut:
1. Setiap orang yang dengan sengaja dan melawan hukum memperoleh atau mengumpulkan data pribadi yang bukan miliknya dengan maksud untuk menguntungkan diri sendiri atau orang lain yang dapat mengakibatkan kerugian subjek data pribadi dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp5 miliar.
3. Setiap orang yang dengan sengaja dan melawan hukum menggunakan data pribadi yang bukan miliknya dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp5 miliar.
Di samping sanksi pidana, UU PDP juga mengatur sanksi administratif apabila paslon perseorangan selaku pengendali data pribadi tidak mendapatkan persetujuan yang sah dari pemilik identitas/subjek data pribadi berupa:[13]
peringatan tertulis;
penghentian sementara semua kegiatan pemrosesan data pribadi;
penghapusan atau pemusnahan data pribadi; dan/atau
denda administratif.
Selain itu, paslon perseorangan yang mencatut KTP-el warga tanpa izin bisa digugat dan membayar ganti rugi. Hal ini diatur di dalam Pasal 12 ayat (1) UU PDP yang menyatakan bahwa subjek data pribadi berhak menggugat dan menerima ganti rugi atas pelanggaran pemrosesan data pribadi tentang dirinya sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Perkaya riset hukum Anda dengan analisis hukum terbaru dwi bahasa, serta koleksi terjemahan peraturan yang terintegrasi dalam Hukumonline Pro, pelajari lebih lanjut di sini.