Apakah siswa SMA yang bercanda menarik kursi temannya hingga jatuh dan menyebabkan kelumpuhan dapat dipidana?
DAFTAR ISI
INTISARI JAWABAN
Siswa SMA yang bercanda dengan menarik kursi temannya hingga jatuh dan menyebabkan kelumpuhan dapat dijerat dengan pasal penganiayaan dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana. Yang diartikan sebagai penganiayaan adalah sengaja menyebabkan perasaan tidak enak (penderitaan), rasa sakit (pijn), atau luka. Semuanya harus dilakukan dengan sengaja dan tidak dengan maksud yang patut atau melewati batas yang diizinkan.
Bagi anak yang melakukan tindak pidana berat atau tindak pidana yang disertai dengan kekerasan dapat diberlakukan pidana pembatasan kebebasan. Pidana pembatasan kebebasan yang dijatuhkan terhadap anak paling lama 1/2 dari maksimum pidana penjara yang diancamkan terhadap orang dewasa. Namun sebelum proses peradilan pidana dilaksanakan, penyelesaian dengan diversi wajib diprioritaskan.
Penjelasan lebih lanjut dapat Anda klik ulasan di bawah ini.
ULASAN LENGKAP
Terima kasih atas pertanyaan Anda.
Bercanda Berujung Cidera Parah
Siswa SMA yang bercanda dengan menarik kursi temannya hingga jatuh dan menyebabkan kelumpuhan dapat dijerat dengan pasal-pasal penganiayaan dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (“KUHP”). Pasal 351 KUHP mengatur bahwa:
Penganiayaan diancam dengan pidana penjara paling lama dua tahun delapan bulan atau pidana denda paling banyak empat ribu lima ratus rupiah.
Jika perbuatan mengakibatkan luka-luka berat, yang bersalah diancam dengan pidana penjara paling lama lima tahun.
Jika mengakibatkan mati, diancam dengan pidana penjara paling lama tujuh tahun.
Dengan penganiayaan disamakan sengaja merusak kesehatan.
Percobaan untuk melakukan kejahatan ini tidak dipidana.
Yang termasuk kategori luka berat terdiri atas:[1]
jatuh sakit atau mendapat luka yang tidak memberi harapan akan sembuh sama sekali, atau yang menimbulkan bahaya maut;
tidak mampu terus-menerus untuk menjalankan tugas jabatan atau pekerjaan pencarian;
kehilangan salah satu panca indera;
mendapat cacat berat;
menderita sakit lumpuh;
terganggunya daya pikir selama empat minggu lebih;
gugur atau matinya kandungan seorang perempuan.
Lebih lanjut, R. Soesilo dalam bukunya Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) serta Komentar-Komentarnya Lengkap Pasal Demi Pasal menguraikan bahwa menurut yurisprudensi, yang diartikan sebagai penganiayaan adalah sengaja menyebabkan perasaan tidak enak (penderitaan), rasa sakit (pijn), atau luka. Perasaan tidak enak, misalnya mendorong orang terjun ke kali hingga basah (hal. 245).
Rasa sakit, seperti mencubit, memukul, menampar, dan sebagainya. Sedangkan merusak kesehatan, seperti membuka jendela ketika seseorang sedang tidur dan berkeringat, hingga yang bersangkutan masuk angin. Semuanya harus dilakukan dengan sengaja dan tidak dengan maksud yang patut atau melewati batas yang diizinkan (hal. 245).
Masih diuraikan dalam buku yang sama, penganiayaan diancam dengan hukuman yang lebih berat apabila mengakibatkan luka berat. Luka berat tersebut harus merupakan akibat yang tidak dimaksudkan oleh sang pembuat. Apabila luka berat tersebut dimaksudkan, maka yang bersangkutan dapat dijerat dengan Pasal 354 KUHP (penganiayaan berat) (hal. 245).
Melihat contoh-contoh dan uraian tersebut, maka menarik kursi hingga jatuh dan hingga menyebabkan kelumpuhan, walaupun dengan maksud bercanda, dapat dikategorikan sebagai suatu penganiayaan berat.
Anak yang Berkonflik dengan Hukum yang selanjutnya disebut Anak adalah anak yang telah berumur 12 (dua belas) tahun, tetapi belumberumur 18 (delapan belas) tahun yang diduga melakukan tindak pidana.
Setiap anak dalam proses peradilan pidana berhak:[2]
diperlakukan secara manusiawi dengan memerhatikan kebutuhan sesuai dengan umurnya;
dipisahkan dari orang dewasa;
memperoleh bantuan hukum dan bantuan lain secara efektif;
melakukan kegiatan rekreasional;
bebas dari penyiksaan, penghukuman atau perlakuan lain yang kejam, tidak manusiawi, serta merendahkan derajat dan martabatnya;
tidak dijatuhi pidana mati atau pidana seumur hidup;
tidak ditangkap, ditahan, atau dipenjara, kecuali sebagai upaya terakhir dan dalam waktu yang paling singkat;
memperoleh keadilan di muka pengadilan anak yang objektif, tidak memihak, dan dalam sidang yang tertutup untuk umum;
tidak dipublikasikan identitasnya;
memperoleh pendampingan orang tua/wali dan orang yang dipercaya oleh anak;
memperoleh advokasi sosial;
memperoleh kehidupan pribadi;
memperoleh aksesibilitas, terutama bagi anak cacat;
memperoleh pendidikan;
memperoleh pelayananan kesehatan; dan
memperoleh hak lain sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Selain itu, anak yang sedang menjalani masa pidana berhak:[3]
mendapat pengurangan masa pidana;
memperoleh asimilasi;
memperoleh cuti mengunjungi keluarga;
memperoleh pembebasan bersyarat;
memperoleh cuti menjelang bebas;
memperoleh cuti bersyarat; dan
memperoleh hak lain sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Pasal 79 UU 11/2012 kemudian mengatur bahwa:
Pidana pembatasan kebebasan diberlakukan dalam hal Anak melakukan tindak pidana berat atau tindak pidana yang disertai dengan kekerasan.
Pidana pembatasan kebebasan yang dijatuhkan terhadap Anak paling lama 1/2 (satu perdua) dari maksimum pidana penjara yang diancamkan terhadap orang dewasa.
Minimum khusus pidana penjara tidak berlaku terhadap Anak.
Ketentuan mengenai pidana penjara dalam KUHP berlaku juga terhadap Anak sepanjang tidak bertentangan dengan Undang-Undang ini.
Istilah “kekerasan” dalam Pasal 79 ayat (1) UU 11/2012 dapat disamakan dengan membuat orang pingsan atau tidak berdaya.[4] Selain itu, yang dimaksud dengan “maksimum ancaman pidana penjara bagi orang dewasa” adalah maksimum ancaman pidana penjara terhadap tindak pidana yang dilakukan sesuai dengan ketentuan dalam KUHP atau undang-undang lainnya.[5]
Diversi
Mengingat perbuatan pelaku diancam dengan pidana di bawah tujuh tahun penjara, maka kepada yang bersangkutan dapat diupayakan pelaksanaan diversi.
Diversi adalah pengalihan penyelesaian perkara anak dari proses peradilan pidana ke proses di luar peradilan pidana.[6] Pada tingkat penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan perkara anak di pengadilan negeri wajib diupayakan diversi jika tindak pidana yang dilakukan:[7]
diancam dengan pidana penjara di bawah tujuh tahun; dan
bukan merupakan pengulangan tindak pidana.
Proses diversi dilakukan melalui musyawarah dengan melibatkan anak dan orang tua/walinya, korban dan/atau orang tua/walinya, pembimbing kemasyarakatan, dan pekerja sosial profesional berdasarkan pendekatan keadilan restoratif. Jika diperlukan, musyawarah dapat melibatkan tenaga kesejahteraan sosial, dan/atau masyarakat.[8]
Kesepakatan diversi harus mendapatkan persetujuan korban dan/atau keluarga anak korban serta kesediaan anak dan keluarganya, kecuali untuk:[10]
tindak pidana yang berupa pelanggaran;
tindak pidana ringan;
tindak pidana tanpa korban; atau
nilai kerugian korban tidak lebih dari nilai upah minimum provinsi setempat.
Hasil kesepakatan diversi dapat berbentuk, antara lain:[11]
perdamaian dengan atau tanpa ganti kerugian;
penyerahan kembali kepada orang tua/wali;
keikutsertaan dalam pendidikan atau pelatihan di lembaga pendidikan atau Lembaga Penyelenggaraan Kesejahteraan Sosial paling lama tiga bulan; atau
pelayanan masyarakat.
Proses peradilan pidana anak dilanjutkan jika proses diversi tidak menghasilkan kesepakatan atau kesepakatan diversi tidak dilaksanakan.[12]
Seluruh informasi hukum yang ada di Klinik hukumonline.com disiapkan semata-mata untuk tujuan pendidikan dan bersifat umum (lihat Pernyataan Penyangkalan selengkapnya). Untuk mendapatkan nasihat hukum spesifik terhadap kasus Anda, konsultasikan langsung dengan Konsultan Mitra Justika.
Demikian jawaban dari kami, semoga bermanfaat.
Dasar Hukum:
Kitab Undang-Undang Hukum Pidana
Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak
Referensi:
R. Soesilo.Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) serta Komentar-komentarnya Lengkap Pasal Demi Pasal. Bogor: Politeia, 1994.