Jika ada seorang yang mengaku sebagai anggota POLRI, padahal setelah dicek dia bukan anggota POLRI, dan dia kemudian melakukan penipuan kepada warga di sekitar rumahnya. Apakah ada sanksi yang mengatur bagi seseorang yang mengaku sebagai anggota TNI/POLRI?
Daftar Isi
INTISARI JAWABAN
Pada dasarnya, tidak ada ketentuan khusus yang mengatur sanksi bagi orang yang mengaku atau berpura-pura menjadi anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia (“POLRI”) maupun orang yang mengaku sebagai anggota Tentara Nasional Indonesia (“TNI”).
Namun, ketentuan yang tepat untuk menjerat perbuatan tersebut adalah pasal mengenai dugaan tindak pidana penipuan yang telah ditegaskan dalam ketentuan KUHPlama yang masih berlaku pada saat artikel ini diterbitkan dan juga UU 1/2023.
Lantas, bagaimana bunyi ketentuan tersebut?
Penjelasan lebih lanjut dapat Anda baca ulasan di bawah ini.
ULASAN LENGKAP
Terima kasih atas pertanyaan Anda.
Artikel di bawah ini adalah pemutakhiran kedua dari artikel dengan judul sama yang pertama kali dipublikasikan pada 7 November 2013 kemudian dimutakhirkan pada Rabu, 24 November 2021 oleh Tri Jata Ayu Pramesti, S.H.
Artikel ini dibuat berdasarkan KUHP lama dan UU 1/2023 tentang KUHP yang diundangkan pada tanggal 2 Januari 2023.
Seluruh informasi hukum yang ada di Klinik hukumonline.com disiapkan semata – mata untuk tujuan pendidikan dan bersifat umum (lihat Pernyataan Penyangkalan selengkapnya). Untuk mendapatkan nasihat hukum spesifik terhadap kasus Anda, konsultasikan langsung dengan Konsultan Mitra Justika.
Ancaman Pidana Bagi Polisi Gadungan
Belajar Hukum Secara Online dari Pengajar Berkompeten Dengan Biaya TerjangkauMulai DariRp. 149.000
Pada dasarnya tidak ada peraturan khusus tentang sanksi bagi orang yang mengaku atau berpura-pura menjadi anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia (“POLRI”) maupun orang yang mengaku sebagai anggota Tentara Nasional Indonesia (“TNI”).
Menjawab pertanyaan Anda, menurut hemat kami, ketentuan yang tepat untuk menjerat perbuatan polisi gadungan tersebut adalah pasal mengenai dugaan tindak pidana penipuan yang telah ditegaskan dalam ketentuan KUHPlama yang masih berlaku pada saat artikel ini diterbitkan danUU 1/2023yang mulai berlaku 3 tahun terhitung sejak tanggal diundangkan,[1] yakni pada tahun 2026, yaitu:
KUHP
UU 1/2023
Pasal 378
Barang siapa dengan maksud untuk menguntungkan diri sendiri atau orang lain secara melawan hukum, dengan memakai nama palsu atau martabat palsu, dengan tipu muslihat, ataupun rangkaian kebohongan, menggerakkan orang lain untuk menyerahkan barang sesuatu kepadanya, atau supaya memberi hutang maupun menghapuskan piutang, diancam karena penipuan dengan pidana penjara paling lama 4 (empat) tahun.
Pasal 492
Setiap orang yang dengan maksud menguntungkan diri sendiri atau orang lain secara melawan hukum dengan memakai nama palsu atau kedudukan palsu, menggunakan tipu muslihat atau rangkaian kata bohong, menggerakkan orang supaya menyerahkan suatu barang, memberi utang, membuat pengakuan utang, atau menghapus piutang, dipidana karena penipuan, dengan pidana penjara paling lama 4 (empat) tahun atau pidana denda paling banyak kategori V yaitu Rp500 juta.[2]
Menurut R. Soesilo dalam bukunya yang berjudul Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) Serta Komentar-Komentarnya Lengkap Pasal Demi Pasal, kejahatan pada pasal 378 KUHP ini dinamakan “penipuan”. Penipu itu pekerjaannya (hal. 261):
membujuk orang supaya memberikan barang, membuat utang atau menghapuskan piutang;
maksud pembujukan ialah hendak menguntungkan diri sendiri atau orang lain dengan melawan hak;
membujuknya dengan memakai:
nama palsu atau keadaan palsu; atau
akal cerdik (tipu muslihat); atau
karangan perkataan bohong.
Lebih lanjut, R. Soesilo menjelaskan bahwa yang dimaksud dengan “nama palsu” adalah nama yang bukan namanya sendiri, sedangkan “keadaan palsu” misalnya mengaku dan bertindak sebagai agen polisi, notaris, pastor, pegawai kotapraja, pengantar surat pos, dan sebagainya yang sebenarnya ia bukan pejabat itu.
Hal serupa juga dikatakan oleh S.R. Sianturi dalam penjelasannya terkait Pasal 378 KUHP, pada bukunya yang berjudul Tindak Pidana di KUHP Berikut Uraiannya (hal. 634). S.R. Sianturi menjelaskan bahwa yang dikatakan memakai keadaan (pribadi) palsu yaitu apabila petindak itu bersikap seakan-akan padanya ada suatu kekuasaan, kewenangan, martabat, status, atau jabatan yang sebenarnya tidak dimilikinya, atau mengenakan pakaian seragam tertentu, tanda pengenal tertentu yang dengan mengenakan hal itu, orang lain akan mengira bahwa ia mempunyai suatu kedudukan/pangkat tertentu yang mempunyai suatu kekuasaan atau kewenangan, dan lain sebagainya. Misalnya petindak memperkenalkan dirinya sebagai pejabat kepolisian, agen suatu perusahaan, putra dari seseorang yang cukup terkenal, tukang memperbaiki video, televisi, penagih rekening, dan lain sebagainya.
Jerat Pidana Tambahan Bagi Polisi Gadungan
Sebagai informasi, menurut hemat kami, polisi gadungan juga bisa dijerat pasal tambahan tergantung dari rentetan perbuatan yang ia lakukan saat berpura-pura menjadi polisi. Misalnya, jika polisi gadungan memakai Kartu Tanda Anggota (“KTA”) polisi palsu untuk meyakinkan korban, maka ia juga bisa dikenakan Pasal 263 KUHP dan Pasal 391 UU 1/2023 tentang pemalsuan surat, sebagai berikut:
KUHP
UU 1/2023
Pasal 263
Barang siapa membuat surat palsu atau memalsukan surat yang dapat menimbulkan sesuatu hak, perikatan atau pembebasan hutang, atau yang diperuntukkan sebagai bukti daripada sesuatu hal dengan maksud untuk memakai atau menyuruh orang lain memakai surat tersebut seolah-olah isinya benar dan tidak dipalsu, diancam jika pemakaian tersebut dapat menimbulkan kerugian, karena pemalsuan surat, dengan pidana penjara paling lama enam tahun.
Diancam dengan pidana yang sama, barang siapa dengan sengaja memakai surat palsu atau yang dipalsukan seolah-olah sejati, jika pemakaian surat itu dapat menimbulkan kerugian.
Pasal 391
Setiap Orang yang membuat secara tidak benar atau memalsu Surat yang dapat menimbulkan suatu hak, perikatan atau pembebasan utang, atau yang diperuntukkan sebagai bukti dari suatu hal, dengan maksud untuk menggunakan atau meminta orang lain menggunakan seolah-olah isinya benar dan tidak palsu, jika penggunaan Surat tersebut dapat menimbulkan kerugian, dipidana karena pemalsuan Surat, dengan pidana penjara paling lama 6 (enam) tahun atau pidana denda paling banyak kategori VI yaitu Rp2 miliar.[3]
Setiap Orang yang menggunakan Surat yang isinya tidak benar atau yang dipalsu, seolah-olah benar atau tidak dipalsu, jika penggunaan Surat tersebut dapat menimbulkan kerugian dipidana dengan pidana yang sama dengan ayat (1).
Contoh lain, jika polisi gadungan membawa senjata api tanpa mempunyai izin yang sah, polisi gadungan tersebut dapat dijerat Pasal 14 angka 1UU 8/1948dan/atau Pasal 1 ayat (1)UU 12/1951.
Untuk mempermudah pemahaman Anda, berikut kami berikan contoh kasus.
Contoh Kasus
Contoh kasus dapat dilihat dalam Putusan Pengadilan Negeri Tasikmalaya Nomor 221/Pid.B/2011/PN.Tsm, yakniterdakwa dan temannya mengaku sebagai aparat berwajib dan bergaya layaknya polisi (hal. 29). Terdakwa membantu temannya melakukan tindak pidana penipuan yaitu membujuk korban supaya memberikan suatu barang berupa satu unit sepeda motor dengan berpura-pura menjadi polisi (hal. 30-31).
Dalam amar putusannya, majelis hakim menyatakan bahwa terdakwa terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana membantu melakukan penipuan (hal. 37).
Dari penjelasan di atas dapat kami simpulkan bahwa secara khusus memang tidak ada peraturan perundang-undangan yang memberikan sanksi bagi orang yang mengaku atau berpura-pura sebagai anggota POLRI maupun TNI. Namun, perbuatan tersebut dalam praktiknya digolongkan sebagai tindak pidana penipuan sesuai Pasal 378 KUHP dan Pasal 492 UU 1/2023 karena dibarengi dengan melakukan penipuan kepada warga dengan tujuan untuk menguntungkan diri sendiri atau orang lain. Selain itu, polisi gadungan juga bisa dikenakan pasal lain tergantung dari rentetan perbuatan yang dilakukan.