Belakangan ini marak kembali aksi klitih di Yogyakarta. Kali ini, korbannya seorang pengemudi ojol yang diserang, hingga luka di bagian wajahnya akibat senjata tajam. Saya ingin menanyakan, hukum apa yang dapat menjerat para pelaku tersebut?
DAFTAR ISI
INTISARI JAWABAN
‘Klitih’ dalam bahasa Jawa memiliki arti suatu aktivitas mencari angin di luar rumah atau keluyuran. Seiring berjalannya waktu, makna klitih bergeser menjadi negatif, yaitu aksi kekerasan atau kejahatan jalanan dengan menggunakan senjata tajam.
Penjelasan lebih lanjut dapat Anda klik ulasan di bawah ini.
ULASAN LENGKAP
Terima kasih atas pertanyaan Anda.
Aksi ‘Klitih’ sebagai Penganiayaan
Sepanjang penelusuran kami, ‘klitih’ dalam bahasa Jawa memiliki arti suatu aktivitas mencari angin di luar rumah atau keluyuran. Seiring berjalannya waktu, makna klitih mengalami pergeseran menjadi negatif, yaitu aksi kekerasan atau kejahatan jalanan dengan menggunakan senjata tajam yang dilakukan perseorangan atau berkelompok. Para pelaku pun kebanyakan adalah pelajar atau remaja.
Aksi klitih tersebut dapat dikategorikan sebagai tindak pidana penganiayaan atau pengeroyokan.
Penganiayaan diancam dengan pidana penjara paling lama dua tahun delapan bulan atau pidana denda paling banyak empat ribu lima ratus rupiah.
Jika perbuatan mengakibatkan luka-luka berat, yang bersalah diancam dengan pidana penjara paling lama 5 tahun.
Jika mengakibatkan mati, diancam dengan pidana penjara paling lama 7 tahun.
Dengan penganiayaan disamakan sengaja merusak kesehatan.
Percobaan untuk melakukan kejahatan ini tidak dipidana.
Di sisi lain, jika dilakukan secara bersama-sama atau kelompok, maka para pelaku, di antaranya, ada yang tergolong pelaku dan turut serta. Sebagaimana dikutip dari artikel Jerat Pidana Bagi Pelajar Pelaku Pengroyokan, si turut serta dapat dikenakan pidana dalam Pasal 55 KUHP:
Dipidana sebagai pelaku tindak pidana:
mereka yang melakukan, yang menyuruh melakukan, dan yang turut serta melakukan perbuatan;
mereka yang dengan memberi atau menjanjikan sesuatu, dengan menyalahgunakan kekuasaan atau martabat, dengan kekerasan, ancaman atau penyesatan, atau dengan memberi kesempatan, sarana atau keterangan, sengaja menganjurkan orang lain supaya melakukan perbuatan.
Terhadap penganjur, hanya perbuatan yang sengaja dianjurkan sajalah yang diperhitungkan, beserta akibat-akibatnya.
Sistem Peradilan Pidana Anak
Kemudian, jika pelaku adalah anak, maka berlaku Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak (“UU 11/2012”). Pasal 1 angka 3 UU 11/2012 menerangkan bahwa anak yang berkonflik dengan hukum adalah anak yang telah berumur 12 tahun, tetapi belum berumur 18 tahun yang diduga melakukan tindak pidana.
Pada tingkat penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan perkara anak di pengadilan negeri wajib diupayakan diversi yang hanya dilaksanakan dalam hal tindak pidana yang dilakukan:[1]
diancam dengan pidana penjara di bawah 7 tahun; dan
bukan merupakan pengulangan tindak pidana.
Yang dimaksud diversi adalah pengalihan penyelesaian perkara anak dari proses peradilan pidana ke proses di luar peradilan pidana.[2]
Selanjutnya, patut diperhatikan bahwa proses diversi dilakukan melalui musyawarah dengan melibatkan anak dan orang tua/walinya, korban dan/atau orang tua/walinya, pembimbing kemasyarakatan, dan pekerja sosial profesional berdasarkan pendekatan keadilan restoratif.[3]
Jadi, terhadap perbuatan pelaku klitih yang berusia anak, masih mungkin dapat dilakukan diversi.
Meskipun demikian, proses peradilan pidana anak akan dilanjutkan jika proses diversi tidak menghasilkan kesepakatan atau kesepakatan diversi tidak dilaksanakan.[4]
Dalam keadaan mabuk, Terdakwa langsung mencabut badik yang ada di pinggang dan kemudian menikam korban sebanyak satu kali dan mengenai bagian dada sebelah kanan tepatnya di bawah ketiak, sehingga mengakibatkan luka robek akibat kekerasan benda tajam (hal 6 – 7).
Bahwa yang dimaksud dengan unsur penganiayaan dalam delik penganiyaan adalah perbuatan dengan sengaja yang menimbulkan rasa tidak enak, rasa sakit, atau luka, sehingga perbuatan Terdakwa memenuhi unsur tersebut (hal. 6 – 7).
Atas perbuatannya, Terdakwa dijatuhi pidana menurut Pasal 351 ayat (1) KUHP dengan pidana penjara selama 9 bulan (hal. 7).
Sebagai contoh jika pelaku adalah anak, disarikan dari Putusan Pengadilan Negeri Klaten Nomor: 05/Pid.Sus.Anak/2015/PN Klnbahwa Para Terdakwa Anak melakukan kekerasan secara bersama-sama terhadap korban yang juga masih termasuk anak, hingga menimbulkan luka (hal. 22 – 23).
Atas perbuatannya, Para Terdakwa Anak dijatuhi pidana penjara masing-masing selama 5 bulan dan denda masing-masing sebesar Rp1 juta atas tindak pidana yang diatur dalam Pasal 80 ayat (1) jo. Pasal 76C Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak. Namun pidana yang telah dijatuhkan tidak usah dijalankan, kecuali kalau di kemudian hari ada perintah lain dalam putusan hakim, karena Para Terdakwa Anak sebelum jatuh tempo percobaan 10 bulan telah melakukan perbuatan yang dapat dihukum. Kemudian, jika denda tidak dapat dibayar, digantikan dengan tiga bulan latihan kerja (hal. 25).
Seluruh informasi hukum yang ada di Klinik hukumonline.com disiapkan semata-mata untuk tujuan pendidikan dan bersifat umum (lihatPernyataan Penyangkalanselengkapnya). Untuk mendapatkan nasihat hukum spesifik terhadap kasus Anda, konsultasikan langsung dengan Konsultan Mitra Justika.
Demikian jawaban dari kami, semoga bermanfaat.
Dasar Hukum:
Kitab Undang-Undang Hukum Pidana
Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak
Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak
Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2016 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak
Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2016 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2016 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak Menjadi Undang-Undang
Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak