Karena dalam hukum acara perdata tidak ada alat bukti petunjuk sebagaimana pada hukum acara pidana, maka e-mail yang kemudian diubah menjadi bentuk cetak adalah termasuk alat bukti surat.
Penjelasan lebih lanjut dapat Anda simak dalam ulasan di bawah ini.
ULASAN LENGKAP
Artikel di bawah ini adalah pemutakhiran dari artikel dengan judul sama yang dibuat oleh Diana Kusumasari, S.H., M.H. dan pernah dipublikasikan pada Kamis, 22 Maret 2012.
Karena dalam hukum acara perdata tidak ada alat bukti petunjuk sebagaimana pada hukum acara pidana, maka e-mail yang kemudian diubah menjadi bentuk cetak adalah termasuk alat bukti surat.
Penjelasan lebih lanjut dapat Anda simak dalam ulasan di bawah ini.
Ulasan:
Terima kasih atas pertanyaan Anda.
Alat Bukti dalam Hukum Acara Perdata
Dalam proses peradilan perdata berlakulah Hukum Acara Perdata. Hukum Acara Perdata sendiri mengenal 5 macam alat bukti yang sah sebagaimana dijelaskan dalam Pasal 164 Herzien Inlandsch Reglement(“HIR”), yaitu:
Surat
Saksi
Persangkaan
Pengakuan
Sumpah
Apakah e-mail dapat dikatakan sebagai alat bukti yang sah yang berlaku dalam proses peradilan perdata? Berikut penjelasannya:
Informasi Elektronik adalah satu atau sekumpulan data elektronik, termasuk tetapi tidak terbatas pada tulisan, suara, gambar, peta, rancangan, foto, electronic data interchange (EDI), surat elektronik (electronic mail), telegram, teleks, telecopy atau sejenisnya, huruf, tanda, angka, Kode Akses, simbol, atau perforasi yang telah diolah yang memiliki arti atau dapat dipahami oleh orang yang mampu memahaminya.
Kedudukan E-mail Sebagai Alat Bukti Perkara Perdata
Mengenai apakah surat elektronik (e-mail) dapat dijadikan sebagai alat bukti dalam proses peradilan perdata, kita perlu merujuk pada ketentuan dalam Pasal 5UU ITE yang kami kutip di bawah ini:
Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik dan/atau hasil cetakannya merupakan alat bukti hukum yang sah
Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik dan/atau hasil cetaknya sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan perluasan dari alat bukti yang sah sesuai dengan Hukum Acara yang berlaku di Indonesia.
Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik dinyatakan sah apabila menggunakan Sistem Elektronik sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam Undang-Undang ini.
Ketentuan mengena Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak berlaku untuk:
surat yang menurut Undang-Undang harus dibuat dalam bentuk tertulis; dan
surat beserta dokumennya yang menurut Undang-Undang harus dibuat dalam bentuk akta notaril atau akta yang dibuat oleh pejabat pembuat akta.
Dalam perkembangannya, Mahkamah Konstitusi melalui Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 20/PUU-XIV/2016 menyatakan bahwa frasa “Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik” dalam pasal 5 ayat (1) dan ayat (2) di atas bertentangan dengan dengan Undang-Undang Dasar 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai khususnya frasa “Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik” sebagai alat bukti dilakukan dalam rangka penegakan hukum atas permintaan kepolisian, kejaksaan, dan/atau institusi penegak hukum lainnya yang ditetapkan berdasarkan undang-undang sebagaimana ditentukan dalam Pasal 31 ayat (3) UU ITE.
Dijelaskan juga dalam Penjelasan Pasal 5 ayat (1) UU 19/2016 sebagai berikut:
Bahwa keberadaan Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik mengikat dan diakui sebagai alat bukti yang sah untuk memberikan kepastian hukum terhadap Penyelenggaraan Sistem Elektronik dan Transaksi Elektronik, terutama dalam pembuktian dan hal yang berkaitan dengan perbuatan hukum yang dilakukan melalui Sistem Elektronik.
Dengan mendasarkan pada ketentuan di atas, dapat disimpulkan bahwa UU ITE dan perubahannya telah mempertegas kedudukan e-mail sebagai salah satu informasi elektronik yang dapat dijadikan sebagai alat bukti yang sah.
Dalam ranah pidana, dijelaskan lebih jauh oleh Jaksa pada Kejaksaan Agung RI Arief Indra Kusuma Adhi dalam sebuah diskusi yang dilaksanakan Hukumonline, ada dua pilihan yang sering dipakai untuk menyikapi alat bukti elektronik yaitu, sebagai alat bukti surat, atau alat bukti petunjuk, dengan ketentuan:
informasi elektronik menjadi alat bukti surat jika informasi elektronik itu diubah dalam bentuk cetak;
Informasi elektronik menjadi alat bukti petunjuk apabila informasi elektronik itu punya keterkaitan dengan alat bukti lain dan semua kekuatan alat bukti tersebut bebas. Artinya, informasi elektronik tersebut tetap dikaitkan dengan alat bukti lain dan menurut keyakinan hakim, selain kemampuan jaksa meyakinkan hakim.
Sedangkan untuk ranah hukum perdata, karena dalam hukum acara perdata tidak ada alat bukti petunjuk, maka e-mail yang kemudian diubah menjadi bentuk cetak adalah termasuk alat bukti surat.
Namun, sesuai pengaturan Pasal 5 ayat (4) UU ITE, tidak semua e-mail dapat dikategorikan sebagai alat bukti yang sah. E-mail tidak dapat dijadikan sebagai alat bukti yang sah dalam beberapa hal berikut:
surat yang menurut undang-undang harus dibuat dalam bentuk tertulis; dan
surat beserta dokumen pendukungnya yang menurut undang-undang harus dibuat dalam bentuk akta notaril atau akta yang dibuat oleh pejabat pembuat akta tanah.
Surat yang menurut undang-undang harus dibuat tertulis meliputi tetapi tidak terbatas pada surat berharga, surat yang berharga, dan surat yang digunakan dalam proses penegakan hukum acara perdata, pidana, dan administrasi negara.[1]
Jadi, e-mail dapat saja dijadikan sebagai alat bukti dalam proses peradilan perdata dengan mendasarkan pada hal-hal yang telah kami uraikan di atas.