Saya ingin bertanya tentang masalah antara tatib DPD dengan Putusan MA. Dalam hal ini saya berpandangan bahwa tatib DPD dari dua segi, pertama tatib DPD dapat dibatalkan, kedua tatib DPD batal demi hukum. Segi pertama saya anggap selesai berdasarkan Hak Uji Materiil MA yang dimuat dalam PERMA No. 01 tahun 2011. Kemudian saya melihat bahwa tatib DPD batal demi hukum karena di dalamnya berisi pembatasan masa kepemimpinan selama 2,5 tahun yang dalam hal ini bertentangan dengan UU MD3. Pertanyaan saya, apakah dalam sidang DPD masih diperbolehkan menggunakan tatib tersebut jika kita memandangnya dari segi batal demi hukum?
Tindakan yang tetap mendasarkannya pada peraturan yang telah dinyatakan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat jelas terkategori sebagai perbuatan melawan hukum.
Penjelasan lebih lanjut dapat Anda simak dalam ulasan di bawah ini.
Lebih lanjut dalam putusannya Mahkamah Agung (“MA”) juga menyatakan bahwa Peraturan DPD 1/2017 dalam pembentukannya tidak berdasarkan ketentuan yang berlaku. Putusan MA 20P/HUM/2017 menyatakan bahwa Peraturan DPD 1/2017harus dicabut dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat dalam artian batal demi hukum.
Apakah Sidang DPD Dapat Menggunakan Tata Tertib yang Tidak Berlaku Lagi?
Lalu terdapat sebuah pertanyaan apakah dalam sidang DPD masih diperbolehkan menggunakan tatib tersebut jika kita memandangnya dari segi batal demi hukum (tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat)?
Sebelum menjawab pertanyaan tersebut lebih lanjut dijelaskan terlebih dahulu, pertamabahwa dalam Peraturan DPD 1/2017 juga mengatur tentang tata tertib dan pedoman dalam sidang DPD. Kedua, dalam ketentuan hak uji materiil dikenal dengan adanya pengujian secara formiil yaitu pengujian terhadap pembentukan peraturan perundang-undangan dan materil terhadap materi muatan undang-undang a quo. Sebuah peraturan baru akan mempunyai kekuatan berlaku yuridis jika persyaratan formal terbentuknya undang-undang terpenuhi, serta kaidah hukum mempunyai kekuatan berlaku apabila penetapannya pun didasarkan pada kaidah yang lebih tinggi tingkatannya.
Hal ini juga sejalan dengan teori jenjang norma Hans Nawiasky“Theorie vom Stufenaufbao der Rechtsordnung” dalam bukunya “Algemeine Rechtlehre als System der rechtlichen Grundbegriffe” yang dikutip oleh Maria Farida Indrati dalam bukunya Ilmu Perundang-Undangan, Jenis, Fungsi, dan Materi Muatan (hal.45-46). Nawiasky menyatakan bahwa sebuah norma hukum dari negara manapun berlapis lapis dan berjenjang jenjang. Norma yang di bawah berlaku, bersumber dan berdasar pada norma yang lebih tinggi, norma yang lebih tinggi berlaku, bersumber dan berdasar pada norma yang lebih tinggi lagi, sampai pada suatu norma yang tertinggi yang disebut staatsfundamentalnorm. Norma yang lebih di bawahnya tidak boleh bertentangan dengan norma yang berada di atasnya.
Putusan MA tentang uji materil peraturan perundang-undangan (dalam kasus ini (Putusan MA 20P/HUM/2017) jelas bertujuan untuk menciptakan kepastian hukum, keadilan, serta kemanfaatan, namun apabila diciderai dengan masih menggunakan pasal-pasal dalam peraturan tata tertib yang telah dibatalkan oleh Mahkamah Agung maka tujuan daripada hukum itu sendiri tidak akan pernah tercapai dan merupakan sebuah tindakan pembangkangan terhadap hukum yang bertentangan dengan prinsip negara hukum. Tindakan yang tetap mendasarkannya pada peraturan yang telah dinyatakan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat jelas terkategori sebagai perbuatan melawan hukum.