Mahar yang diberikan oleh mempelai laki-laki adalah berupa sebidang tanah. Namun, ternyata sebidang tanah yang diberikan waktu pernikahan tersebut sudah digadaikan dan belum ditebus. Mempelai wanita baru mengetahuinya setelah akad nikah, karena mempelai wanita ingin menjual tanah tersebut. Bagaimana hukumnya mahar yang diberikan kepada pihak perempuan tersebut?
DAFTAR ISI
INTISARI JAWABAN
Mahar dalam Islam adalah pemberian dari calon mempelai pria kepada calon mempelai wanita dan bersifat wajib. Jika mahar berwujud tanah masih menjadi milik calon mempelai pria, maka untuk menjadi milik mempelai perempuan harus melalui proses peralihan hak dan hal tersebut membutuhkan waktu. Artinya tanah tersebut menjadi mahar terutang.
Lalu, bagaimana hukumnya jika mahar berupa tanah tersebut dibebankan hak tanggungan?
Penjelasan lebih lanjut dapat Anda baca ulasan di bawah ini.
ULASAN LENGKAP
Terima kasih atas pertanyaan Anda.
Seluruh informasi hukum yang ada di Klinik hukumonline.com disiapkan semata – mata untuk tujuan pendidikan dan bersifat umum (lihat Pernyataan Penyangkalanselengkapnya). Untuk mendapatkan nasihat hukum spesifik terhadap kasus Anda, konsultasikan langsung dengan Konsultan Mitra Justika.
Kami asumsikan bahwa perkawinan tersebut dilakukan dengan tata cara agama Islam dan tanah yang menjadi mahar tersebut masih milik mempelai pria karena statusnya masih digadaikan. Mahar dalam Islam adalah pemberian dari calon mempelai pria kepada calon mempelai wanita, baik berbentuk barang, uang atau jasa yang tidak bertentangan dengan hukum Islam.[1]
Adapun, hukum mahar dalam Islam adalah wajib. Hal ini diatur di dalam Pasal 30 KHI yang berbunyi:
Belajar Hukum Secara Online dari Pengajar Berkompeten Dengan Biaya TerjangkauMulai DariRp. 149.000
Calon mempelai pria wajib membayar mahar kepada calon mempelai wanita yang jumlah, bentuk dan jenisnya disepakati oleh kedua belah pihak.
Lebih lanjut, mahar berupa tanah sebagaimana Anda sebutkan, kemudian menjadi milik calon mempelai perempuan. Namun, karena yang menjadi mahar berwujud tanah, untuk menjadi milik mempelai perempuan harus melalui proses peralihan hak atas tanah dan harus memenuhi syarat-syarat sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Sehingga, jika tanah tersebut masih menjadi milik calon mempelai pria, maka proses penyerahan atau peralihan kepemilikan mahar berupa tanah tersebut dapat dikatakan tertunda. Secara hukum, penyerahan mahar dilakukan secara tunai. Namun, apabila calon mempelai perempuan menyetujui, penyerahan mahar boleh ditangguhkan baik untuk seluruh atau sebagian. Mahar yang belum ditunaikan penyerahannya menjadi utang dari calon mempelai pria.[2]
Mahar Tanah yang Dibebankan Hak Tanggungan
Dalam hal mahar tanah tersebut masih digadaikan dan belum ditebus, kami asumsikan bahwa tanah tersebut dibebankan hak tanggungan. Adapun yang dimaksud dengan hak tanggungan adalah hak jaminan yang dibebankan pada hak atas tanah sebagaimana dimaksud dalam UU PAberikut atau tidak berikut benda-benda lain yang merupakan satu kesatuan dengan tanah itu, untuk pelunasan utang tertentu, yang memberikan kedudukan yang diutamakan kepada kreditur tertentu terhadap kreditur-kreditur lain.[3]
Apabila tanah yang dijadikan mahar dibebankan hak tanggungan, maka menurut hemat kami, mahar dari calon mempelai pria belum diterima secara penuh oleh calon mempelai perempuan. Namun demikian, hal tersebut tidak mengurangi sahnya perkawinan, karena mahar bukanlah rukun nikah.[4]
Dengan kata lain, mahar perkawinan berupa tanah yang dibebankan hak tanggungan termasuk mahar terutang. Terkait dengan mahar terutang, berdasarkan ketentuan Pasal 38 KHI, jika calon mempelai perempuan bersedia menerimanya tanpa syarat, maka penyerahan mahar atas tanah tersebut dianggap lunas.
Namun, apabila pihak mempelai perempuan menolak mahar tersebut karena baru diketahui tanahnya digadaikan setelah akad nikah, maka suami harus mengganti mahar tersebut dengan mahar lain yang tidak cacat atau tidak kurang. Selama penggantiannya belum diserahkan, maka mahar dianggap masih belum dibayar.[5]
Jika ada perselisihan mengenai mahar terkait jenis ataupun nilai mahar yang ditetapkan, misalnya karena mahar ternyata digadaikan atau dibebankan hak tanggungan, maka penyelesaiannya diajukan ke Pengadilan Agama.[6]