KlinikBerita
New
Hukumonline Stream
Data PribadiJurnal
Personalisasi
Halo,
Anda,

Segera Upgrade paket berlangganan Anda.
Dapatkan fitur lebih lengkap
Profil
Ada pertanyaan? Hubungi Kami
Bahasa
id-flag
en-flag

Haruskah Kop Surat Perusahaan Dicantumkan dalam Perjanjian?

Share
Perdata

Haruskah Kop Surat Perusahaan Dicantumkan dalam Perjanjian?

Haruskah Kop Surat Perusahaan Dicantumkan dalam Perjanjian?
Muhammad Raihan Nugraha, S.H.Si Pokrol

Bacaan 10 Menit

Article Klinik

PERTANYAAN

Izin bertanya, apakah wajib untuk mencantumkan setiap perjanjian dengan kop surat perusahaan? Dan jika salah satu kop surat hanya salah satu pihak yang dicantumkan apakah boleh? Mengingat perjanjian adalah kesepakatan kedua belah pihak. Terimakasih sebelumnya.

Daftar Isi

    INTISARI JAWABAN

    Pada dasarnya, syarat yang harus dipenuhi agar perjanjian sah secara hukum dan mengikat para pihak adalah:

    1. kesepakatan kedua belah pihak;
    2. kemampuan atau kecakapan pihak melakukan perbuatan hukum;
    3. adanya pokok persoalan tertentu; dan
    4. suatu sebab yang tidak terlarang.

    Lantas, apakah dalam suatu perjanjian juga diwajibkan untuk mencantumkan kop surat perusahaan?

    Penjelasan lebih lanjut dapat Anda baca ulasan di bawah ini.

    ULASAN LENGKAP

    Terima kasih atas pertanyaan Anda.

    Seluruh informasi hukum yang ada di Klinik hukumonline.com disiapkan semata ā€“ mata untuk tujuan pendidikan dan bersifat umum (lihatĀ Pernyataan PenyangkalanĀ selengkapnya). Untuk mendapatkan nasihat hukum spesifik terhadap kasus Anda, konsultasikan langsung denganĀ Konsultan Mitra Justika.

    Syarat Sah Perjanjian

    Untuk menjawab pertanyaan Anda, kami akan jelaskan terlebih dahulu mengenai apa yang dimaksud dengan perjanjian. Dalam KUH Perdata, perjanjian dikenal dengan istilah persetujuan. Adapun Pasal 1313 KUH Perdata mengatur sebagai berikut:

    Suatu persetujuan adalah suatu perbuatan dimana satu orang atau lebih mengikatkan diri terhadap satu orang lain atau lebih.

    Belajar Hukum Secara Online dari Pengajar Berkompeten Dengan Biaya TerjangkauMulai DariRp. 149.000

    Lalu, syarat sah perjanjian diatur dalam Pasal 1320 KUH Perdata, sebagai berikut:

    Supaya terjadi persetujuan yang sah, perlu dipenuhi empat syarat;

    1. kesepakatan mereka yang mengikatkan dirinya;
    2. kecakapan untuk membuat suatu perikatan;
    3. suatu pokok persoalan tertentu;
    4. suatu sebab yang tidak terlarang.

    Berikut kami jelaskan satu per satu mengenai syarat sah perjanjian.

    1. Kesepakatan Para Pihak

    Kesepakatan artinya telah adanya kehendak serta persetujuan dari kedua belah pihak untuk membuat perjanjian. Pasal 1321 KUH Perdata menegaskan bahwa tidak ada suatu persetujuan pun yang mempunyai kekuatan dalam hal diberikan karena kekhilafan atau diperoleh dengan paksaan atau penipuan.

    1. Kecakapan Para Pihak

    Artinya, orang yang membuat perjanjian harus cakap menurut hukum. Adapun orang yang tidak cakap menurut hukum disebutkan dalam Pasal 1330 KUH Perdata, antara lain:

    1. anak yang belum dewasa;
    2. orang yang ditaruh di bawah pengampuan;
    3. perempuan yang telah kawin dalam hal-hal yang ditentukan undang-undang dan pada umumnya semua orang yang oleh undang-undang dilarang untuk membuat persetujuan tertentu.

    Namun, dalam perkembangannya, seorang istri dapat melakukan perbuatan hukum sebagaimana diatur dalam SEMA 3/1963 jo. Pasal 31 UU Perkawinan.

    1. Suatu Pokok Persoalan Tertentu

    Syarat ini dapat diartikan bahwa perjanjian harus memiliki objek perjanjian yaitu prestasi, misalnya memberikan sesuatu, berbuat sesuatu, atau tidak berbuat sesuatu, sebagaimana diatur dalam Pasal 1234 KUH Perdata.

    1. Suatu Sebab yang Tidak Terlarang

    Merujuk pada ketentuan Pasal 1337 KUH Perdata, yang dimaksud dengan suatu sebab yang terlarang, jika sebab itu dilarang oleh undang-undang atau bila sebab itu bertentangan dengan kesusilaan.

    Baca juga: Ini 4 Syarat Sah Perjanjian dan Akibatnya Jika Tak Dipenuhi

    Penting untuk diketahui bahwa syarat pertama dan kedua dikategorikan sebagai syarat subjektif, karena mengenai orangnya atau subjeknya yang mengadakan perjanjian. Lalu, untuk syarat ketiga dan keempat dikategorikan sebagai syarat objektif, karena mengenai perjanjiannya sendiri atau objek dari perbuatan hukum yang dilakukan.[1]

    Jika suatu perjanjian tidak memenuhi syarat subjektif, maka berakibat pada perjanjian dapat dibatalkan. Sedangkan, jika suatu perjanjian tidak memenuhi syarat objektif, akibatnya perjanjian batal demi hukum.[2]

    Lantas, apakah dalam suatu perjanjian diwajibkan untuk mencantumkan kop surat perusahaan?

    Haruskah Mencantumkan Kop Surat Perusahaan dalam Perjanjian?

    Berdasarkan KBBI, kop surat adalah bagian atas surat berisi keterangan tentang nama, alamat, dan nomor telepon suatu kantor, lembaga resmi pemerintah, badan usaha, dan sebagainya.

    Dari definisi kop surat di atas, dapat disimpulkan bahwa kop surat perusahaan adalah identitas suatu perusahaan yang disimpan di bagian atas surat, yang mengandung informasi berupa nama, alamat, nomor telepon dari perusahan tersebut, dan lain-lain.

    Menjawab pertanyaan Anda, sepanjang penelusuran kami, tidak ada peraturan yang menyatakan bahwa dalam perjanjian harus dimuat kop surat perusahaan. Pun jika hanya salah satu kop surat perusahaan yang dicantumkan, tidak berhubungan dengan keabsahan perjanjian. Dengan demikian, keberadaan kop surat dalam sebuah perjanjian tidak merupakan syarat keabsahan perjanjian, dan tidak merupakan hal yang harus dimuat dalam perjanjian. Jadi, suatu perjanjian sah-sah saja jika tidak terdapat kop surat perusahaan, selama perjanjian tersebut memenuhi syarat sah perjanjian.

    Penyebutan Para Pihak dalam Perjanjian

    Akan tetapi, terlepas dari apakah dalam perjanjian dimuat kop surat perusahaan atau tidak, pada dasarnya, dalam suatu pembuatan perjanjian, wajib diuraikan dengan jelas identitas dan kapasitas atau kewenangan (komparisi) para pihak. Hal ini sebagaimana dijelaskan dalam artikel Akibat Hukum Inkonsistensi Penyebutan Para Pihak dalam Perjanjian.

    Masih bersumber dari artikel yang sama, penyebutan para pihak harus konsisten digunakan. Jika penyebutan para pihak tidak konsisten, maka berpotensi mengakibatkan:

    1. para pihak atau pihak ketiga (auditor, advokat, hakim, dan lain-lain) kesulitan dalam memahami isi perjanjian atau kewajiban para pihak sehingga menimbulkan ketidakjelasan atau ketidakpastian;
    2. hambatan dalam pelaksanaan perjanjian dan tuntutan kewajiban yang telah diperjanjikan;
    3. dapat memengaruhi keabsahan perjanjian apabila tidak dapat ditentukan dengan jelas objek perjanjian, dan bertentangan dengan peraturan perundang-undangan.

    Dengan demikian,Ā inkonsistensiĀ penyebutan para pihak tersebutĀ dapat mengakibatkan sengketa atau perselisihanĀ mengenai pemahaman atau pemaknaan kewajiban masing-masing pihak.

    Hal yang Harus Diperhatikan saat Review Perjanjian

    Sebagai informasi, ada beberapa hal yang harus Anda perhatikan ketika meninjau perjanjian. Disarikan dari 4 Hal yang Harus Diperhatikan ketikaĀ ReviewĀ Perjanjian, jika Anda membuat suatu perjanjian, terdapat caraĀ reviewĀ perjanjian dengan memperhatikan 4 hal berikut:

    1. kenali jenis perjanjian yang dibuat;
    1. identifikasi para pihak dalam perjanjian;
    1. tabulasi klausul-klausul dalam perjanjian; dan
    1. negosiasi ulang terkait hal yang perlu untuk disepakati Kembali.

    Demikian jawaban dari kami, semoga bermanfaat.

    DASAR HUKUM

    Kitab Undang-Undang Hukum Perdata
    Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan
    Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2019 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan
    Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor 3 Tahun 1963 tentang Gagasan Menganggap Burgerlijk Wetboek Tidak Sebagai Undang-Undang

    REFERENSI

    1. Retna Gumanti.Ā Syarat Sahnya Perjanjian (Ditinjau dari KUHPerdata).Ā Jurnal Pelangi Ilmu, Vol. 5, No. 1, 2012;
    2. Subekti. Hukum Perjanjian, Cetakan 21. Jakarta: Intermasa, 2005;
    3. Kop surat, yang diakses pada 19 Agustus 2024, pukul 12.31 WIB.

    [1] Subekti. Hukum Perjanjian, Cetakan 21. Jakarta: Intermasa, 2005, hal. 17

    [2] Retna Gumanti.Ā Syarat Sahnya Perjanjian (Ditinjau dari KUHPerdata).Ā Jurnal Pelangi Ilmu, Vol. 5, No. 1, 2012, hal. 4

    TAGS

    Punya masalah hukum yang sedang dihadapi?

    atauMulai dari Rp 30.000
    Powered byempty result

    KLINIK TERBARU

    Lihat Semua

    TIPS HUKUM

    Lihat Semua
    logo channelbox

    Dapatkan info berbagai lowongan kerja hukum terbaru di Indonesia!

    Kunjungi

    Butuh lebih banyak artikel?

    Pantau Kewajiban Hukum
    Perusahaan Anda