Belajar Hukum Secara Online dari Pengajar Berkompeten Dengan Biaya TerjangkauMulai DariRp. 149.000
Ulasan:
Terima kasih atas Pertanyaan Anda.
Pada Pasal 1 angka 2 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (“KUHAP”)dijelaskan bahwa penyidikan adalah serangkaian tindakan penyidik dalam hal dan menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini untuk mencari serta mengumpulkan bukti yang dengan bukti itu membuat terang tentang tindak pidana yang terjadi dan guna menemukan tersangkanya. Pengertian tersangka adalah seorang yang karena perbuatannya atau keadaannya, berdasarkan bukti permulaan patut diduga sebagai pelaku tindak pidana.[1]
Perlu diketahui bahwa secara umum penyidik berwenang untuk:[2]
menerima laporan atau pengaduan dari seorang tentang adanya tindak pidana;
melakukan tindakan pertama pada saat di tempat kejadian;
menyuruh berhenti seorang tersangka dan memeriksa tanda pengenal diri tersangka;
melakukan penangkapan, penahanan, penggeledahan dan penyitaan;
melakukan pemeriksaan dan penyitaan surat;
mengambil sidik jari dan memotret seorang;
memanggil orang untuk didengar dan diperiksa sebagai tersangka atau saksi;
mendatangkan orang ahli yang diperlukan dalam hubungannya dengan pemeriksaan perkara;
mengadakan penghentian penyidikan;
mengadakan tindakan lain menurut hukum yang bertanggung jawab.
Jadi, pemanggilan anggota Dewan Perwakilan Rakyat (“DPR”) yang diduga sebagai pelaku tindak pidana untuk diperiksa keterangannya merupakan salah satu wewenang penyidik dalam proses penyidikan.
Pemanggilan dan permintaan keterangan kepada anggota DPR sehubungan dengan terjadinya tindak pidana yang tidak sehubungan dengan pelaksanaan tugas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 224 harus mendapatkan persetujuan tertulis dari Presiden setelah mendapat pertimbangan dari Mahkamah Kehormatan Dewan.
Yang dimaksud dengan tindak pidana yang tidak sehubungan dengan pelaksanaan tugas anggota DPR menurut Pasal 224 UU 2/2018 adalah:
Anggota DPR tidak dapat dituntut di depan pengadilan karena pernyataan, pertanyaan, dan/atau pendapat yang dikemukakannya baik secara lisan maupun tertulis di dalam rapat DPR ataupun di luar rapat DPR yang berkaitan dengan fungsi serta wewenang dan tugas DPR.[3]
Anggota DPR tidak dapat dituntut di depan pengadilan karena sikap, tindakan, kegiatan di dalam rapat DPR ataupun di luar rapat DPR yang semata-mata karena hak dan kewenangan konstitusional DPR dan/atau anggota DPR.
Anggota DPR tidak dapat diganti antarwaktu karena pernyataan, pertanyaan, dan/atau pendapat yang dikemukakannya baik di dalam rapat DPR maupun di luar rapat DPR yang berkaitan dengan fungsi serta wewenang dan tugas DPR.
Sebagai informasi tambahan, menurut Pasal 245 ayat (2) UU 2/2018 persetujuan tertulis dari Presiden tersebut tidak berlaku terhadap anggota DPR yang :
tertangkap tangan melakukan tindak pidana;
disangka melakukan tindak pidana kejahatan yang diancam dengan pidana mati atau pidana penjara seumur hidup atau tindak pidana kejahatan terhadap kemanusiaan dan keamanan negara berdasarkan bukti permulaan yang cukup; atau
disangka melakukan tindak pidana khusus.
Dalam perkembangannya, Mahkamah Konstitusi melalui Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 16/PUU-XVI/2018 (“Putusan MK 16/2018”) telah menyatakan bahwa frasa dalam Pasal 245 ayat (1) 2/2018 bertentangan dengan UUD 1954 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat.
Sebagai informasi, Putusan MK 16/2018 tersebut mencabut di antaranya :
Lebih spesifik dalam Pasal 245 ayat (1) UU 2/2018 terdapat frasa “pemanggilan dan permintaan keterangan kepada anggota DPRsehubungan dengan terjadinya tindak pidana yang tidak sehubungan denganpelaksanaan tugas” yang dinyatakan MK bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai dalam konteks semata-mata pemanggilan dan permintaan keterangan kepada anggota DPR yang diduga melakukan tindak pidana.
Sementara itu, frasa “setelah mendapat pertimbangan dari Mahkamah Kehormatan Dewan” dinyatakan bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat.
Sehingga setelah ada Putusan MK 16/2018, frasa Pasal 245 ayat (1) UU 2/2018 selengkapnya menjadi berbunyi:
Pemanggilan dan permintaan keterangan kepada anggota DPR yang diduga melakukan tindak pidana yang tidak sehubungan dengan pelaksanaan tugas sebagaimana dimaksud Pasal 224, harus mendapatkan persetujuan tertulis dari Presiden.
Pertimbangan dicabutnya frasa tersebut adalah karena frasa pada pasal 245 ayat (1) dinilai kontradiktif dengan filosofi dan hakikat pemberian hak imunitas anggota DPR yang secara kontekstual seharusnya menjadi dasar pemikiran atau latar belakang pembentukan MKD.
Selain itu, tidak relevan dan tidak tepat MKD dilibatkan untuk memberi pertimbangan terkait persetujuan tertulis presiden dalam hal seorang anggota DPR dipanggil dan dimintai keterangan dalam rangka penyidikan karena dugaan melakukan tindak pidana karena MKD adalah lembaga etik yang keanggotaannya berasal dari dan oleh anggota DPR sehingga ada konflik kepentingan.
Menjawab pertanyaan Anda, penyidik tidak perlu mendapatkan izin dari MKD untuk menyidik, namun wajib mendapatkan persetujuan tertulis Presiden dalam melakukan pemanggilan dan permintaan keterangan kepada anggota DPR yang diduga melakukan tindak pidana yang tidak sehubungan dengan pelaksanaan tugas sebagaimana dimaksud Pasal 224 UU 2/2018.
[3] Ketentuan ini tidak berlaku dalam hal anggota yang bersangkutan mengumumkan materi yang telah disepakati dalam rapat tertutup untuk dirahasiakan atau hal lain yang dinyatakan sebagai rahasia negara menurut ketentuan peraturan perundang-undangan (Pasal 224 ayat (1) UU 2/2018)