Terima kasih atas pertanyaan Anda.
Artikel di bawah ini adalah pemutakhiran dari artikel dengan judul sama yang dibuat oleh Sigar Aji Poerana, S.H. dan dipublikasikan pertama kali pada Rabu, 24 Juni 2020.
Perusahaan Pailit
Berdasarkan keterangan Anda, kami asumsikan bahwa pailitnya perusahaan diakibatkan oleh adanya pengajuan permohonan pailit yang telah diputus oleh pengadilan melalui putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap.
Debitor yang mempunyai dua atau lebih Kreditor dan tidak membayar lunas sedikitnya satu utang yang telah jatuh waktu dan dapat ditagih, dinyatakan pailit dengan putusan Pengadilan, baik atas permohonannya sendiri maupun atas permohonan satu atau lebih kreditornya.
Permohonan dapat juga diajukan oleh kejaksaan untuk kepentingan umum.[1] Dalam hal debitur adalah bank, maka permohonan pernyataan pailit hanya dapat diajukan oleh Bank Indonesia,[2] dan jika debitur adalah perusahaan efek, bursa efek, lembaga kliring dan penjaminan, lembaga penyimpanan dan penyelesaian, maka permohonan pernyataan pailit hanya dapat diajukan oleh Badan Pengawas Pasar Modal.[3]
Sedangkan dalam hal debitur adalah perusahaan asuransi, perusahaan reasuransi, dana pensiun, atau badan usaha milik negara yang bergerak di bidang kepentingan publik permohonan pernyataan pailit hanya dapat diajukan oleh Otoritas Jasa Keuangan.[4]
Putusan pengadilan atas permohonan pernyataan pailit harus diucapkan paling lambat 60 hari setelah tanggal permohonan pernyataan pailit didaftarkan.[5]
Adapun salinan putusan pengadilan wajib disampaikan oleh juru sita dengan surat kilat tercatat kepada debitur, pihak yang mengajukan permohonan pernyataan pailit, kurator, dan hakim pengawas paling lambat 3 hari setelah tanggal putusan atas permohonan pernyataan pailit diucapkan.[6]
Menurut hemat kami, berdasarkan uraian di atas, Anda dapat meminta salinan putusan pengadilan atas permohonan pernyataan pailit pada pihak perusahaan selaku debitur pailit, untuk melihat benar atau tidaknya perusahaan telah dinyatakan pailit.
Status Pekerja Ketika Perusahaan Pailit
Patut diperhatikan, pekerja yang bekerja pada debitur dapat memutuskan hubungan kerja dan sebaliknya kurator dapat memberhentikannya dengan mengindahkan jangka waktu menurut persetujuan atau ketentuan perundang-undangan yang berlaku, dengan pengertian bahwa hubungan kerja tersebut dapat diputuskan dengan pemberitahuan paling singkat 45 hari sebelumnya.[7]
Dalam melakukan pemutusan hubungan kerja (“PHK”), kurator tetap berpedoman pada peraturan perundang-undangan di bidang ketenagakerjaan.[8]
Patut diperhatikan, perusahaan pailit tidak serta merta langsung tidak beroperasi, karena Pasal 104 UU KPKPU menegaskan bahwa:
Berdasarkan persetujuan panitia kreditor sementara, Kurator dapat melanjutkan usaha Debitor yang dinyatakan pailit walaupun terhadap putusan pernyataan pailit tersebut diajukan kasasi atau peninjauan kembali.
Apabila dalam kepailitan tidak diangkat panitia kreditor, Kurator memerlukan izin Hakim Pengawas untuk melanjutkan usaha sebagaimana dimaksud pada ayat (1).
Kemudian, Pasal 178 ayat (2) UU KPKPU menyatakan bahwa:
Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 104 dan Pasal 106 tidak berlaku, apabila sudah ada kepastian bahwa perusahaan Debitor pailit tidak akan dilanjutkan menurut pasal-pasal di bawah ini atau apabila kelanjutan usaha itu dihentikan.
Jika dalam rapat pencocokan piutang tidak ditawarkan rencana perdamaian atau jika rencana perdamaian yang ditawarkan tidak diterima, kurator atau kreditur yang hadir dalam rapat dapat mengusulkan supaya perusahaan debitur pailit dilanjutkan.[9]
Maka, sebenarnya setelah pailit pun, perusahaan masih dapat beroperasi.
Namun, meskipun beroperasi, kurator memang dapat memutus hubungan kerja pekerja sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan mengenai ketenagakerjaan.
Tidak terlalu banyak berubah, kini aturan PHK karena alasan perusahaan pailit tercantum di Pasal 81 angka 42 UU Cipta Kerja yang mengubah Pasal 154A ayat (1) huruf f UU 13/2003:
Pemutusan hubungan kerja dapat terjadi karena alasan:
f. perusahaan pailit.
uang pesangon sebesar 0,5 kali ketentuan uang pesangon yang berlaku;
uang penghargaan masa kerja (“UPMK”) sebesar 1 kali ketentuan UMPK yang berlaku; dan
uang penggantian hak (“UPH”).
Perhitungan uang pesangon yang dimaksud di atas didasarkan pada masa kerja, yaitu sebagai berikut:[10] Kemudian, perhitungan UPMK berdasarkan masa kerja adalah:[11]
Sedangkan UPH yang seharusnya diterima meliputi:[12] cuti tahunan yang belum diambil dan belum gugur;
biaya atau ongkos pulang untuk pekerja dan keluarganya ke tempat di mana pekerja diterima bekerja;
hal-hal lain yang ditetapkan dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan atau perjanjian kerja bersama.
Untuk pekerja/buruh dengan perjanjian kerja waktu tertentu, jika hubungan kerja berakhir sebelum berakhirnya jangka waktu yang ditetapkan dalam perjanjian kerja, perusahaan yang mengakhiri hubungan kerja diwajibkan membayar ganti rugi kepada pekerja/buruh sebesar upahnya sampai batas waktu berakhirnya jangka waktu perjanjian kerja.[13]
Prioritas Pembayaran Hak Pekerja/Buruh Ketika Perusahaan Pailit
Patut diperhatikan bahwa Pasal 81 angka 33 UU Cipta Kerja yang mengubah Pasal 95 ayat (1) UU 13/2003 berbunyi:
Dalam hal perusahaan dinyatakan pailit atau dilikuidasi berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan, upah dan hak lainnya yang belum diterima oleh pekerja/buruh merupakan utang yang didahulukan pembayarannya.
pembayaran upah pekerja/buruh yang terhutang didahulukan atas semua jenis kreditur termasuk atas tagihan kreditur separatis, tagihan hak negara, kantor lelang, dan badan umum yang dibentuk Pemerintah, sedangkan pembayaran hak-hak pekerja/buruh lainnya didahulukan atas semua tagihan termasuk tagihan hak negara, kantor lelang, dan badan umum yang dibentuk Pemerintah, kecuali tagihan dari kreditur separatis.
Berdasarkan putusan tersebut, dalam kepailitan, maka pembayaran upah pekerja didahulukan dari tagihan kreditur separatis, tagihan hak negara, kantor lelang, dan badan umum yang dibentuk pemerintah. Namun untuk pembayaran hak-hak pekerja lainnya, tagihan kreditur separatis didahulukan pembayarannya.
Contoh Pemberian Hak Pekerja setelah Perusahaan Pailit
Pengadilan Negeri Jakarta Pusat mengabulkan permohonan Pemohon untuk sebagian dan menetapkan 7,5% dari total tagihan pekerja yang dimiliki perusahaan yang sedang pailit, yaitu Rp 1.384.736.722,50 dialokasikan untuk pembayaran sebagian hak para buruh/pekerja (hal. 24).
Pengadilan juga memerintahkan kurator dari perusahaan yang dalam keadaan pailit itu untuk membagikan uang kepada para buruh/pekerja (hal. 24).
Dalam peninjauan kembali, Pemohon keberatan terhadap peringkat/kedudukan kreditur yang harus didahulukan, karena pekerja/buruh bukan yang diutamakan dibandingkan kreditur lain (hal. 59 & 62).
Permohonan peninjauan kembali Pemohon ditolak. Mahkamah Agung menguatkan putusan pengadilan negeri tersebut, karena dipandang sudah tepat dan benar, tidak terdapat kekeliruan/kekhilafan dalam putusan tersebut.
Dalam putusan, kreditur separatis sebagai pemegang hak tanggungan, lebih didahulukan atas penjualan boedel pailit (hal. 71 – 72).
Sebagai catatan, kasus ini terjadi sebelum adanya Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 67/PUU-XI/2013, yang menempatkan upah pokok buruh yang belum dibayarkan pada prioritas teratas pembayaran tagihan kreditur perusahaan pailit.
Seluruh informasi hukum yang ada di Klinik hukumonline.com disiapkan semata – mata untuk tujuan pendidikan dan bersifat umum (lihat
Pernyataan Penyangkalan selengkapnya). Untuk mendapatkan nasihat hukum spesifik terhadap kasus Anda, konsultasikan langsung dengan
Konsultan Mitra Justika.
Demikian jawaban dari kami, semoga bermanfaat.
Dasar Hukum:
Putusan:
[1] Pasal 2 ayat (2) UU KPKPU [2] Pasal 2 ayat (3) UU KPKPU [3] Pasal 2 ayat (4) UU KPKPU [5] Pasal 8 ayat (5) UU KPKPU [7] Pasal 39 ayat (1) UU KPKPU [8] Penjelasan Pasal 39 ayat (1) UU KPKPU [9] Pasal 179 ayat (1) UU KPKPU [10] Pasal 40 ayat (2) PP 35/2021
jo. Pasal 81 angka 44 UU Cipta Kerja yang mengubah Pasal 156 ayat (2) UU 13/2003
[11] Pasal 40 ayat (3) PP 35/2021
jo. Pasal 81 angka 44 UU Cipta Kerja yang mengubah Pasal 156 ayat (3) UU 13/2003
[12] Pasal 40 ayat (4) PP 35/2021
jo. Pasal 81 angka 44 UU Cipta Kerja yang mengubah Pasal 156 ayat (4) UU 13/2003