KlinikBerita
New
Hukumonline Stream
Data PribadiJurnal
Personalisasi
Halo,
Anda,

Segera Upgrade paket berlangganan Anda.
Dapatkan fitur lebih lengkap
Profil
Ada pertanyaan? Hubungi Kami
Bahasa
id-flag
en-flag

Gratifikasi Wajib Dilaporkan, Ini Batas Waktunya

Share
Pidana

Gratifikasi Wajib Dilaporkan, Ini Batas Waktunya

Gratifikasi Wajib Dilaporkan, Ini Batas Waktunya
Nafiatul Munawaroh, S.H., M.HSi Pokrol

Bacaan 10 Menit

Article Klinik

PERTANYAAN

Hari-hari ini saya sering mendengar bahwa adalah hal yang lumrah bagi pejabat dan keluarganya menerima pemberian dari pengusaha. Setahu saya, hal itu merupakan bentuk gratifikasi dan harus dilaporkan kepada KPK. Pertanyaan saya, adakah batas waktu pelaporan gratifikasi dari penerimanya ke KPK? Lalu, apa contoh kasus gratifikasi?

Daftar Isi

    INTISARI JAWABAN

    Gratifikasi adalah pemberian dalam arti luas dan memiliki makna yang netral, tidak terdapat arti yang tercela atau negatif. Artinya, tidak semua gratifikasi itu bertentangan dengan hukum, kecuali jika gratifikasi tersebut memenuhi kriteria Pasal 12B UU 20/2001 tentang gratifikasi yang dianggap suap.

    Oleh karena itu, setiap pemberian atau gratifikasi yang diterima oleh pegawai negeri atau penyelenggara negara wajib dilaporkan kepada KPK atau Unit Pengendalian Gratifikasi (UPG) dengan batas waktu yang ditentukan dalam undang-undang.

    Penjelasan lebih lanjut dapat Anda baca ulasan di bawah ini.

    ULASAN LENGKAP

    Terima kasih atas pertanyaan Anda.

    Artikel di bawah ini adalah pemutakhiran dari artikel dengan judul Batas Waktu Pelaporan Gratifikasi yang dibuat oleh Togar S.M. Sijabat, S.H., M.H. dan pertama kali dipublikasikan pada 2 Oktober 2019.

    Seluruh informasi hukum yang ada di Klinik hukumonline.com disiapkan semata – mata untuk tujuan pendidikan dan bersifat umum (lihat Pernyataan Penyangkalan selengkapnya). Untuk mendapatkan nasihat hukum spesifik terhadap kasus Anda, konsultasikan langsung dengan Konsultan Mitra Justika.

    Pasal Gratifikasi

    Apa itu gratifikasi? Secara harfiah, gratifikasi adalah pemberian yang diberikan karena layanan atau manfaat yang diperoleh. Menurut M. Nurul Irfan dalam bukunya Gratifikasi & Kriminalitas Seksual, gratifikasi juga dapat diartikan sebagai uang hadiah kepada pegawai di luar gaji yang ditentukan (hal. 9).

    Adapun menurut Penjelasan Pasal 12B UU 20/2001, gratifikasi adalah pemberian dalam arti luas, yakni meliputi pemberian uang, barang rabat/diskon, komisi, pinjaman tanpa bunga, tiket perjalanan, fasilitas penginapan, perjalanan wisata, pengobatan cuma-cuma, dan fasilitas lainnya, baik yang diterima di dalam negeri maupun luar negeri dan yang dilakukan dengan menggunakan sarana elektronik atau tanpa sarana elektronik.

    Berdasarkan definisi di atas, dapat dilihat bahwa gratifikasi adalah pemberian dalam arti luas dan memiliki makna yang netral (tidak tercela atau negatif), sedangkan kalimat setelah itu merupakan bentuk-bentuk gratifikasi. Artinya, tidak semua gratifikasi itu bertentangan dengan hukum, melainkan hanya gratifikasi yang memenuhi kriteria dalam pasal gratifikasi.[1] Lalu, bagaimana bunyi pasal gratifikasi? Berikut adalah bunyi Pasal 12B UU 20/2001:

    1. Setiap gratifikasi kepada pegawai negeri atau penyelenggara negara dianggap pemberian suap, apabila berhubungan dengan jabatannya dan yang berlawanan dengan kewajiban atau tugasnya, dengan ketentuan sebagai berikut:
      1. yang nilainya Rp 10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah) atau lebih, pembuktian bahwa gratifikasi tersebut bukan merupakan suap dilakukan oleh penerima gratifikasi;
      2. yang nilainya kurang dari Rp 10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah), pembuktian bahwa gratifikasi tersebut suap dilakukan oleh penuntut umum.
    2. Pidana bagi pegawai negeri atau penyelenggara negara sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) adalah pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun, dan pidana denda paling sedikit Rp200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).

    Baca juga: Begini Perbedaan Suap dan Gratifikasi

    Oleh karena itu, pegawai negeri dan penyelenggara negara yang menerima gratifikasi wajib melaporkannya dan wajib menolak jika gratifikasi itu dianggap pemberian yang berhubungan dengan jabatan dan berlawanan dengan kewajibannya.[2]

    Jika kemudian penerima gratifikasi tidak melaporkannya, maka secara a contrario penerima gratifikasi dapat dipidana sesuai Pasal 12B UU 20/2001. Kecuali, jika gratifikasi tersebut adalah jenis yang dikecualikan sebagaimana akan kami jelaskan pada pembahasan selanjutnya.

    Baca juga: Jerat Pidana bagi Pemberi dan Penerima Gratifikasi

    Kapan Batas Waktu Melaporkan Gratifikasi?

    Aturan mengenai batas waktu pelaporan gratifikasi termaktub di dalam Pasal 12C ayat (1) s.d. (3) UU 20/2001 yang berbunyi sebagai berikut:

    1. Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12B ayat (1) tidak berlaku, jika penerima melaporkan gratifikasi yang diterimanya kepada Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
    2. Penyampaian laporan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) wajib dilakukan oleh penerima gratifikasi paling lambat 30 (tiga puluh) hari kerja terhitung sejak tanggal gratifikasi tersebut diterima.
    3. Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dalam waktu paling lambat 30 (tiga puluh) hari kerja sejak tanggal menerima laporan wajib menetapkan gratifikasi dapat menjadi milik penerima atau milik negara.

    Berdasarkan ketentuan di atas, jelas bahwa batas waktu pelaporan gratifikasi adalah paling lambat 30 hari kerja terhitung sejak tanggal gratifikasi diterima.

    Selanjutnya, Peraturan KPK 2/2019 mengatur secara lebih spesifik bahwa penerima gratifikasi, yaitu pegawai negeri dan penyelenggara negara wajib melaporkan gratifikasi kepada Unit Pengendalian Gratifikasi (“UPG”) pada instansi atau unit kerja masing-masing paling lama 10 hari kerja sejak tanggal gratifikasi diterima atau kepada KPK maksimal 30 hari kerja sejak gratifikasi diterima.[3]

    Selanjutnya, jika gratifikasi dilaporkan kepada UPG, maka UPG wajib meneruskan laporan gratifikasi kepada KPK dalam waktu paling lama 10 hari kerja sejak tanggal laporan gratifikasi diterima.[4]

    Menurut Togar S.M. Sijabat (penulis sebelumnya), berdasarkan sejarah pembentukannya, pasal gratifikasi dibentuk dengan keyakinan bahwa masih banyak pejabat atau penyelenggara negara yang baik dan jujur di Indonesia. Pejabat tersebut bisa saja dijebak oleh orang-orang yang tidak suka dengan dirinya karena kebijakan-kebijakan yang dibuatnya yang membuat pihak lain yang mau berbuat jahat dirugikan sehingga pejabat yang bersangkutan harus disingkirkan dengan menjadikannya sebagai pelaku suap. Oleh karena itu, bagi pejabat yang baik dan jujur, dibuka kesempatan 30 hari untuk melaporkan gratifikasi yang diterimanya agar terbebas dari masalah hukum.

    Lebih lanjut, Togar menjelaskan bahwa mekanisme pelaporan yang disediakan oleh undang-undang tersebut bertujuan untuk memutus potensi suap yang tertunda. Dengan dilaporkannya penerimaan gratifikasi, beban moral yang dapat timbul akibat diterimanya gratifikasi menjadi hilang. Dengan demikian, maksud atau tujuan terselubung pemberi untuk meminta pegawai negeri/penyelenggara negara melakukan atau tidak melakukan sesuatu yang bertentangan dengan kewajibannya di kemudian hari menjadi tidak terwujud.

    Tata Cara Pelaporan Gratifikasi

    Untuk membahas tata cara pelaporan gratifikasi, maka pertama-tama harus diketahui terlebih dahulu siapa saja yang wajib melaporkan gratifikasi, yaitu:[5]

    1. Pegawai negeri yang meliputi:
    • pegawai negeri sebagaimana dimaksud dalam UU ASN;
    • pegawai negeri sebagaimana dimaksud dalam KUHP;
    • orang yang menerima gaji atau upah dari suatu korporasi yang menerima bantuan dari keuangan negara atau daerah; atau
    • orang yang menerima gaji atau upah dari korporasi lain yang mempergunakan modal atau fasilitas dari negara atau masyarakat.
    1. Penyelenggara negara yaitu pejabat negara yang menjalankan fungsi eksekutif, legislatif, atau yudikatif, dan pejabat lain yang fungsi dan tugas pokoknya berkaitan dengan penyelenggaraan negara sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

    Selanjutnya, pelapor gratifikasi menyampaikan laporan gratifikasi dengan cara mengisi formulir laporan yang disampaikan dalam bentuk tertulis, surat elektronik, atau aplikasi yang paling sedikit memuat informasi:[6]

    1. identitas penerima gratifikasi berupa NIK, nama, alamat lengkap, dan nomor telepon;
    2. informasi pemberi gratifikasi;
    3. jabatan penerima gratifikasi;
    4. tempat dan waktu penerimaan gratifikasi;
    5. uraian jenis gratifikasi yang diterima;
    6. nilai gratifikasi yang diterima;
    7. kronologis peristiwa penerimaan gratifikasi; dan
    8. bukti, dokumen, atau data pendukung terkait laporan gratifikasi.

    Nantinya, laporan gratifikasi tersebut akan ditindaklanjuti dan dilakukan analisis lebih lanjut untuk menentukan kepemilikan objek gratifikasi, yaitu apakah menjadi milik penerima atau milik negara.[7]

    Meski demikian, pelapor gratifikasi pada dasarnya bisa menyampaikan permohonan kompensasi atas objek gratifikasi yang dilaporkan KPK dengan syarat:[8]

    1. objek gratifikasi berbentuk barang atau fasilitas;
    2. pelapor kooperatif dan beriktikad baik; dan
    3. pelapor bersedia mengganti objek gratifikasi dengan sejumlah uang yang senilai dengan barang yang dikompensasikan.

    Kemudian, jika terjadi hal-hal berikut ini, maka laporan gratifikasi tidak ditindaklanjuti:[9]

    1. telah lewat 30 hari kerja terhitung sejak tanggal gratifikasi diterima;
    2. tidak dilaporkan secara lengkap dan/atau benar;
    3. diketahui sedang dilakukan penyelidikan, penyidikan, atau penuntutan tindak pidana oleh aparat penegak hukum;
    4. diketahui telah menjadi temuan pengawas internal di instansi asal penerima gratifikasi; dan/atau
    5. patut diduga terkait dengan tindak pidana lainnya.

    Terhadap laporan gratifikasi yang tidak ditindaklanjuti tersebut, maka KPK akan menyampaikan surat pemberitahuan kepada penerima gratifikasi dan jika alasannya adalah karena patut diduga terkait tindak pidana lainnya, KPK meneruskan kepada pihak yang berwenang.[10]

    Pengecualian Gratifikasi yang Wajib Dilaporkan

    Meski setiap gratifikasi yang diterima pegawai negeri atau penyelenggara negara wajib dilaporkan kepada KPK, namun terdapat jenis gratifikasi yang dikecualikan untuk dilaporkan, yaitu:[11]

    1. pemberian dalam keluarga yaitu kakek/nenek, bapak/ibu/mertua, suami/istri, anak/menantu, anak angkat/wali yang sah, cucu, besan, paman/bibi, kakak/adik/ipar, sepupu dan keponakan, sepanjang tidak terdapat konflik kepentingan;
    2. keuntungan atau bunga dari penempatan dana, investasi atau kepemilikan saham pribadi yang berlaku umum;
    3. manfaat dari koperasi, organisasi kepegawaian atau organisasi yang sejenis berdasarkan keanggotaan yang berlaku umum;
    4. perangkat atau perlengkapan yang diberikan kepada peserta dalam kegiatan kedinasan seperti seminar, workshop, konferensi, pelatihan, atau kegiatan sejenis, yang berlaku umum;
    5. hadiah tidak dalam bentuk uang atau alat tukar lainnya, yang dimaksudkan sebagai alat promosi atau sosialisasi yang menggunakan logo atau pesan sosialisasi, sepanjang tidak memiliki konflik kepentingan dan berlaku umum;
    6. hadiah, apresiasi atau penghargaan dari kejuaraan, perlombaan atau kompetisi yang diikuti dengan biaya sendiri dan tidak terkait dengan kedinasan;
    7. penghargaan baik berupa uang atau barang yang ada kaitannya dengan peningkatan prestasi kerja yang diberikan oleh pemerintah sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku;
    8. hadiah langsung/undian, diskon/rabat, voucher, point rewards, atau suvenir yang berlaku umum dan tidak terkait kedinasan;
    9. kompensasi atau honor atas profesi di luar kegiatan kedinasan yang tidak terkait dengan tugas dan kewajiban, sepanjang tidak terdapat konflik kepentingan dan tidak melanggar peraturan/kode etik pegawai/pejabat yang bersangkutan;
    10. kompensasi yang diterima terkait kegiatan kedinasan seperti honorarium, transportasi, akomodasi dan pembiayaan yang telah ditetapkan dalam standar biaya yang berlaku di instansi penerima gratifikasi sepanjang tidak terdapat pembiayaan ganda, tidak terdapat konflik benturan kepentingan, dan tidak melanggar ketentuan yang berlaku di instansi penerima;
    11. karangan bunga sebagai ucapan yang diberikan dalam acara seperti pertunangan, pernikahan, kelahiran, kematian, akikah, baptis, khitanan, potong gigi, atau upacara adat/agama lainnya, pisah sambut, pensiun, promosi jabatan;
    12. pemberian terkait dengan pertunangan, pernikahan, kelahiran, akikah, baptis, khitanan, potong gigi, atau upacara adat/agama lainnya dengan batasan nilai sebesar Rp1 juta setiap pemberi;
    13. pemberian terkait dengan musibah atau bencana yang dialami oleh diri penerima gratifikasi, suami, istri, anak, bapak, ibu, mertua, dan/atau menantu penerima gratifikasi sepanjang tidak terdapat konflik kepentingan, dan memenuhi kewajaran atau kepatutan;
    14. pemberian sesama rekan kerja dalam rangka pisah sambut, pensiun, mutasi jabatan, atau ulang tahun yang tidak dalam bentuk uang atau alat tukar lainnya paling banyak senilai Rp300 ribu setiap pemberian per orang, dengan total pemberian tidak melebihi Rp1 juta dalam 1 tahun dari pemberi yang sama, sepanjang tidak terdapat konflik kepentingan;
    15. pemberian sesama rekan kerja yang tidak dalam bentuk uang atau alat tukar lainnya, dan tidak terkait kedinasan paling banyak senilai Rp200 ribu rupiah setiap pemberian per orang, dengan total pemberian tidak melebihi Rp1 juta dalam 1 tahun dari pemberi yang sama;
    16. pemberian berupa hidangan atau sajian yang berlaku umum; dan
    17. pemberian cendera mata/plakat kepada instansi dalam rangka hubungan kedinasan dan kenegaraan, baik di dalam negeri maupun luar negeri sepanjang tidak diberikan untuk individu pegawai negeri atau penyelenggara negara.

    Namun, pengecualian tersebut tidak berlaku jika gratifikasi tersebut dilarang menurut peraturan yang berlaku di instansi penerima gratifikasi.[12]

    Contoh Kasus Gratifikasi

    Untuk memberikan pemahaman tentang gratifikasi, berdasarkan Buku Saku Memahami Gratifikasi, “Gratifikasi adalah Akar dari Korupsi” dari KPK RI, berikut adalah contoh pemberian yang dapat dikategorikan sebagai gratifikasi (hal. 57):

    1. pemberian hadiah atau parsel kepada pejabat pada saat hari raya keagamaan, oleh rekanan atau bawahannya;
    2. hadiah atau sumbangan pada saat perkawinan anak dari pejabat oleh rekanan kantor pejabat tersebut;
    3. pemberian tiket perjalanan kepada pejabat atau keluarganya untuk keperluan pribadi secara cuma-cuma;
    4. pemberian potongan harga khusus bagi pejabat untuk pembelian barang dari rekanan;
    5. pemberian biaya atau ongkos naik haji dari rekanan kepada pejabat;
    6. pemberian hadiah ulang tahun atau pada acara-acara pribadi lainnya dari rekanan;
    7. pemberian hadiah atau souvenir kepada pejabat pada saat kunjungan kerja;
    8. pemberian hadiah atau uang sebagai ucapan terima kasih karena telah dibantu.

    Perkaya riset hukum Anda dengan analisis hukum terbaru dwibahasa, serta koleksi terjemahan peraturan yang terintegrasi dalam Hukumonline Pro, pelajari lebih lanjut di sini.

    Demikian jawaban dari kami, semoga bermanfaat.

    Dasar Hukum:

    1. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana;
    2. Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi;
    3. Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi;
    4. Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2023 tentang Aparatur Sipil Negara;
    5. Peraturan Komisi Pemberantasan Korupsi Nomor 2 Tahun 2019 tentang Pelaporan Gratifikasi.

    Referensi:

    1. Buku Saku Memahami Gratifikasi. KPK RI, Cetakan kedua, 2014;
    2. Buku Saku Memahami Gratifikasi, “Gratifikasi adalah Akar dari Korupsi”. KPK RI, Cetakan ketiga edisi revisi, 2021;
    3. M. Nurul Irfan. Gratifikasi & Kriminalitas Seksual. Jakarta: AMZAH, 2014;
    4. Gratifikasi, yang diakses pada tanggal 28 Agustus 2024, pukul 08.14 WIB.

    [1] Buku Saku Memahami Gratifikasi. KPK RI, Cetakan kedua, 2014, hal. 3

    [2] Pasal 2 ayat (1) dan (2) Peraturan Komisi Pemberantasan Korupsi Nomor 2 Tahun 2019 tentang Pelaporan Gratifikasi (“Peraturan KPK 2/2019”)

    [3] Pasal 3 ayat (1) jo. Pasal 1 angka 10 Peraturan KPK 2/2019

    [4] Pasal 3 ayat (2) Peraturan KPK 2/2019

    [5] Pasal 1 angka 4, 5, 6, dan 7 Peraturan KPK 2/2019

    [6] Pasal 4 ayat (1) dan (2) Peraturan KPK 2/2019

    [7] Pasal 12 ayat (2) huruf a jo. Pasal 13 jo. Pasal 17 Peraturan KPK 2/2019

    [8] Pasal 24 ayat (1) dan (2) Peraturan KPK 2/2019

    [9] Pasal 12 ayat (2) huruf b jo. Pasal 14 ayat (1) Peraturan KPK 2/2019

    [10] Pasal 14 ayat (2) dan Pasal 15 Peraturan KPK 2/2019

    [11] Pasal 2 ayat (3) Peraturan KPK 2/2019

    [12] Pasal 2 ayat (4) Peraturan KPK 2/2019

    TAGS

    Punya masalah hukum yang sedang dihadapi?

    atauMulai dari Rp 30.000
    Powered byempty result

    KLINIK TERBARU

    Lihat Semua

    TIPS HUKUM

    Lihat Semua
    logo channelbox

    Dapatkan info berbagai lowongan kerja hukum terbaru di Indonesia!

    Kunjungi

    Butuh lebih banyak artikel?

    Pantau Kewajiban Hukum
    Perusahaan Anda