KlinikBerita
New
Hukumonline Stream
Data PribadiJurnal
Personalisasi
Halo,
Anda,

Segera Upgrade paket berlangganan Anda.
Dapatkan fitur lebih lengkap
Profil
Ada pertanyaan? Hubungi Kami
Bahasa
id-flag
en-flag

Ganti Kerugian bagi Korban Salah Tangkap

Share
Pidana

Ganti Kerugian bagi Korban Salah Tangkap

Ganti Kerugian bagi Korban Salah Tangkap
Bernadetha Aurelia Oktavira, S.H.Si Pokrol

Bacaan 10 Menit

Article Klinik

PERTANYAAN

Belakangan banyak diberitakan kasus Pegi Setiawan yang diduga merupakan korban salah tangkap oleh polisi imbas dari kasus Vina. Jika benar Pegi adalah korban salah tangkap, upaya apa yang dapat dilakukan oleh korban salah tangkap? Berapa ganti rugi korban salah tangkap?

Daftar Isi

    INTISARI JAWABAN

    Menjawab pertanyaan Anda mengenai upaya apa yang dapat dilakukan oleh korban salah tangkap? Korban salah tangkap dapat mengajukan ganti kerugian. Pengaturan mengenai ganti kerugian terhadap korban salah tangkap merujuk pada Pasal 95 ayat (1) KUHAP. Bagaimana bunyi pasalnya? Berapa ganti rugi korban salah tangkap?

    Penjelasan lebih lanjut dapat Anda baca ulasan di bawah ini.

    ULASAN LENGKAP

    Terima kasih atas pertanyaan Anda.

    Artikel di bawah ini adalah pemutakhiran dari artikel dengan judul Ganti Kerugian bagi Pengamen Korban Salah Tangkap yang pertama kali dipublikasikan pada 10 Oktober 2019.

    Seluruh informasi hukum yang ada di Klinik hukumonline.com disiapkan semata – mata untuk tujuan pendidikan dan bersifat umum (lihat Pernyataan Penyangkalan selengkapnya). Untuk mendapatkan nasihat hukum spesifik terhadap kasus Anda, konsultasikan langsung dengan Konsultan Mitra Justika.

    Ganti Kerugian Bagi Korban Salah Tangkap

    Upaya apa yang dapat dilakukan oleh korban salah tangkap? Korban salah tangkap pada dasarnya dapat menuntut ganti kerugian. Hal ini dapat dilihat ketentuannya dalam Pasal 95 ayat (1) KUHAP yang selengkapnya berbunyi:

    Tersangka, terdakwa atau terpidana berhak menuntut ganti kerugian karena ditangkap, ditahan, dituntut dan diadili atau dikenakan tindakan lain, tanpa alasan yang berdasarkan undang-undang atau karena kekeliruan mengenai orangnya atau hukum yang diterapkan.

    Yang dimaksud dengan “kerugian karena tindakan lain” adalah kerugian yang ditimbulkan oleh pemasukan rumah, penggeledahan dan penyitaan yang tidak sah menurut hukum. Termasuk penahanan tanpa alasan ialah penahanan yang lebih lama daripada pidana yang dijatuhkan.[1] Tuntutan ganti kerugian diajukan oleh tersangka, terdakwa, terpidana atau ahli warisnya kepada pengadilan yang berwenang mengadili perkara yang bersangkutan.[2]

    Untuk memeriksa dan memutus perkara tuntutan ganti kerugian, ketua pengadilan sejauh mungkin menunjuk hakim yang sama yang telah mengadili perkara pidana yang bersangkutan. Pemeriksaan terhadap ganti kerugian mengikuti acara praperadilan.[3]

    Pengaturan lebih lanjut mengenai ganti kerugian diatur dalam Pasal 7PP 92/2015, yang berbunyi:

    (1) Tuntutan ganti kerugian hanya dapat diajukan dalam waktu paling lama 3 (tiga) bulan terhitung sejak tanggal petikan atau salinan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap diterima.

    (2) Dalam hal tuntutan ganti kerugian tersebut diajukan terhadap perkara yang dihentikan pada tingkat penyidikan atau tingkat penuntutan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 77 huruf b KUHAP, maka jangka waktu 3 (tiga) bulan dihitung dari saat tanggal pemberitahuan penetapan praperadilan.

    Ganti kerugian korban salah tangkap dapat diberikan atas dasar pertimbangan hakim. Dalam hal hakim mengabulkan atau menolak tuntutan ganti kerugian, maka alasan pemberian atau penolakan dicantumkan dalam penetapan.[4] Kemudian pada bagian Penjelasan Pasal 8 ayat (1) PP 27/1983 diuraikan sebagai berikut:

    Dalam menetapkan dikabulkan atau tidaknya tuntutan ganti kerugian, hakim mendasarkan pertimbangannya kepada kebenaran dan keadilan, sehingga dengan demikian tidak semua tuntutan ganti kerugian akan dikabulkan oleh hakim. Misalnya apabila tuntutan tersebut didasarkan atas hal yang menyesatkan atau bersifat menipu, maka tepat kalau tuntutan demikian itu ditolak.

    Lantas, berapa ganti rugi korban salah tangkap? Adapun besaran nominal ganti kerugian berpedoman pada Pasal 9 PP 92/2015, yang berbunyi:

    1. Besarnya ganti kerugian berdasarkan alasan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 77 huruf b dan Pasal 95 KUHAP paling sedikit Rp500.000,00 (lima ratus ribu rupiah) dan paling banyak Rp100.000.000,00 (seratus juta rupiah).
    2. Besarnya ganti kerugian berdasarkan alasan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 95 KUHAP yang mengakibatkan luka berat atau cacat sehingga tidak bisa melakukan pekerjaan, besarnya ganti kerugian paling sedikit Rp25.000.000,00 (dua puluh lima juta rupiah) dan paling banyak Rp300.000.000,00 (tiga ratus juta rupiah).
    3. Besarnya ganti kerugian berdasarkan alasan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 95 KUHAP yang mengakibatkan mati, besarnya ganti kerugian paling sedikit Rp50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp600.000.000,00 (enam ratus juta rupiah).

    Prosedur penganggaran ganti kerugian bagi korban salah tangkap sendiri juga dapat merujuk pada PMK 132/2019. Pada Bagian l Lampiran I (hal. 29) diuraikan mengenai pergeseran anggaran dalam rangka penyelesaian putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap (inkracht). Pergeseran anggaran dalam rangka penyelesaian putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap (inkracht) dapat dilakukan antarjenis belanja dan/atau antar-kegiatan dalam satu program. Pergeseran anggaran dimaksud merupakan kewajiban pengeluaran yang timbul sehubungan dengan putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap (inkracht). Pergeseran anggaran dimaksud merupakan tanggung jawab Kementerian/Lembaga yang terkait dengan permasalahan tersebut. Ketentuan ini juga dapat digunakan untuk penyelesaian revisi berupa pembayaran ganti kerugian korban salah tangkap.

    Contoh Kasus Korban Salah Tangkap

    Sebagai referensi, kami akan menguraikan kasus korban salah tangkap yang dialami oleh dua pengamen yang didakwa terbukti bersalah melakukan tindak pidana pembunuhan secara bersama-sama yang kemudian membuat mereka dijatuhi pidana penjara selama tujuh tahun. Amar putusan ini tercantum dalam Putusan PN Jakarta Selatan No. 1273/Pid.B/2013/PN.Jkt Sel.

    Selanjutnya atas putusan tersebut, diajukan upaya hukum banding dan dikeluarkan Putusan PT Jakarta No. 50/PID/2014/PT.DKI. Amar putusannya menyatakan bahwa terpidana tidak terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana, sehingga kepadanya dikeluarkan dari tahanan dan dipulihkan harkat dan martabatnya. Tidak berhenti sampai di situ, pihak penuntut umum kemudian melakukan upaya kasasi. Mahkamah Agung justru memperkuat putusan Pengadilan Tinggi Jakarta tersebut melalui Putusan MA No. 1055 K/PID/2014.

    Kasus salah tangkap ini juga terangkum dalam artikel Jalan Berliku Korban Salah Tangkap Peroleh Uang Ganti Kerugian. Masih bersumber pada laman artikel yang sama, diberitakan bahwa kedua pengamen tersebut telah mendekam di penjara selama kurang lebih setahun.

    Pasca dikeluarkannya putusan yang menyatakan kedua pengamen tersebut terbukti tidak bersalah, dikutip dari artikel Proses Pencairan Ganti Rugi Pengamen Salah Tangkap Terhambat Penetapan Hakim, kedua pengamen mengajukan permohonan praperadilan ke Pengadilan Negeri Jakarta Selatan atas penangkapan yang dianggap tidak sah sekaligus meminta ganti kerugian. Sepanjang penelusuran kami, diakses dari laman resmi Sistem Informasi Penelusuran Perkara Pengadilan Negeri Jakarta Selatandinyatakan bahwa ganti kerugian korban salah tangkap tersebut dikabulkan melalui Putusan PN Jakarta Selatan No. 98/Pid.Pra/2016/PN JKT.SEL yang pada pokok amarnya memerintahkan kepada negara, dalam hal ini melalui Pemerintah Republik Indonesia cq Menteri Keuangan, untuk membayar ganti kerugian sebesar Rp36 juta.

    Perkaya riset hukum Anda dengan analisis hukum terbaru dwibahasa, serta koleksi terjemahan peraturan yang terintegrasi dalam Hukumonline Pro, pelajari lebih lanjut di sini.

    Demikian jawaban dari kami, semoga bermanfaat.

    Dasar Hukum:

    1. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana;
    2. Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 1983 tentang Pelaksanaan Kitab Undang Undang Hukum Acara Pidana sebagaimana diubah dengan Peraturan Pemerintah Nomor 58 Tahun 2010 tentang Perubahan Atas Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 1983 tentang Pelaksanaan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana kemudian diubah kedua kalinya dengan Peraturan Pemerintah Nomor 92 Tahun 2015 tentang Perubahan Kedua Atas Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 1983 tentang Pelaksanaan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana;
    3. Peraturan Menteri Keuangan Nomor 206/PMK.02/2018 tentang Tata Cara Revisi Anggaran Tahun Anggaran 2019 sebagaimana diubah dengan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 132/PMK.02/2019 Tahun 2019 tentang Perubahan Atas Peraturan Menteri Keuangan Nomor 206/PMK.02/2018 tentang Tata Cara Revisi Anggaran Tahun Anggaran 2019.

    Putusan:

    Putusan Mahkamah Agung Nomor: 1055 K/PID/2014.

    Referensi:

    Sistem Informasi Penelusuran Perkara Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, yang diakses pada 12 Juni 2024, pukul 12.00 WIB.

    [1] Penjelasan Pasal 95 ayat (1) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (“KUHAP”)

    [2] Pasal 95 ayat (3) KUHAP

    [3] Pasal 95 ayat (4) dan (5) KUHAP

    [4] Pasal 8 Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 1983 tentang Pelaksanaan Kitab Undang Undang Hukum Acara Pidana

     

    TAGS

    Punya masalah hukum yang sedang dihadapi?

    atauMulai dari Rp 30.000
    Powered byempty result

    KLINIK TERBARU

    Lihat Semua

    TIPS HUKUM

    Lihat Semua
    logo channelbox

    Dapatkan info berbagai lowongan kerja hukum terbaru di Indonesia!

    Kunjungi

    Butuh lebih banyak artikel?

    Pantau Kewajiban Hukum
    Perusahaan Anda