Bagaimana eksekusi hak atas paten yang dijadikan objek jaminan fidusia ketika pihak debitur wanprestasi?
DAFTAR ISI
INTISARI JAWABAN
Hak atas paten dapat dijadikan sebagai objek jaminan fidusia menurut Pasal 108 ayat (1) Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2016 tentang Paten. Kemudian apabila debitur cidera janji (wanprestasi), eksekusi terhadap paten yang menjadi objek jaminan fidusia dapat dilakukan dengan cara yang terdapat dalam Pasal 29 ayat (1) Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia (“UU 42/1999”), yaitu pelaksanaan titel eksekutorial oleh penerima fidusia, penjualan benda yang menjadi objek jaminan fidusia melalui pelelangan umum, dan penjualan di bawah tangan atas kesepakatan pemberi dan penerima fidusia jika nantinya dapat diperoleh harga tertinggi yang menguntungkan para pihak.
Sejak adanya Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 18/PUU-XVII/2019, terdapat perubahan penafsiran, di antaranya, terhadap frasa “kekuatan eksekutorial” dan “cidera janji” dalam UU 42/1999. Bagaimanakah perubahan penafsiran tersebut?
Penjelasan lebih lanjut dapat Anda klik ulasan di bawah ini.
ULASAN LENGKAP
Terima kasih atas pertanyaan Anda.
Artikel di bawah ini adalah pemutakhiran dari artikel dengan judul sama dibuat oleh Abi Jam'an Kurnia, S.H. dan pertama kali dipublikasikan pada Kamis, 5 Juli 2018.
Paten adalah hak eksklusif yang diberikan oleh negara kepada inventor atas hasil invensinya di bidang teknologi untuk jangka waktu tertentu melaksanakan sendiri invensi tersebut atau memberikan persetujuan kepada pihak lain untuk melaksanakannya.
Hak atas paten dapat dijadikan sebagai objek jaminan fidusia.[1]Pasal 5 ayat (1) Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia (“UU 42/1999”) menjelaskan bahwa pembebanan benda dengan jaminan fidusia dibuat dengan akta notaris dalam bahasa Indonesia dan merupakan akta jaminan fidusia.
Jaminan Fidusia merupakan perjanjian ikutan dari suatu perjanjian pokok yang menimbulkan kewajiban bagi para pihak untuk memenuhi suatu prestasi.[2]
Perlu Anda ketahui bahwa dalam sertifikat jaminan fidusia tercantum kata-kata “DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA”.[3] Namun, sertifikat tersebut tidak lagi berkekuatan eksekutorial yang sama dengan putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15 ayat (2) UU 42/1999 dan penjelasannya.
Frasa “kekuatan eksekutorial” dan frasa “sama dengan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap”, menurut Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 18/PUU-XVII/2019, bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945(“UUD 1945”) dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai “terhadap jaminan fidusia yang tidak ada kesepakatan tentang cidera janji (wanprestasi) dan debitur keberatan menyerahkan secara sukarela objek yang menjadi jaminan fidusia, maka segala mekanisme dan prosedur hukum dalam pelaksanaan eksekusi sertifikat jaminan fidusia harus dilakukan dan berlaku sama dengan pelaksanaan eksekusi putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap”. (hal. 125).
Selain itu, masih merujuk pada halaman yang sama, Pasal 15 ayat (3) UU 42/1999 yang mengandung frasa “cidera janji” juga diputus bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai bahwa “adanya cidera janji tidak ditentukan secara sepihak oleh kreditur melainkan atas dasar kesepakatan antara kreditur dengan debitur atau atas dasar upaya hukum yang menentukan telah terjadinya cidera janji”.
Dapat disimpulkan bahwa, kini cidera janji dalam UU 42/1999 harus ditafsirkan atas dasar kesepakatan antara kreditur dengan debitur atau atas dasar upaya hukum yang menentukan telah terjadinya cidera janji.
Kemudian, kekuatan eksekutorial sertifikat jaminan fidusia tidak lagi diartikan sebagai sama dengan putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap, melainkan segala mekanisme dan prosedur hukum dalam pelaksanaan eksekusi sertifikat jaminan fidusia harus dilakukan dan berlaku sama dengan pelaksanaan eksekusi putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap, jika tidak ada kesepakatan cidera janji dan debitur keberatan menyerahkan objek jaminan fidusia.
Eksekusi Objek Jaminan Fidusia berupa Paten
Pasal 29 ayat (1) UU 42/1999 menjelaskan bahwa:
Apabila debitor atau Pemberi Fidusia cidera janji, eksekusi terhadap Benda yang menjadi objek Jaminan Fidusia dapat dilakukan dengan cara:
pelaksanaan titel eksekutorial sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15 ayat (2) oleh penerima fidusia;
penjualan benda yang menjadi obyek jaminan fidusia atas kekuasaan penerima fidusia sendiri melalui pelelangan umum serta mengambil pelunasan piutangnya dari hasil penjualan;
penjualan di bawah tangan yang dilakukan berdasarkan kesepakatan pemberi dan penerima fidusia jika dengan cara demikian dapat diperoleh harga tertinggi yang menguntungkan para pihak.
Pasal di atas menjelaskan cara-cara eksekusi benda yang menjadi objek jaminan fidusia, yaitu:
Pelaksanaan Titel Eksekutorial
Titel eksekutorial ini mengacu pada Pasal 15 ayat (2) UU 42/1999 bahwa segala mekanisme dan prosedur hukum dalam pelaksanaan eksekusi sertifikat jaminan fidusia harus dilakukan dan berlaku sama dengan pelaksanaan eksekusi putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap, jika tidak ada kesepakatan cidera janji dengan debitur yang juga keberatan menyerahkan objek jaminan fidusia.
Menjual Melalui Pelelangan Umum
Ketentuan Pasal 29 ayat (1) huruf b UU 42/1999 merupakan pelaksanaan Pasal 15 ayat (3) UU 42/1999 bahwacidera janji diartikan harus ditentukan atas dasar kesepakatan antara kreditur dengan debitur atau atas dasar upaya hukum yang menentukan telah terjadinya cidera janji sebelum melakukan pelelangan umum serta mengambil pelunasan piutangnya dari hasil penjualan tersebut.
Sesuai dengan Pasal 29 ayat (1) huruf c UU 42/1999, penjualan di bawah tangan dilakukan berdasarkan kesepakatan pemberi dan penerima fidusia jika dengan cara demikian dapat diperoleh harga tertinggi yang menguntungkan para pihak.
Penjualan di bawah tangan mengakibatkan adanya peralihan hak atas paten sebagaimana disebutkan dalam Pasal 74 ayat (1) UU Paten yang menjelaskan bahwa:
Hak atas Paten dapat beralih atau dialihkan baik seluruhnya maupun sebagian karena:
pewarisan;
hibah;
wasiat;
wakaf;
perjanjian tertulis;
sebab lain yang dibenarkan berdasarkan ketentuan perundang-undangan.
Merujuk pada Pasal 74 ayat (1) UU Paten, maka penjualan di bawah tangan yang dimaksud dalam UU 42/1999 menyebabkan beralihnya hak atas paten yang, menurut UU Paten, beralih melalui perjanjian tertulis.
Pengalihan Hak atas Paten
Selain itu, terdapat hal penting lainnya yang harus diperhatikan ketika terjadi eksekusi hak atas paten yang dibebankan dengan jaminan fidusia.
surat kuasa khusus, dalam hal permohonan diajukan melalui kuasa;
bukti pembayaran biaya permohonan pencatatan pengalihan paten; dan
bukti pembayaran biaya tahunan atas paten.
Pencatatan tersebut wajib sebab paten merupakan hak milik yang diberikan oleh negara dan pemakaian dan pelaksanaannya dibatasi dengan kurun waktu tertentu sebagaimana diterangkan dalam Pasal 1 angka 1 UU Paten.
Apabila pengalihan paten atas dasar eksekusi jaminan fidusia tidak dicatatkan dan diumumkan dalam Daftar Umum Paten, maka segala hak dan kewajiban atas paten masih melekat pada pemegang paten.[4]
Menjawab pertanyaan Anda, apabila disepakati terjadinya suatu cidera janji (wanprestasi), eksekusi terhadap hak atas paten yang menjadi objek jaminan fidusia dapat dilakukan dengan cara yang terdapat dalam Pasal 29 ayat (1) UU 42/1999, yaitu:
pelaksanaan titel eksekutorial;
menjual atas kekuasaan sendiri melalui pelelangan umum;
penjualan di bawah tangan.
Seluruh informasi hukum yang ada di Klinik hukumonline.com disiapkan semata-mata untuk tujuan pendidikan dan bersifat umum (lihatPernyataan Penyangkalanselengkapnya). Untuk mendapatkan nasihat hukum spesifik terhadap kasus Anda, konsultasikan langsung dengan Konsultan Mitra Justika.
Demikian jawaban kami, semoga bermanfaat.
Dasar hukum:
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945
Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia
Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2016 tentang Paten
Peraturan Presiden Nomor 37 Tahun 2010 tentang Syarat dan Tata Cara Pencatatan Pengalihan Paten