Terima kasih atas pertanyaan Anda.
Artikel di bawah ini adalah pemutakhiran dari artikel dengan judul sama dibuat oleh Dimas Hutomo, S.H. dan pertama kali dipublikasikan pada Selasa, 14 Mei 2019.
Jaminan Fidusia merupakan Perjanjian Ikutan
Disebutkan dalam
Pasal 4 UU 42/1999 bahwa jaminan fidusia merupakan
perjanjian ikutan dari suatu perjanjian pokok yang menimbulkan kewajiban bagi para pihak untuk memenuhi suatu prestasi. Yang dimaksud dengan "prestasi" dalam ketentuan ini adalah memberikan sesuatu, berbuat sesuatu, atau tidak berbuat sesuatu, yang dapat dinilai dengan uang.
[1]
Sebagaimana pernah dijelaskan dalam artikel
Wajibkah Debitor Hadir saat Pembuatan Akta Jaminan Fidusia?,
karena jaminan fidusia merupakan perjanjian ikutan, berarti ada perjanjian pokok yang menjadi induk dari perjanjian jaminan fidusia. Sebagai contoh, jika perjanjian pokoknya adalah perjanjian utang piutang, maka jaminan fidusia bisa menjadi perjanjian ikutan dari perjanjian utang piutang tersebut.
Maka menurut hemat kami, perjanjian jaminan fidusia tersebut tidak dapat lahir tanpa perjanjian induknya. Berdasarkan pengertian jaminan fidusia pada Pasal 1 angka 2 UU 42/1999 pun, jaminan fidusia digunakan sebagai agunan bagi pelunasan utang tertentu, sehingga jika tidak ada utang piutang yang harus dilunasi, maka tidak dapat diadakan perjanjian jaminan fidusia.
Patut diperhatikan bahwa pembebanan benda (dalam hal ini mobil) dengan jaminan fidusia dibuat dengan akta notaris dalam bahasa Indonesia dan merupakan akta jaminan fidusia. Pembuatan akta jaminan fidusia dikenakan biaya yang besarnya diatur lebih lanjut dengan peraturan pemerintah.
[2]
Objek Fidusia pada Penguasaan Debitur
Debitur adalah pihak yang mempunyai utang, karena perjanjian atau undang-undang. Apakah barang yang merupakan objek fidusia ada pada penguasaan debitur? Jawabannya adalah iya, sebagaimana dijelaskan Pasal 1 angka 1 UU 42/1999 yang berbunyi:
Fidusia adalah pengalihan hak kepemilikan suatu benda atas dasar kepercayaan dengan ketentuan bahwa benda yang hak kepemilikannya dialihkan tersebut tetap dalam penguasaan pemilik benda.
Berkaitan dengan objek fidusia tetap berada dalam pengusaan pemilik benda ini, Pasal 20 UU 42/1999 mengatur sebagai berikut:
Jaminan Fidusia tetap mengikuti Benda yang menjadi objek Jaminan Fidusia dalam tangan siapapun Benda tersebut berada, kecuali pengalihan atas benda persediaan yang menjadi objek Jaminan Fidusia.
Dalam Penjelasan Pasal 20 UU 42/1999 disebutkan bahwa ketentuan ini mengikuti prinsip "droit de suite" yang merupakan bagian dari peraturan perundang-undangan Indonesia dalam kaitannya dengan hak mutlak atas kebendaan (in rem).
Jadi, benda milik debitur yang dijaminkan secara fidusia tetap ada pada penguasaan debitur tersebut.
Eksekusi Apabila Cedera Janji dalam Jaminan Fidusia
Apabila debitur cedera janji, maka menurut Pasal 15 ayat (3) UU 42/1999, penerima fidusia mempunyai hak untuk menjual benda yang menjadi objek jaminan fidusia atas kekuasaannya sendiri.
Namun patut diperhatikan bahwa frasa “cedera janji” bertentangan dengan
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai bahwa adanya cedera janji
tidak ditentukan secara sepihak oleh kreditur melainkan atas dasar kesepakatan antara kreditur dengan debitur atau atas dasar upaya hukum yang menentukan telah terjadinya cedera janji. Hal ini sebagaimana diputus oleh
Mahkamah Konstitusi dalam
Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 18/PUU-XVII/2019 (hal. 125).
Selain itu, menurut Frieda Husni Hasbullah dalam bukunya Hukum Kebendaan Perdata: Hak-hak yang Memberi Jaminan Jilid II (hal. 79), salah satu ciri jaminan fidusia adalah kemudahan dalam pelaksanaan eksekusinya, yaitu apabila setelah melalui kesepakatan para pihak, pihak pemberi fidusia cedera janji. Oleh karena itu, dalam UU 42/1999 dipandang perlu diatur secara khusus tentang eksekusi jaminan fidusia melalui lembaga parate eksekusi.
Apabila debitur atau pemberi fidusia, setelah disepakati para pihak, dipandang cedera janji (wanprestasi), eksekusi terhadap objek jaminan fidusia dapat dilakukan dengan cara yang terdapat dalam Pasal 29 ayat (1) UU 42/1999, yaitu:
Apabila debitor atau Pemberi Fidusia cidera janji, eksekusi terhadap Benda yang menjadi objek Jaminan Fidusia dapat dilakukan dengan cara:
pelaksanaan titel eksekutorial sebagaimana dimaksud dalam pasal 15 ayat (2) oleh Penerima Fidusia;
penjualan Benda yang menjadi objek Jaminan Fidusia atas kekuasaan Penerima Fidusia sendiri melalui pelelangan umum serta mengambil pelunasan piutangnya dari hasil penjualan;
penjualan di bawah tangan yang dilakukan berdasarkan kesepakatan Pemberi dan Penerima Fidusia jika dengan cara demikian dapat diperoleh harga tertinggi yang menguntungkan para pihak.
Berdasarkan penjelasan tersebut, maka cara-cara eksekusi benda yang menjadi objek jaminan fidusia, yaitu:
pelaksanaan titel eksekutorial;
menjual atas kekuasaan sendiri melalui pelelangan umum;
penjualan di bawah tangan.
Menjawab pertanyaan Anda, apabila setelah disepakati para pihak debitur cedera janji, maka dapat dilakukan eksekusi. Salah satu caranya adalah menjual barang yang menjadi objek jaminan fidusia melalui pelelangan umum. Penjualan di bawah tangan dilakukan hanya jika dengan cara demikian dapat diperoleh harga tertinggi yang menguntungkan para pihak.
Seluruh informasi hukum yang ada di Klinik hukumonline.com disiapkan semata–mata untuk tujuan pendidikan dan bersifat umum (lihat
Pernyataan Penyangkalan selengkapnya). Untuk mendapatkan nasihat hukum spesifik terhadap kasus Anda, konsultasikan langsung dengan
Konsultan Mitra Justika.
Demikian jawaban dari kami, semoga bermanfaat.
Dasar Hukum:
Putusan:
Referensi:
Frieda Husni Hasbullah. Hukum Kebendaan Perdata: Hak-Hak yang Memberi Jaminan Jilid II. Jakarta: Ind-Hill Co, 2002.
[1] Penjelasan Pasal 4 UU 42/1999