Dalam perkara hukuman tambahan kebiri kimia di Indonesia, IDI menyatakan untuk tidak berpartisipasi dalam eksekusi hukuman kebiri kimia dalam bentuk apapun. Dengan hal tersebut, apakah seorang dokter yang menolak untuk ditunjuk sebagai eksekutor kebiri kimia akan dianggap melakukan tindakan menghalang-halangi proses pengadilan?
Di sisi lain, tindakan kebiri kimia patut diduga melanggar etika profesi kedokteran Indonesia. Seorang dokter yang menolak untuk menjadi eksekutor kebiri kimia, dengan demikian, tidak bisa dianggap telah melakukan obstruction of justice atau menghalang-halangi proses peradilan.
Penjelasan selengkapnya dapat Anda klik ulasan di bawah ini.
Belajar Hukum Secara Online dari Pengajar Berkompeten Dengan Biaya TerjangkauMulai DariRp. 149.000
Pasal 76D UU 35/2014 mengatur bahwa:
Setiap Orang dilarang melakukan Kekerasan atau ancaman Kekerasan memaksa Anak melakukan persetubuhan dengannya atau dengan orang lain.
Lebih lanjut, Pasal 81 Perppu 1/2016 kemudian mengatur bahwa:
Setiap orang yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 76D dipidana dengan pidana penjara paling singkat 5 (lima) tahun dan paling lama 15 (lima belas) tahun dan denda paling banyak Rp5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah).
Ketentuan pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berlaku pula bagi setiap Orang yang dengan sengaja melakukan tipu muslihat, serangkaian kebohongan, atau membujuk Anak melakukan persetubuhan dengannya atau dengan orang lain.
Dalam hal tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh orang tua, wali, orang-orang yang mempunyai hubungan keluarga, pengasuh anak, pendidik, tenaga kependidikan, aparat yang menangani perlindungan anak, atau dilakukan oleh lebih dari satu orang secara bersama-sama, pidananya ditambah 1/3 (sepertiga) dari ancaman pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1).
Selain terhadap pelaku sebagaimana dimaksud pada ayat (3), penambahan 1/3 (sepertiga) dari ancaman pidana juga dikenakan kepada pelaku yang pernah dipidana karena melakukan tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 76D.
Dalam hal tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 76D menimbulkan korban lebih dari 1 (satu) orang, mengakibatkan luka berat, gangguan jiwa, penyakit menular, terganggu atau hilangnya fungsi reproduksi, dan/atau korban meninggal dunia, pelaku dipidana mati, seumur hidup, atau pidana penjara paling singkat 10 (sepuluh) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun.
Selain dikenai pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (3), ayat (4), dan ayat (5), pelaku dapat dikenai pidana tambahan berupa pengumuman identitas pelaku.
Terhadap pelaku sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dan ayat (5) dapat dikenai tindakan berupa kebiri kimia dan pemasangan alat pendeteksi elektronik.
Tindakan sebagaimana dimaksud pada ayat (7) diputuskan bersama-sama dengan pidana pokok dengan memuat jangka waktu pelaksanaan tindakan.
Pidana tambahan dan tindakan dikecualikan bagi pelaku Anak.
Pelaksanaan tindakan kebiri kimia ada di bawah pengawasan secara berkala olehkementerian yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang hukum, kementerian yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang sosial, dan kementerian yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang kesehatan.[1]
Pelaksanaan kebiri kimia disertai dengan rehabilitasi. Ketentuan tata cara pelaksanaan tindakan kebiri kimia diatur dengan Peraturan Pemerintah.[2]
Sayangnya, sampai sejauh ini Peraturan Pemerintah yang diamanatkan belum disahkan. Oleh sebab itu, masih belum jelas siapa yang memiliki kewenangan sebagai eksekutor kebiri kimia terhadap seorang Terpidana.
Etika Profesi Dokter Terkait Kebiri Kimia
Sebagaimana yang Anda uraikan, Ikatan Dokter Indonesia (“IDI”) melalui Pengurus Besarnya tidak setuju jika dokter menjadi eksekutor kebiri kimia. Hal ini dinilai melanggar Kode Etik Kedokteran Indonesia(“KODEKI”). Seorang dokter seharusnya mengemban tugas sebagai “Sang Pengobat”, bukan sebagai “Sang Pengebiri”. Hal ini juga pernah diberitakan dalam artikel Belum Ada Pedoman, Eksekusi Sanksi Kebiri Dinilai Ahli Lebih Luwes.
Dalam Pasal 5 KODEKI diatur bahwa tiap perbuatan atau nasihat dokter yang mungkin melemahkan daya tahan psikis maupun fisik, wajib memperoleh persetujuan pasien/keluarganya dan hanya diberikan untuk kepentingan dan kebaikan pasien tersebut.
Dalam Penjelasan Pasal 5 KODEKI dijelaskan bahwa pada diri pasien sebagai manusia, kaitan badan/tubuh dan jiwa/mental tidak dapat dipisahkan satu sama lain. Melemahkan daya tahan psikis dan fisik adalah bertentangan dengan fitrah/tugas ilmu kedokteran, karena hal ini jika dibiarkan justru akan membahayakan nyawa atau memperberat penderitaannya.
Selain itu dalam Pasal 11 KODEKI dijelaskan bahwa setiap dokter wajib senantiasa mengingat kewajiban dirinya dalam melindungi hidup makhluk insani. Di dalam Penjelasan Pasal 11KODEKI disampaikan bahwa seorang dokter harus mengerahkan segala kemampuannya untuk memelihara kehidupan alamiah pasiennya dan tidak untuk mengakhirinya.
Oleh sebab itu, IDI memiliki dasar untuk menolak menjadi eksekutor tindakan kebiri kimia terhadap Terpidana. Tindakan tersebut patut diduga melanggar norma etika profesi kedokteran yang telah tertuang dalam KODEKI.
Menolak Mengebiri =Obstruction of Justice?
Pertanyaan selanjutnya, apakah penolakan IDI tersebut termasuk obstruction of justice? Agar tidak salah memahami obstruction of justice, maka kita perlu memahami terlebih dahulu pengertian dari obstruction of justiceitu sendiri.
Tidak ada aturan hukum di Indonesia yang secara khusus menjelaskan pengertian dari obstruction of justice. Sedangkan menurut Black’s Law Dictionary Ninth Edition (hal. 1183), pengertian obstruction of justice adalah sebagai berikut:
Interference with orderly administration of law and justice, as by giving false information to or withholding evidence from a police officer or prosecutor, or by harming or intimidating witness or juror.
Atau dalam terjemahan bebasnya ke bahasa Indonesia berarti ketidakpatuhan terhadap sistem hukum dengan mengganggu administrasi atau prosedur hukum, tidak sepenuhnya mengungkapkan bukti atau memberikan informasi palsu, atau menyakiti dan mengintimidasi juri atau saksi.
Di dalam UU Perlindungan Anak dan perubahannya sendiri tidak diatur mengenai obstruction of justice. Maka, tindakan seorang dokter yang menolak untuk menjadi eksekutor kebiri kimia terhadap Terpidana tidak bisa dianggap sebagai tindakan obstruction of justice atau menghalang-halangi proses peradilan.
Dalam hal ini, dokter memang belum resmi ditetapkan oleh peraturan perundang-undangan sebagai eksekutor terhadap Terpidana. Tindakan kebiri kimia juga patut diduga melanggar norma etika profesi kedokteran.
Akhirnya, untuk menjawab pertanyaan Anda, dapat disimpulkan setidaknya tiga penjelasan, yakni: Pertama, bahwa UU Perlindungan Anak dan perubahannya belum jelas mengatur siapa yang memiliki kewenangan sebagai eksekutor kebiri kimia terhadap Terpidana; Kedua, bahwa tindakan kebiri kimia patut diduga melanggar norma etika profesi kedokteran Indonesia; dan Ketiga, bahwa tindakan seorang dokter yang menolak untuk menjadi eksekutor kebiri kimia terhadap terpidana tidak bisa dianggap melakukan obstruction of justice atau menghalang-halangi proses peradilan.