Pasal 24C ayat (1) UUD 1945 menegaskan bahwa Mahkamah Konstitusi (MK) berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusan bersifat final untuk menguji UU terhadap UUD. Dari penjelasan tersebut, saya mau tanyakan jika ada sengketa (dalam hal ini adalah pilkada), maka ketentuannya harus diajukan kepada MK, di situlah akan diketahui siapa yang menang dan siapa yang kalah. Namun dengan berjalannya waktu, jika seseorang yang kalah menemukan bukti-bukti baru, apakah bisa diajukan lagi kepada MK? Atau bisakah diajukan banding? Jika bisa, kemana harus diajukan? Terima kasih.
Dalam UU Pilkada diatur bahwa MK memliki kewenangan mengadili perkara perselisihan hasil Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada). Putusan Mahkamah Konstitusi tentang Perselisihan Hasil Pemilihan Umum bersifat final dan mengikat.
Putusan MK bersifat final, yakni putusan MK langsung memperoleh kekuatan hukum tetap sejak diucapkan dan tidak ada upaya hukum yang dapat ditempuh. Sifat mengikat bermakna putusan MK tidak hanya berlaku bagi para pihak tetapi bagi seluruh masyarakat Indonesia.
Penjelasan lebih lanjut dapat Anda simak dalam ulasan di bawah ini.
Belajar Hukum Secara Online dari Pengajar Berkompeten Dengan Biaya TerjangkauMulai DariRp. 149.000
(1)Perkara perselisihan hasil Pemilihan diperiksa dan diadili oleh badan peradilankhusus.
(2)Badan peradilan khusus sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dibentuk sebelum pelaksanaan Pemilihan serentak nasional.
(3)Perkara perselisihan penetapan perolehan suara tahap akhir hasil Pemilihan diperiksa dan diadili oleh Mahkamah Konstitusi sampai dibentuknya badan peradilan khusus
(4)dst
(5)….
(6)...’
(7)...,
(8)...’
(9)...,
(10)....
Jadi berdasarkan UU Pilkada tersebut, memang benar bahwa Mahkamah Konstitusi (“MK”) yang memliki kewenangan memeriksa dan mengadili perkara perselisihan hasil Pilkada.
Putusan Mahkamah Konstitusi Secara Umum
Menurut Pasal 24C ayat (1) Undang-Undang Dasar 1945 (“UUD 1945”), MK berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk menguji undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar, memutus sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh Undang-Undang Dasar, memutus pembubaran partai politik, dan memutus perselisihan tentang hasil pemilihan umum.
MK berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk:
a.menguji undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
b.memutus sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
c.memutus pembubaran partai politik;
d.memutus perselisihan tentang hasil pemilihan umum.
Menjawab pertanyaan Anda, putusan MK itu bersifat final, yakni putusan MK langsung memperoleh kekuatan hukum tetap sejak diucapkan dan tidak ada upaya hukum yang dapat ditempuh. Sifat final dalam putusan Mahkamah Konstitusi dalam Undang-Undang ini mencakup pula kekuatan hukum mengikat (final and binding).[1]
Jadi, akibat hukumnya secara umum, tidak ada upaya hukum lain yang dapat ditempuh terhadap putusan MK, termasuk sengketa perselisihan Pemilihan Umum Kepala Daerah (“Pilkada”) sekalipun.
Putusan Mahkamah Konstitusi tentang Perselisihan Hasil Pemilihan Umum bersifat final dan mengikat.
Hal ini sejalan dengan yang telah disebutkan di atas bahwa putusan MK itu bersifat final,[2]yakni putusan MK langsung memperoleh kekuatan hukum tetap sejak diucapkan dan tidak ada upaya hukum yang dapat ditempuh.[3]
Dalam artikel yang berjudul Arti Putusan yang Final dan Mengikat, sifat mengikat bermakna putusan MK tidak hanya berlaku bagi para pihak tetapi bagi seluruh masyarakat Indonesia. Adapun salah satu akibat hukum dari putusan MK yang final dan mengikat dalam makna positif adalah mengakhiri sebuah sengketa hukum.
Dalam artikel Arti Putusan yang Final dan Mengikatyang mengutip dari Jurnal Mahkamah Konstitusi tentang Telaah Makna Hukum Putusan Mahkamah Konstitusi yang Final dan Mengikat dijelaskan bahwa secara harfiah, putusan Mahkamah Konstitusi yang bersifat final dan mengikat memiliki makna hukum tersendiri. Frase “final” dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia diartikan sebagai “terakhir dari rangkaian pemeriksaan”, sedangkan frase mengikat diartikan sebagai “mengeratkan”, “menyatukan”. Bertolak dari arti harafiah ini maka frase final dan frase mengikat, saling terkait sama seperti dua sisi mata uang artinya akhir dari suatu proses pemeriksaan, telah memiliki kekuatan mengeratkan atau menyatukan semua kehendak dan tidak dapat dibantah lagi.
Makna harafiah di atas bila dikaitkan dengan sifat final dan mengikat dari putusan MK artinya telah tertutup segala kemungkinan untuk menempuh upaya hukum. Tatkala putusan tersebut diucapkan dalam sidang pleno, maka ketika itu lahir kekuatan mengikat (verbindende kracht). Putusan MK memiliki kekuatan mengikat secara hukum terhadap semua komponen bangsa termasuk obyek yang disengketa.