Pasca UU Cipta Kerja, ada perubahan pengajuan keberatan terhadap putusan KPPU ke Pengadilan Niaga dan bukan lagi ke Pengadilan Negeri. Hal apa saja yang harus disesuaikan terkait pelimpahan ke Pengadilan Niaga ini? Adakah kendala yang mungkin berpotensi timbul? Terima kasih atas pencerahannya.
Daftar Isi
INTISARI JAWABAN
Benar. Pasca diundangkannya UU Cipta Kerja, terdapat perubahan sejumlah ketentuan UU 5/1999 di mana ketentuan kewenangan pengajuan keberatan terhadap putusan Komisi Pengawas Persaingan Usaha (“KPPU”) dipindahkan dari Pengadilan Negeri ke Pengadilan Niaga.
Hal ini tentu berdampak bagi lembaga peradilan terkhusus untuk mempersiapkan sumber daya manusia dan infrastrukturnya terutama hukum acara, yang tak bisa dilakukan secara instan. Selain lembaga peradilan, KPPU juga terkena imbasnya terkait pengenaan denda yang hanya mengatur ketentuan minimum tanpa ditentukan berapa ketentuan denda maksimalnya.
Penjelasan lebih lanjut dapat Anda baca ulasan di bawah ini.
ULASAN LENGKAP
Terima kasih atas pertanyaan Anda.
Pengajuan Keberatan ke Pengadilan Niaga
Benar, sejak diundangkannya UU Cipta Kerja, salah satu undang-undang yang turut terdampak diubah adalah UU 5/1999. Perubahan itu berdampak pada beberapa ketentuan, lebih spesifiknya yaitu Pasal 44, 45, 47, dan 48 UU 5/1999 dan dihapuskannya Pasal 49 UU 5/1999.
Dahulu sebelum UU Cipta Kerja diundangkan, pengajuan keberatan atas putusan Komisi Pengawas Persaingan Usaha (“KPPU”) diajukan ke Pengadilan Negeri selambat-lambatnya 14 hari setelah menerima pemberitahuan putusan itu.
Kini setelah putusan KPPU dibacakan dan diterima pemberitahuannya oleh pelaku usaha, ia dapat mengajukan keberatan kepada Pengadilan Niaga selambat-lambatnya 14 hari setelah menerima pemberitahuan putusan tersebut.[1]
Belajar Hukum Secara Online dari Pengajar Berkompeten Dengan Biaya TerjangkauMulai DariRp. 149.000
Selanjutnya, Pengadilan Niaga harus memeriksa keberatan pelaku usaha dalam waktu 14 hari sejak diterimanya keberatan tersebut. Kemudian atas putusan Pengadilan Niaga tersebut, apabila ada pihak yang berkeberatan, ia dapat mengajukan kasasi ke Mahkamah Agung.[2]
Konsekuensi Pengajuan Keberatan ke Pengadilan Niaga
Dari penjelasan singkat di atas, UU Cipta Kerja dan peraturan pelaksananya yaitu PP 44/2021 dapat dikatakan membuat perubahan yang cukup signifikan. Adanya perubahan-perubahan ini bertujuan memberikan kepastian hukum penegakan hukum persaingan usaha, yang diharapkan akan mampu meningkatkan investasi dan menjamin kemudahan berusaha.
Pemindahan kewenangan dari Pengadilan Negeri ke Pengadilan Niaga tentu memiliki alasan tersendiri, karena Pengadilan Niaga dianggap khusus mengadili berbagai perkara bisnis atau ekonomi. Namun perubahan ini tentu berdampak khususnya bagi lembaga peradilan, karena perlu menyiapkan sumber daya manusia (tidak selalu infrastruktur karena Pengadilan Niaga berdomisili sama dengan Pengadilan Negeri). Tetapi mengingat Pengadilan Niaga di Indonesia sampai saat ini hanya ada 5, tersebar di Medan, Semarang, Surabaya, Makassar, dan Jakarta Pusat perlu dipikirkan bagaimana cara yang efisien untuk memberikan kepastian bagi pencari keadilan. Meski demikian, Mahkamah Agung merespon cepat dengan menerbitkan Perma 3/2021. Di antara proses menyelesaikan Perma ini, Mahkamah Agung mengeluarkan SEMA 1/2021.
Oleh karena itu, atas perubahan pemindahan pengajuan keberatan atas putusan KPPU ke Pengadilan Niaga ini, perlu diperhatikan terkait kesiapan Pengadilan Niaga, apakah akan ditambah jumlahnya? Lalu, terkait kesiapan para hakim untuk dibekali pengetahuan tentang hukum persaingan usaha, yang tentunya tak bisa dilakukan secara instan. Mungkin hal ini tidak tersorot publik yang juga berfokus pada bagaimana pengadilan bisa berjalan dengan independen, efisien, berbiaya ringan, transparan, adil, akuntabel, dan semua karakteristik good court. Pengadilan Niaga selalu menarik dicermati karena kasus kasus ekonomi yang bernilai besar.
Jika ke depannya pemindahan kewenangan dari Pengadilan Negeri ke Pengadilan Niaga tidak berjalan mulus, ini justru bertentangan dengan tujuan pembentukan UU Cipta Kerja, dan tujuannya menjadi tidak tercapai.
Selain lembaga peradilan, KPPU juga terkena imbasnya dari pemberlakuan UU Cipta Kerja. Salah satunya, Pasal 6 ayat (2) huruf g PP 44/2021 mengatur KPPU berwenang menjatuhkan sanksi berupa tindakan administratif bagi pelaku usaha yang melanggar ketentuan, di mana salah satunya berupa pengenaan denda minimal Rp1 miliar, namun sayangnya tak diatur ketentuan maksimum dendanya. Hal ini menjadi kekhawatiran para pelaku usaha dan investor.
KPPU kemudian merespon dengan mengeluarkan Peraturan KPPU 2/2021. Hal ini menjadi tantangan bagi KPPU untuk merumuskan dengan perhitungan dan pertimbangan yang matang bagaimana merumuskan denda maksimal. Sanksi denda diharapkan bukan mematikan dunia usaha tetapi lebih berfokus pada perubahan perilaku agar dunia usaha tetap dapat mempercepat pemulihan ekonomi yang terdampak pandemi COVID-19.
Di sisi lain, diperlukan sinergitas antar lembaga, di mana perkara akan berjalan dari KPPU, dan nantinya akan dibawa ke lembaga peradilan atau dalam hal ini Pengadilan Niaga. Hal ini dikarenakan, berdasarkan dari berbagai perkara yang sudah terjadi, aturan-aturan hukum memang ‘baru hidup’ ketika sudah diuji, diaplikasi, dieksekusi dan diimplementasikan. Penting juga agar lebih konkrit, eksekusi putusan menjadi kata kunci terakhir dalam melihat suatu proses penegakan hukum.
Jadi, memang tidak ada peraturan perundang-undangan yang sempurna. Kita baru melihat dan merasakannya saat peraturan itu diberlakukan, termasuk mempersiapkan sumber daya manusia, infrastruktur, hukum acara, sebagaimana pasca UU 5/1999 diubah oleh UU Cipta Kerja. Hal ini menarik untuk dicermati karena hukum ekonomi memainkan peranan penting dalam saat ini ketika transformasi perbaikan ekonomi memerlukan sinergitas semua elemen bangsa.