Terima kasih atas pertanyaan Anda
Karena tidak ada keterangan mengenai perbuatan apa yang pernah dilakukan oleh orang tersebut, maka kami berusaha menjawabnya secara umum.
Dua Model Penyampaian
Sebelum menjawab pertanyaan Anda, terlebih dahulu perlu kita ketahui adanya dua model penyampaian suatu peristiwa pidana kepada aparat penegak hukum, yaitu laporan dan pengaduan.
Laporan adalah pemberitahuan yang disampaikan seseorang karena hak atau kewajiban berdasar undang-undang kepada pejabat berwenang tentang telah atau sedang atau diduga akan terjadi peristiwa pidana.
[1]
Sedangkan,
pengaduan adalah pemberitahuan disertai permintaan oleh pihak yang berkepentingan kepada pejabat berwenang untuk menindak menurut hukum seorang yang telah melakukan tindak pidana aduan yang merugikannya.
[2]
Laporan bersifat umum yang bisa dilakukan oleh semua orang yang mengalami, melihat, dan mendengar suatu peristiwa pidana.
Laporan tidak dapat dicabut kembali oleh si pelapor meski terjadi perdamaian antara pelapor dan terlapor sebelum tahap persidangan. Penegak hukum tetap bisa meneruskan pemeriksaan hingga persidangan.
Berbeda dengan pengaduan yang bersifat khusus yang hanya bisa dilakukan oleh pihak tertentu yang berkepentingan.
Pengaduan dapat dicabut sebelum sampai ke persidangan apabila terjadi perdamaian antara pengadu dan teradu, sehingga perkara tidak dapat diproses lagi.
Dua Jenis Delik
Selain perbedaan di atas, juga terdapat dua jenis delik dalam pemrosesan perkara, yaitu delik aduan dan delik biasa.
Menurut P.A.F. Lamintang, dalam bukunya Dasar-dasar Hukum Pidana Indonesia (hal. 217-218), delik aduan merupakan tindak pidana yang hanya dapat dituntut apabila ada pengaduan dari orang yang dirugikan.
Sedangkan delik biasa adalah tindak pidana yang dapat dituntut tanpa diperlukan adanya suatu pengaduan.
Terhadap delik biasa, perkara dapat diproses tanpa adanya persetujuan dari yang dirugikan (korban).
Meskipun korban mencabut laporan/pengaduannya kepada polisi, penyidik tetap berkewajiban untuk melanjutkan proses perkara.
Lain halnya dengan delik aduan yang hanya bisa diproses apabila ada pengaduan atau laporan dari orang yang menjadi korban tindak pidana.
Penuntutan terhadap delik tersebut tergantung pada persetujuan dari pihak yang dirugikan (korban).
Si korban dapat mencabut laporannya apabila di antara korban dan pelaku telah dilakukan perdamaian.
Daluwarsa (Lewat Waktu)
Dalam hukum pidana terdapat masa daluwarsa (lewatnya waktu) untuk mengajukan pengaduan, penuntutan, menjalankan pidana, dan upaya hukum lainnya.
Untuk delik aduan, pengaduan hanya boleh diajukan dalam waktu enam bulan sejak orang yang berhak mengadu mengetahui adanya kejahatan, jika bertempat tinggal di Indonesia. Atau dalam waktu sembilan bulan jika bertempat tinggal di luar Indonesia.
[3]
Dan orang yang mengajukan pengaduan berhak menarik kembali pengaduan tersebut dalam waktu tiga bulan setelah pengaduan diajukan.
[4]
Sedangkan kewenangan menuntut pidana secara umum hapus karena daluwarsa dalam hal:
[5]- mengenai semua pelanggaran dan kejahatan yang dilakukan dengan percetakan, sesudah satu tahun;
- mengenai kejahatan yang diancam dengan pidana denda, pidana kurungan, atau pidana penjara paling lama tiga tahun, sesudah enam tahun;
- mengenai kejahatan yang diancam dengan pidana penjara lebih dari tiga tahun, sesudah 12 tahun;
- mengenai kejahatan yang diancam dengan pidana mati atau pidana penjara seumur hidup, sesudah 18 tahun.
Khusus terhadap tindak pidana yang dilakukan oleh anak, maka disyaratkan bahwa, bagi orang yang pada saat melakukan perbuatan umurnya belum 18 tahun, masing-masing tenggang daluwarsa di atas dikurangi menjadi sepertiga.
[6]
Setelah kami uraikan, kami asumsikan bahwa perbuatan yang Anda maksud dikatagorikan delik biasa yang dapat dilaporkan oleh siapa saja.
Terhadap perbuatan yang dilakukan sekitar 12 tahun lalu, seorang anak berusia 10 tahun yang kini telah dewasa tersebut tak lagi dapat dituntut.
Berdasarkan Pasal 78 KUHP di atas, kasusnya sudah daluwarsa.
Demikian jawaban kami, semoga bermanfaat.
Dasar Hukum:
Referensi:
P.A.F. Lamintang. Dasar-dasar Hukum Pidana Indonesia. Bandung: Citra Aditya Bakti. 2007.
[2] Pasal 1 angka 25 KUHAP
[5] Pasal 78 ayat (1) KUHP
[6] Pasal 78 ayat (2) KUHP