Terima kasih atas pertanyaan Anda.
Artikel di bawah ini adalah pemutakhirkan dari artikel dengan judul sama yang ditulis oleh Yudha Khana Saragih, S.H. dari Lembaga Bantuan Hukum Mawar Saron dan dipublikasikan pada 16 Januari 2019.
Seluruh informasi hukum yang ada di Klinik hukumonline.com disiapkan semata – mata untuk tujuan pendidikan dan bersifat umum (lihat Pernyataan Penyangkalan selengkapnya). Untuk mendapatkan nasihat hukum spesifik terhadap kasus Anda, konsultasikan langsung dengan Konsultan Mitra Justika.
Hak Beribadah = HAM
Beribadah dan bertakwa kepada Tuhan merupakan hak-hak dasar manusia yang dijamin oleh Pancasila dan UUD 1945. Hal ini diatur dalam beberapa pasal peraturan perundang-undangan yang berlaku di Indonesia, yaitu:
Dalam Pasal 28E ayat (1) dan ayat (2) UUD 1945 diatur sebagai berikut:
Ayat (1)
Setiap orang bebas memeluk agama dan beribadat menurut agamanya, memilih Pendidikan dan pengajaran, memilih pekerjaan, memilih kewarganegaraan, memilih tempat tinggal di wilayah negara dan meninggalkannya, serta berhak kembali.
Ayat (2)
Setiap orang berhak atas kebebasan meyakini kepercayaan, menyatakan pikiran dan sikap, sesuai dengan hati nuraninya
Selain itu, dijelaskan mengenai peran dari negara dalam Pasal 29 UUD 1945 yang berbunyi:
Ayat (1)
Negara berdasar atas Ketuhanan Yang Maha Esa.
Ayat (2)
Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agama masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu.
- UU HAM
Kemudian, menurut Pasal 4 UU HAM, hak untuk beragama adalah hak asasi manusia yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun. Berikut bunyi pasal tersebut:
Hak untuk hidup, hak untuk tidak disiksa, hak kebebasan pribadi, pikiran dan hati nurani, hak beragama, hak untuk tidak diperbudak, hak untuk diakui sebagai pribadi dan persamaan di hadapan hukum, dan hak untuk tidak dituntut atas dasar hukum yang berlaku surut adalah hak asasi manusia yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun dan oleh siapapun.
Selain itu, Pasal 22 ayat (2) UU HAM juga mengatur hal yang senada dengan dua pasal dalam UUD 1945 di atas, sebagai berikut:
- Setiap orang bebas memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu.
- Negara menjamin kemerdekaan setiap orang memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agama dan kepercayaannya itu.
Sehingga dapat kami simpulkan, ketentuan-ketentuan tersebut menjadi dasar bagi negara dan siapapun untuk menjunjung tinggi hak beragama dan beribadah di Indonesia, sehingga aturan dasar tersebut berlaku dalam setiap roda kehidupan berbangsa dan bernegara termasuk dalam lingkungan ketenagakerjaan.
Jika Perusahaan Melanggar Hak Karyawan untuk Beribadah
Berdasarkan informasi yang Anda berikan, terdapat beberapa kasus. Pertama, jam pulang kerja saat bulan Ramadan adalah jam 16.30, dan ada karyawan yang sudah izin sebelumnya untuk pulang sesuai jam pulang yang berlaku untuk buka puasa, tetapi atasan Anda meminta karyawan untuk tunggu sampai jam 18.00. Kedua, ada karyawan yang sudah izin sebelumnya untuk pulang sesuai jam pulang yang berlaku (jam 15.40) untuk mengikuti ibadah Paskah, tetapi atasan Anda meminta karyawan untuk tunggu sampai jam 16.30. Menurut hemat kami, tindakan atasan Anda (pengusaha) merupakan tindakan melanggar hukum, karena pihak perusahaan/pengusaha dianggap menghalang-halangi atau merintangi seseorang untuk melaksanakan ibadahnya
Pada dasarnya, pengusaha wajib memberikan kesempatan yang secukupnya kepada pekerja/buruh untuk melaksanakan ibadah yang diwajibkan oleh agamanya, sebagaimana diatur dalam Pasal 80 UU Ketenagakerjaan.
Yang dimaksud kesempatan secukupnya yaitu menyediakan tempat untuk melaksanakan ibadah yang memungkinkan pekerja/buruh dapat melaksanakan ibadahnya secara baik, sesuai dengan kondisi dan kemampuan perusahaan.[1]
Berdasarkan dengan ketentuan tersebut, sudah sepantasnya pihak perusahaan/atasan dalam kasus ini memberikan izin dan kebebasan kepada pekerja untuk melaksanakan ibadahnya yaitu kebaktian Paskah di gereja dengan tidak menahan, menghalang-halangi ataupun melarang pekerja untuk melaksanakan ibadah.
Kemudian berkaitan dengan jam kerja di bulan Ramadan, walaupun tidak diatur dalam UU Ketenagakerjaan, khusus bagi pegawai Aparatur Sipil Negara (“ASN”), jam kerja selama bulan puasa diatur dalam Perpres 21/2023. Mengacu pada ketentuan Pasal 4 Perpres 21/2023, jam kerja ASN selama bulan puasa untuk tahun 2024 atau Ramadan 1445 Hijriah adalah:
- Hari Senin sampai dengan Kamis: pukul 08.00–15.00 dengan waktu istirahat selama 30 menit.
- Hari Jumat: pukul 08.00–15.30 dengan waktu istirahat selama 60 menit.
Walaupun aturan jam kerja selama Ramadan tidak diberlakukan bagi karyawan swasta, pada prinsipnya, hak pekerja untuk melaksanakan ibadah tetap harus terpenuhi sebagaimana diatur dalam Pasal 80 UU Ketenagakerjaan. Lalu, dalam praktiknya, tidak sedikit perusahaan swasta yang mengeluarkan kebijakan khusus dalam menentukan jam kerja Ramadan 2024 ini.
Penjelasan selengkapnya mengenai ketentuan jam kerja selama bulan Ramadan dapat Anda baca pada artikel Ketentuan Jam Kerja Selama Ramadan bagi Karyawan Swasta dan ASN Tahun 2024.
Sanksi Pidana
Adapun sanksi bagi pengusaha yang merintangi atau menghalangi kegiatan keagamaan dan peribadatan dalam ruang lingkup ketenagakerjaan diatur dalam Pasal 81 angka 66 Perppu Cipta Kerja yang mengubah Pasal 185 ayat (1) UU Ketenagakerjaan, yaitu:
Barang siapa melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 42 ayat (2), Pasal 68, Pasal 69 ayat (2), Pasal 80, Pasal 82, Pasal 88A ayat (3), Pasal 88E ayat (2), Pasal 143, Pasal 156 ayat (1), atau Pasal 160 ayat (4) dikenai sanksi pidana penjara paling singkat 1 tahun dan paling lama 4 tahun dan/atau pidana denda paling sedikit Rp100 juta dan paling banyak Rp400 juta.
Dengan demikian perbuatan pengusaha yang tidak memberikan kesempatan atau bahkan menghalangi/merintangi karyawan untuk melakukan ibadah tergolong sebagai tindak pidana kejahatan[2] yang diancam dengan pidana penjara dan/atau denda.
Menurut hemat kami, adapun contoh-contoh tindakan yang melanggar hak beribadah sebagai berikut:
- penerapan hari kerja oleh pengusaha terhadap karyawan di hari besar keagamaan;
- tidak disediakannya waktu dan fasilitas ibadah oleh perusahaan bagi karyawan yang membutuhkan fasilitas peribadatan.
Demikian jawaban dari kami, semoga bermanfaat.
Dasar Hukum: