Bagaimana pemerintah dapat mencegah praktik perdagangan orang berkedok menjadi tenaga kerja di luar negeri? Apa saja kebijakan yang dimiliki pemerintah?
Perdagangan manusia atau istilah Human Trafficking merupakan sebuah kejahatan yang sangat sulit diberantas dan disebut-sebut oleh masyarakat internasional sebagai bentuk perbudakan masa kini dan pelanggaran terhadap hak asasi manusia. Kejahatan ini terus menerus berkembang secara nasional maupun internasional.[1]
Belajar Hukum Secara Online dari Pengajar Berkompeten Dengan Biaya TerjangkauMulai DariRp. 149.000
Perdagangan Orang adalah tindakan perekrutan, pengangkutan, penampungan, pengiriman, pemindahan, atau penerimaan seseorang dengan ancaman kekerasan, penggunaan kekerasan, penculikan, penyekapan, pemalsuan, penipuan, penyalahgunaan kekuasaan atau posisi rentan, penjeratan utang atau memberi bayaran atau manfaat, sehingga memperoleh persetujuan dari orang yang memegang kendali atas orang lain tersebut, baik yang dilakukan di dalam negara maupun antar negara, untuk tujuan eksploitasi atau mengakibatkan orang tereksploitasi.
Tenaga kerja Indonesia di luar negeri atau yang kini dikenal dengan sebutan pekerja migran Indonesiaharus dilindungi dari perdagangan manusia, perbudakan dan kerja paksa, korban kekerasan, kesewenang-wenangan, kejahatan atas harkat dan martabat manusia, serta perlakuan lain yang melanggar hak asasi manusia.[2]
Pekerja migran Indonesia yang dimaksud adalah setiap warga negara Indonesia yang akan, sedang, atau telah melakukan pekerjaan dengan menerima upah di luar wilayah Indonesia.[3]
Yang dimaksud dengan "asas anti-perdagangan manusia" adalah bahwa tidak adanya tindakan perekrutan, pengangkutan, pengiriman, pemindahan, atau penerimaan Calon Pekerja Migran Indonesia atau Pekerja Migran Indonesia dengan ancaman kekerasan, penggunaan kekerasan, penculikan, penyekapan, pemalsuan, penipuan, dan penyalahgunaan kekuasaan atau posisi rentan, penjeratan uang atau memberikan bayaran atau manfaat sehingga memperoleh persetujuan dari orang yang memegang kendali atas orang lain tersebut, baik yang dilakukan di dalam negara maupun antarnegara, untuk tujuan eksploitasi atau mengakibatkan Calon Pekerja Migran Indonesia atau Pekerja Migran Indonesia tereksploitasi.
Pelindungan Pekerja Migran Indonesia
Upaya pemerintah dalam mencegah praktik perdagangan orang dalam UU 21/2007merupakan bentuk upaya perlindungan hukum baik secara langsung maupun tidak langsung yang tidak hanya diberikan kepada para korban tetapi juga kepada para calon korban agar tidak menjadi korban di kemudian hari.
Selain itu, untuk melindungi calon pekerja migran Indonesia, pemerintah memberikan pelindungan meliputi:[4]
pelindungan sebelum bekerja, mencakup administratif dan teknis.
pelindungan selama bekerja, mencakup:
pendataan dan pendaftaran oleh atase ketenagakerjaan atau pejabat dinas luar negeri yang ditunjuk;
pemantauan dan evaluasi terhadap pemberi kerja, pekerjaan, dan kondisi kerja;
fasilitasi pemenuhan hak pekerja migran Indonesia;
fasilitasi penyelesaian kasus ketenagakerjaan;
pemberian layanan jasa kekonsuleran;
pendampingan, mediasi, advokasi, dan pemberian bantuan hukum berupa fasilitasi jasa advokat oleh pemerintah pusat dan/atau perwakilan Republik Indonesia serta perwalian sesuai dengan hukum negara setempat;
pembinaan terhadap pekerja migran Indonesia; dan
fasilitasi repatriasi.
pelindungan setelah bekerja, mencakup:
fasilitasi kepulangan sampai daerah asal;
penyelesaian hak pekerja migran Indonesia yang belum terpenuhi;
fasilitasi pengurusan pekerja migran Indonesia yang sakit dan meninggal dunia;
rehabilitasi sosial dan reintegrasi sosial; dan
pemberdayaan pekerja migran Indonesia dan keluarganya.
Perlindungan tenaga kerja Indonesia yang bekerja di luar negeri disamping menggunakan sarana hukum dapat pula dibarengi dengan menyelenggarakan kerja sama diplomatik mengenai penempatan tenaga kerja. Cara ini akan lebih efisien dan lebih mudah dilakukan karena bersifat politis, yang diperlukan adalah adanya hubungan baik antar negara.[5]
Di Indonesia, pelayanan penempatan pekerja migran Indonesia dilakukan di layanan terpadu satu atap.[6] Dalam rangka peningkatan hubungan bilateral di bidang ketenagakerjaan dan pelindungan pekerja migran Indonesia di luar negeri, pemerintah pusat menetapkan jabatan atase ketenagakerjaan pada Perwakilan Republik Indonesia di negara tujuan penempatan dengan pertimbangan antara lain jumlah penempatan dan luas wilayah.
Di sisi lain, pada 19 April 2007 telah disahkan kebijakan nasional anti human trafficking melalui UU 21/2007 setelah hampir 10 tahun penantian sejak rancangan kebijakan tersebut dirumuskan.
Kebijakan nasional itu kemudian diturunkan ke dalam berbagai peraturan daerah penghapusan perdagangan perempuan dan anak oleh pemerintah daerah di seluruh Indonesia. Implementasi UU 21/2007 merupakan sebuah prestasi karena kebijakan ini dianggap komprehensif.
Dengan demikian, dibutuhkan sinergi yang seiring dan seimbang antara pemerintah dan calon pekerja migran Indonesia, yang dalam hal ini pemerintah bertanggungjawab terhadap jaminan penempatan dan pelindungan pekerja migran Indonesia di luar negeri di samping ia wajib tunduk dan patuh pada prosedur yang harus dilalui untuk menjadi seorang pekerja migran Indonesia.
Dalam hal calon pekerja migran Indonesia ditempatkan pada pekerjaan yang bertentangan dengan UU 21/2007, oknum tersebut dipidana penjara paling lama 10 tahun dan denda paling banyak Rp15 miliar.[8]
Supriyadi Widodo Eddyono.Perdagangan Manusia Dalam Rancangan KUHP. Jakarta: ELSAM, 2005;
M. Makhfudz. Kajian Praktek Perdagangan Orang di Indonesia. Jurnal Hukum Universitas Tama Jagakarsa, Vol. 4 No.1, diakses pada 1 Oktober 2020;
Rahmah Daniah dan Fajar Apriani. Kebijakan Nasional Anti-Trafficking dalam Migrasi Internasional. Jurnal FISIP Universitas Mulawarman Kalimantan Timur, Politica Vol. 8 No. 2 November 2017, diakses pada 1 Oktober 2020.
[1] Supriyadi Widodo Eddyono. Perdagangan Manusia Dalam Rancangan KUHP. Jakarta: ELSAM, 2005, hal. 2.
[7] Rahmah Daniah dan Fajar Apriani. Kebijakan Nasional Anti-Trafficking dalam Migrasi Internasional. Jurnal FISIP Universitas Mulawarman Kalimantan Timur, Politica Vol. 8 No. 2, November 2017, hal. 150.