Apa isi Pasal 185 Ayat 2 KUHAP? Kalau tidak salah soal asas unus testis nullus testis. Mohon penjelasannya, apa makna unus testis nullus testis? Terima kasih
Daftar Isi
INTISARI JAWABAN
Pada intinya, dalam hukum acara pidana, terdapat adagium unus testis nullus testis yang diatur dalam Pasal 185 ayat (2) KUHAP. Bagaimana bunyi Pasal 185 ayat (2) KUHAP selengkapnya? Apa makna unus testis nullus testis?
Penjelasan lebih lanjut dapat Anda baca ulasan di bawah ini.
ULASAN LENGKAP
Terima kasih atas pertanyaan Anda.
Artikel di bawah ini adalah pemutakhiran dari artikel dengan judul Adagium Unus Testis Nullus Testis dalam Pasal 185 Ayat (2) KUHAPyang dipublikasikan pada 20 Desember 2023.
Seluruh informasi hukum yang ada di Klinik hukumonline.com disiapkan semata – mata untuk tujuan pendidikan dan bersifat umum (lihat Pernyataan Penyangkalan selengkapnya). Untuk mendapatkan nasihat hukum spesifik terhadap kasus Anda, konsultasikan langsung dengan Konsultan Mitra Justika.
Bunyi Pasal 185 Ayat (2) KUHAP
Pada dasarnya, terdapat adagium hukum unus testis nullus testis yang merupakan suatu pepatah dari bahasa romawi atau dalam bahasa belanda dikenal Een Getuige is Geen Getuige[1], yang artinya satu saksi bukan merupakan saksi.[2] Adagium ini tercantum dalam Pasal 185 ayat (2) KUHAPyang berbunyi:
Belajar Hukum Secara Online dari Pengajar Berkompeten Dengan Biaya TerjangkauMulai DariRp. 149.000
Keterangan seorang saksi saja tidak cukup untuk membuktikan bahwa terdakwa bersalah terhadap perbuatan yang didakwakan kepadanya.
Namun, dalam memahami Pasal 185 ayat (2) KUHAP, kita juga perlu melihat ketentuan lain dalam Pasal 185 ayat (3) dan (4) KUHAP sebagai berikut.
         Pasal 185 ayat (3)
Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) tidak berlaku apabila disertai dengan suatu alat bukti yang sah lainnya.
         Pasal 185 ayat (4)
Keterangan beberapa saksi yang berdiri sendiri-sendiri tentang suatu kejadian atau keadaan dapat digunakan sebagai suatu alat bukti yang sah apabila keterangan saksi itu ada hubungannya satu dengan yang lain sedemikian rupa, sehingga dapat membenarkan adanya suatu kejadian atau keadaan tertentu.
Lebih lanjut, sebagaimana diterangkan Andi Hamzah dalam bukunya Hukum Acara Pidana Indonesia, Edisi Kedua, ketentuan Pasal 185 ayat (2) KUHAP dapat dibandingkan dengan Pasal 300 ayat (1) HIR yang mengatakan bahwa hakim pengadilan negeri tidak boleh menjatuhkan pidana kepada terdakwa jika terdakwa menyangkal kesalahannya dan hanya ada seorang saksi saja yang memberatkan terdakwa sedangkan tidak ada alat bukti lain (hal. 269).
Lalu, menurut D. Simons sebagaimana dikutip Andi Hamzah, satu keterangan saksi yang berdiri sendiri tidak dapat membuktikan seluruh dakwaan, tetapi satu keterangan saksi dapat membuktikan suatu keadaan tersendiri. Ajaran D. Simons tersebut tidak bertentangan dengan Pasal 185 ayat (2) dan (4) KUHAP.[3]
Akan tetapi, penting untuk diketahui bahwa dalam KUHAP, unus testis nullus testis hanya berlaku bagi pemeriksaan biasa dan pemeriksaan singkat, dan tidak berlaku bagi pemeriksaan cepat. Hal ini dapat disimpulkan dari Penjelasan Pasal 184 KUHAP yang menerangkan:
Dalam acara pemeriksaan cepat, keyakinan hakim cukup didukung satu alat bukti yang sah.
Referensi:
Andi Hamzah. Hukum Acara Pidana Indonesia, Edisi Kedua. Jakarta: Sinar Grafika, 2012;
Ni Made Yulia Chitta Dewi (et.al). Asas Unus Testis Nullus Testis dalam Tindak Pidana Pemerkosaan Anak. Jurnal Konstruksi Hukum, Vol. 2, No. 1, 2021;
Riyanto S Akhmadi. Penerapan Asas Unus Testis Nullus Testis dalam Pasal 55 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 Tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga. Wacana Paramarta: Jurnal Ilmu Hukum, Vol. 20, No. 1, 2021.
[1] Riyanto S Akhmadi. Penerapan Asas Unus Testis Nullus Testis dalam Pasal 55 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 Tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga. Wacana Paramarta: Jurnal Ilmu Hukum, Vol. 20, No. 1, 2021, hal. 64
[2] Ni Made Yulia Chitta Dewi (et.al). Asas Unus Testis Nullus Testis dalam Tindak Pidana Pemerkosaan Anak. Jurnal Konstruksi Hukum, Vol. 2, No. 1, 2021, hal. 192
[3] Andi Hamzah. Hukum Acara Pidana Indonesia, Edisi Kedua. Jakarta: Sinar Grafika, 2012, hal. 269–270