Terima kasih atas pertanyaan Anda.
Kami tidak dapat memastikan yang Anda maksud dalam pertanyaan adalah penghentian penyidikan atau penghentian penuntutan. Namun demikian, secara administratif, pada prinsipnya, penghentian penyidikan atau penghentian penuntutan memiliki alasan yang lebih kurang sama, yang akan kami jelaskan di bawah ini.
Definisi penyidikan menurut Pasal 1 angka 2 KUHAP:
Penyidikan adalah serangkaian tindakan penyidik dalam hal dan menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini untuk mencari serta mengumpulkan bukti yang dengan bukti itu membuat terang tentang tindak pidana yang terjadi dan guna menemukan tersangkanya.
Definisi penuntutan menurut Pasal 1 angka 7 KUHAP:
Penuntutan adalah tindakan penuntut umum untuk melimpahkan perkara pidana ke pengadilan negeri yang berwenang dalam hal dan menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini dengan permintaan supaya diperiksa dan diputus oleh hakim di sidang pengadilan.
Definisi tersangka menurut Pasal 1 angka 14 KUHAP:
Tersangka adalah seorang yang karena perbuatannya atau keadaannya, berdasarkan bukti permulaan patut diduga sebagai pelaku tindak pidana.
Berdasarkan uraian dari ketiga pasal di atas, maka penetapan tersangka dalam suatu dugaan tindak pidana oleh penyidik dan penuntutan terhadapnya, haruslah dilakukan dengan cermat dan penuh kehati-hatian, di antaranya harus ada bukti permulaan yang cukup, yaitu adanya minimal 2 alat bukti sesuai Pasal 184 KUHAP dan diduga bahwa tersangka adalah orang yang melakukan tindak pidana tersebut.[1]
KUHAP dengan tegas menjelaskan bahwa yang dimaksud dengan “bukti permulaan yang cukup” adalah bukti permulaan untuk menduga adanya tindak pidana sesuai dengan bunyi Pasal 1 angka 14 KUHAP.[2]
Penghentian Penyidikan dan Penghentian Penuntutan
Sesuai dengan Pasal 109 ayat (2) KUHAP mengenai penghentian penyidikan dan Pasal 140 ayat (2) KUHAP tentang penghentian penuntutan, maka alasan penghentian penyidikan dan penghentian penuntutan, pada prinsipnya, lebih kurang sama, yaitu:
Tidak terdapat cukup bukti;
Peristiwa tersebut ternyata bukan merupakan tindak pidana; atau
Perkara dihentikan/ditutup demi hukum:
Perkaranya ne bis in idem (Pasal 76 KUHP);
Perkaranya kedaluwarsa/verjaring (Pasal 78 KUHP);
Pencabutan perkara yang sifatnya delik aduan (Pasal 75 KUHP, Pasal 284 ayat (4) KUHP).
Surat Pemberitahuan Perkembangan Hasil Penyidikan (SP2HP)
Terlebih dahulu, kami asumsikan yang Anda maksud sebagai saksi adalah saksi pelapor atau pengadu yang melaporkan atau mengadukan dugaan tindak pidana.
Khusus untuk penghentian penyidikan, dilakukan melalui gelar perkara untuk memenuhi kepastian hukum, rasa keadilan dan kemanfaatan hukum serta dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.[3]
Sekarang istilah yang digunakan adalah Surat Pemberitahuan Dimulainya Penyidikan (“SPDP”) dan SP2HP.[4]
SPDP dikirimkan ke penuntut umum, pelapor/korban, dan terlapor dalam waktu paling lambat 7 hari setelah diterbitkan Surat Perintah Penyidikan.[5]
Setiap perkembangan penanganan perkara pada kegiatan penyidikan tindak pidana, harus diterbitkan SP2HP.[6]
Kegiatan penyidikan tindak pidana terdiri atas:[7] -
penyelidikan;
dimulainya penyidikan;
upaya paksa;
pemeriksaan;
penetapan tersangka;
pemberkasan;
penyerahan berkas perkara;
penyerahan tersangka dan barang bukti; dan
penghentian penyidikan.
Oleh karenanya, jika terjadi penghentian penyidikan, maka sudah sepatutnya dikirimkan SP2HP, yaitu surat pemberitahuan terhadap pelapor/pengadu tentang hasil perkembangan penyidikan perkara yang bersangkutan, termasuk penghentian penyidikan.[8]
Surat Ketetapan Penghentian Penuntutan (SKPP)
Kemudian, dikutip dari Modul Penuntutan yang disusun oleh Badan Pendidikan dan Pelatihan Kejaksaaan Republik Indonesia, penghentian penuntutan baru dapat dilakukan setelah perkara itu beralih tanggung jawab dari penyidik kepada penuntut umum (hal. 7).
Penuntut umum akan segera menentukan sikap apakah berkas perkara memenuhi syarat untuk dapat atau tidak dapat dilimpahkan ke pengadilan (hal. 7).
Adapun pemberitahuan penghentian penuntutan tersebut dibuat berita acara 3 rangkap untuk Kepala Kejaksaan Tinggi, Penuntut Umum yang mendapatkan surat perintah untuk melakukan pemeriksaan tambahan, dan Kejaksaan Negeri (hal. 14).
SKPP memuat alasan penghentian penuntutan berdasarkan keadilan restoratif sekaligus menetapkan status barang bukti tindak pidana terkait.[10]
Sayangnya, di dalam ketentuan dan dokumen di atas, tidak diterangkan hak pelapor atau pengadu untuk meminta SKPP.
Pasal 140 ayat (2) KUHAP juga sebatas menerangkan bahwa yang akan menerima SKPP ini hanya tersangka atau keluarga atau penasihat hukum, pejabat rumah tahanan negara, penyidik dan hakim.
Namun, menurut hemat kami, dalam praktik, pemberitahuan penghentian penuntutan akan dilakukan oleh Penuntut Umum, sama halnya dengan penghentian penyidikan yang akan diberitahukan oleh penyidik.
Jika yang dimaksud adalah saksi selain dari saksi pelapor, maka besar kemungkinannya penyidik atau penuntut umum akan menanyakan apakah urgensinya bagi saksi untuk meminta/memiliki salinan penghentian penyidikan atau penghentian penuntutan.
Seluruh informasi hukum yang ada di Klinik hukumonline.com disiapkan semata-mata untuk tujuan pendidikan dan bersifat umum (lihat
Pernyataan Penyangkalan selengkapnya). Untuk mendapatkan nasihat hukum spesifik terhadap kasus Anda, konsultasikan langsung dengan
Konsultan Mitra Justika.
Demikian jawaban dari kami, semoga bermanfaat.
Dasar Hukum:
Putusan:
Referensi:
[2] Penjelasan Pasal 17 KUHAP
[4] Pasal 1 angka 16 dan 17 Perkapolri 6/2019
[5] Pasal 14 ayat (1) Perkapolri 6/2019
[6] Pasal 10 ayat (5) Perkapolri 6/2019
[7] Pasal 10 ayat (1) Perkapolri 6/2019
[8] Pasal 1 angka 17 Perkapolri 6/2019
[9] Pasal 12 ayat (6) Perja 15/2020
[10] Pasal 12 ayat (7) Perja 15/2020