Terima kasih atas pertanyaan Anda.
Asas Lex Superior Derogat Legi Inferior
Sebelum membahas pertanyaan Anda lebih jauh, ada perlunya kita memahami terlebih dahulu makna asas lex superior derogat legi inferior.
Sebagaimana diuraikan Sri Hajati, et.al. dalam Buku Ajar Pengantar Hukum Indonesia (hal. 122), asas ini berarti bahwa suatu peraturan perundang-undangan harus mendasarkan diri dan tidak boleh bertentangan dengan peraturan perundang-undangan di atasnya.
Jenis dan hierarki Peraturan Perundang-undangan terdiri atas:
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat;
Undang-Undang/Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang;
Peraturan Pemerintah;
Peraturan Presiden;
Peraturan Daerah Provinsi; dan
Peraturan Daerah Kabupaten/Kota.
Kekuatan hukum Peraturan Perundang-undangan sesuai dengan hierarki sebagaimana dimaksud pada ayat (1).
Yang dimaksud dengan “hierarki” adalah penjenjangan setiap jenis peraturan perundang-undangan yang didasarkan pada asas bahwa
peraturan perundang-undangan yang lebih rendah tidak boleh bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi.
[1]
Ada pula yang dikenal sebagai asas lex specialis derogate legi generalis sebagaimana diuraikan Sri Hajati, et.al. dalam buku yang sama (hal. 123), yaitu asas hukum yang menyatakan bahwa aturan hukum yang bersifat khusus lebih diutamakan daripada aturan hukum yang bersifat umum.
Lebih lanjut, aturan hukum yang memuat asas lex specialis derogate legi generalis termasuk kategori rule of recognition. Mengingat asas ini mengatur aturan hukum mana yang diakui absah sebagai suatu aturan yang berlaku (hal. 124).
Dengan demikian, asas ini merupakan salah satu secondary rules yang sifatnya bukan mengatur perilaku sebagaimana primary rules, tetapi mengatur (pembatasan) penggunaan kewenangan (aparat) negara dalam mengadakan suatu represi terhadap pelanggaran atas aturan tentang perilaku tersebut (hal. 124).
Harus diingat, sebagaimana ditekankan Muhammad Bakri dalam bukunya Pengantar Hukum Indonesia Jilid I: Sistem Hukum Indonesia pada Era Reformasi (hal. 319), asas ini baru dapat dipakai apabila kedua peraturan perundang-undangan yang saling bertentangan itu sama derajatnya.
Terkait pertanyaan Anda, maka yang berlaku dalam pertentangan peraturan daerah dengan undang-undang adalah asas lex superior derogat legi inferior. Akibatnya, peraturan daerah yang Anda maksud seharusnya tidak boleh bertentangan dengan undang-undang.
Materi Muatan Peraturan Daerah
Sayangnya, Anda tidak menguraikan secara lengkap peraturan daerah provinsi mana yang Anda maksud dan kerangka utuh dari ketentuan hukum acara peradilan pidana anak penyandang disabilitas tersebut.
Namun di sisi lain, UU 12/2011 telah membatasi bahwa materi muatan peraturan daerah provinsi dan peraturan daerah kabupaten/kota berisi materi muatan
dalam rangka penyelenggaraan otonomi daerah dan tugas pembantuan serta menampung kondisi khusus daerah dan/atau
penjabaran lebih lanjut peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi.
[3]
Pasal 10 UU Pemda kemudian mengatur bahwa:
Urusan pemerintahan absolut sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (2) meliputi:
politik luar negeri;
pertahanan;
keamanan;
yustisi;
moneter dan fiskal nasional; dan
agama.
Dalam menyelenggarakan urusan pemerintahan absolut sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Pemerintah Pusat:
melaksanakan sendiri; atau
melimpahkan wewenang kepada Instansi Vertikal yang ada di Daerah atau gubernur sebagai wakil Pemerintah Pusat berdasarkan asas Dekonsentrasi.
Yang dimaksud sebagai urusan yustisi, misalnya mendirikan lembaga peradilan, mengangkat hakim dan jaksa, mendirikan lembaga pemasyarakatan,
menetapkan kebijakan kehakiman dan keimigrasian, memberikan grasi, amnesti, abolisi, membentuk undang-undang, peraturan pemerintah pengganti undang-undang, peraturan pemerintah, dan peraturan lain yang berskala nasional.
[5]
Menurut hemat kami, mengingat penundaan penyidikan tersebut memengaruhi jalannya peradilan, maka seharusnya kebijakan sejenis itu dibuat di tingkat pusat dan bukan tingkat daerah. Peraturan daerah baru dapat mengakomodasi muatan materi tersebut jika mendapatkan limpahan wewenang berdasarkan asas dekonsentrasi.
Di sisi lain, Pasal 27 UU 11/2012 sebenarnya telah mengamanatkan bahwa:
Dalam melakukan penyidikan terhadap perkara Anak, Penyidik wajib meminta pertimbangan atau saran dari Pembimbing Kemasyarakatan setelah tindak pidana dilaporkan atau diadukan.
Dalam hal dianggap perlu, Penyidik dapat meminta pertimbangan atau saran dari ahli pendidikan, psikolog, psikiater, tokoh agama, Pekerja Sosial Profesional atau Tenaga Kesejahteraan Sosial, dan tenaga ahli lainnya.
Dalam hal melakukan pemeriksaan terhadap Anak Korban dan Anak Saksi, Penyidik wajib meminta laporan sosial dari Pekerja Sosial Profesional atau Tenaga Kesejahteraan Sosial setelah tindak pidana dilaporkan atau diadukan.
Maka, pertimbangan atau saran dari ahli pendidikan, psikolog, psikiater, tokoh agama, pekerja sosial profesional atau tenaga kesejahteraan sosial, dan tenaga ahli lainnya dalam proses penyidikan telah diatur dalam UU 11/2012, namun pada dasarnya tidak bersifat wajib, sehingga menurut hemat kami, peraturan daerah yang Anda maksud menyalahi hukum karena tidak dibuat berdasarkan kewenangan.
Demikian jawaban kami, semoga bermanfaat.
Dasar Hukum:
Referensi:
Muhammad Bakri. Pengantar Hukum Indonesia Jilid I: Sistem Hukum Indonesia pada Era Reformasi. Malang: UB Press, 2013;
Sri Hajati, et.al. Buku Ajar Pengantar Hukum Indonesia. Surabaya: Airlangga University Press, 2017.
[1] Penjelasan Pasal 7 ayat (2) UU 12/2011
[2] Pasal 3 huruf m UU 11/2012
[4] Pasal 9 ayat (2) UU Pemda
[5] Penjelasan Pasal 10 ayat (1) huruf d UU Pemda