Teman saya laki-laki berusia 21 tahun baru saja putus dengan pacarnya, seorang perempuan berusia 20 tahun. Tiga hari sebelum memutuskan hubungan, pihak perempuan meminta agar si laki-laki mengawini dan mengeluarkan sperma di rahim si perempuan karena ia beralasan sudah minum pil KB. Beberapa hari setelah putus si perempuan memeriksakan kandungannya dan hasilnya positif hamil. Setelah ditelisik ternyata perempuan ini tidak rutin mengonsumsi pil KB. Beberapa hari kemudian dia dan keluarganya meminta pertanggungjawaban untuk dinikahi supaya mendapatkan akta dari ayah kandungnya dan tidak mengharapkan materi dari pihak laki-laki. Apakah pihak laki-laki wajib membuatkan akta untuk anaknya? Bila membuat perjanjian di notaris untuk menikahi si perempuan dan membuatkan akta lalu mereka cerai dan setelah cerai anak dan perempuan tersebut tidak akan mendapatkan materi apapun dari pihak laki-laki, apa cara ini bisa dilakukan? Adakah pasal yang menjerat si perempuan tersebut?
Adapun perjanjian untuk menikah hanya untuk mengurus akta kelahiran anak, kemudian bercerai, tidak dapat dilakukan. Perjanjian tersebut bertentangan dengan salah satu syarat sah perjanjian dalam Pasal 1320 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUH Perdata) yaitu “suatu sebab yang tidak terlarang”.
Penjelasan selengkapnya dapat Anda klik ulasan di bawah ini.
Setiap kelahiran wajib dilaporkan oleh Penduduk kepada Instansi Pelaksana setempat paling lambat 60 (enam puluh) hari sejak kelahiran.
Berdasarkan laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Pejabat Pencatatan Sipil mencatat pada Register Akta Kelahiran dan menerbitkan Kutipan Akta Kelahiran.
Di dalam pasal tersebut terdapat frasa “setiap kelahiran”. Artinya, setiap anak yang lahir oleh orang tua yang sah ataupun anak luar kawin juga harus didaftarkan kelahirannya.
Lalu, apa yang dimaksud sebagai anak luar kawin itu sendiri? J. Andi Hartanto dalam bukunya Kedudukan Hukum dan Hak Waris Anak Luar Kawin Menurut Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (hal.53) memberikan definisi “anak luar kawin” sebagai berikut:
Anak Luar Kawin adalah anak yang dilahirkan oleh seorang perempuan yang tidak memiliki ikatan perkawinan yang sah dengan laki-laki yang telah membenihkan anak di rahimnya, anak tersebut tidak mempunyai kedudukan yang sempurna di mata hukum seperti anak sah pada umumnya.
Jika definisi tersebut dikaitkan dengan pertanyaan Anda, maka masalah teman Anda tersebut merupakan permasalahan “anak luar kawin”. Sebab anak tersebut dilahirkan atau akan dilahirkan oleh ibu yang tidak memiliki ikatan pernikahan dengan siapapun.
Wajibkah Nama Ayah Dicantumkan pada Akta Kelahiran Anak Luar Kawin?
Anak yang dilahirkan di luar perkawinan hanya mempunyai hubungan perdata dengan ibunya dan keluarga ibunya.
Putusan MK di atas kemudian menyatakan bahwa Pasal 43 ayat (1) UU 1/1974 bertentangan dengan UUD 1945 secara bersyarat (conditionally unconstitutional), yakni inkonstitusional sepanjang ayat tersebut dimaknai menghilangkan hubungan perdata dengan laki-laki yang dapat dibuktikan berdasarkan ilmu pengetahuan dan teknologi dan/atau alat bukti lain menurut hukum mempunyai hubungan darah sebagai ayahnya.
Dengan kata lain, sepanjang dapat dibuktikan secara ilmiah, seorang anak luar kawin tetap memiliki hubungan hukum perdata dengan ayah biologisnya.
Di sisi lain, artikel Surat Pernyataan Tanggung Jawab Mutlak (SPTJM) untuk Pembuatan Akta Kelahirantelah menguraikan bahwa apabila pengurusan akta kelahiran tidak dilampiri dengan akta perkawinan/akta nikah dan status hubungan keluarga pada Kartu Keluarga tidak menunjukkan status hubungan perkawinan sebagai suami istri, maka data yang dicatat dalam kutipan akta kelahiran hanya nama ibu kandung.
Sehingga pada dasarnya, nama ayah biologis si anak luar kawin tidak wajib untuk dicantumkan dalam akta kelahiran. Namun, hal ini tidak memengaruhi kewajiban perdata ayah si anak.
Perjanjian untuk Menikah Kemudian Bercerai
Selanjutnya terkait dengan perjanjian di hadapan notaris antara teman Anda dan mantan pacarnya, hal tersebut tidak dapat dilakukan karena bertentangan dengan salah satu syarat sah perjanjian dalam Pasal 1320 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (“KUH Perdata”) yaitu “suatu sebab yang tidak terlarang”.
Perjanjian tersebut, menurut hemat kami, menafikan Putusan MK Nomor 46/PUU-VIII/2010di atas yang pada dasarnya menekankan bahwa ayah biologis dan anak luar kawin tetap memiliki hubungan perdata sepanjang dapat dibuktikan secara ilmiah. Perjanjian sejenis juga bertentangan dengan prinsip perkawinan yang tergambar dalam Pasal 1 UU Perkawinan:
Perkawinan ialah ikatan lahir bathin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami isteri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.
Berkaitan dengan pertanyaan terakhir, perempuan tersebut tidak dapat dijerat dengan hukum akibat perbuatan yang ia lakukan dengan teman Anda. Hubungan seksual yang dapat dipidana adalah hubungan seksual yang dilakukan dengan anak yang belum berusia 18 tahun, hubungan seksual antara laki-laki dan perempuan yang salah satunya terikat dalam suatu perkawinan yang disebut dengan perzinaaan sepanjang adanya pengaduan dari pasangan resmi salah satu atau kedua belah pihak, dan hubungan seksual yang dilakukan dengan paksaan atau pemerkosaan. Lebih lanjut, Anda dapat membaca artikel Bisakah Dipenjara Karena Berhubungan Seks dengan Pacar?
Demikian jawaban dari kami, semoga bermanfaat.
Dasar Hukum:
Kitab Undang-Undang Hukum Perdata
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan
Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2019 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan
Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan
Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2013 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan