Apakah boleh membuat laporan kepada pihak Kepolisian mengenai suatu kasus tanpa mencantumkan nama asli pelapor, tapi hanya nama panggung/lainnya yang tidak sesuai dengan yang terdaftar pada kartu identitas (KTP)? Demikian pula dengan orang yang dilaporkan (terlapor), bolehkah menuliskan namanya pada surat tanda bukti laporan hanya dengan menggunakan nama panggungnya saja? Saya sedang sangat membutuhkan informasi ini. Terima kasih.
Namun, dalam hal seseroang membuat laporan suatu tindak pidana, saat meyampaikan laporan baik tertulis maupun lisan si pelapor diwajibkan untuk menandatangani laporan tersebut. Maka di sini pelapor harus menggunakan nama asli dalam melapor. Kemudian mengenai identitas tersangka (atau orang yang dilaporkan), penulisan nama alias dimungkinkan dilakukan jika seseorang benar-benar tidak mengetahui nama tersangkanya. Dalam penyelidikan dan penyidikan, jika seorang tersangka tidak diketahui identitasnya, polisi memiliki kewajiban untuk untuk mencari dan mengumpulkan salah satunya identitas tersangka.
Penjelasan lebih lanjut dapat Anda simak dalam ulasan di bawah ini.
Namun, dalam hal seseroang membuat laporan suatu tindak pidana, saat meyampaikan laporan baik tertulis maupun lisan si pelapor diwajibkan untuk menandatangani laporan tersebut. Maka di sini pelapor harus menggunakan nama asli dalam melapor. Kemudian mengenai identitas tersangka (atau orang yang dilaporkan), penulisan nama alias dimungkinkan dilakukan jika seseorang benar-benar tidak mengetahui nama tersangkanya. Dalam penyelidikan dan penyidikan, jika seorang tersangka tidak diketahui identitasnya, polisi memiliki kewajiban untuk untuk mencari dan mengumpulkan salah satunya identitas tersangka.
Penjelasan lebih lanjut dapat Anda simak dalam ulasan di bawah ini.
Ulasan :
Terima kasih atas pertanyaan Anda.
Laporan Polisi
Definisi laporan menurut Pasal 1 angka 24 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (“KUHAP”) adalah pemberitahuan yang disampaikan oleh seorang karena hak atau kewajiban berdasarkan undang-undang kepada pejabat yang berwenang tentang telah atau sedang atau diduga akan terjadinya peristiwa pidana.
Setiap orang yang mengalami, melihat, menyaksikan dan atau menjadi korban peristiwa yang merupakan tindak pidana berhak untuk mengajukan laporan atau pengaduan kepada penyelidik dan atau penyidik baik lisan maupun tertulis sebagaimana diatur dalam Pasal 108 ayat (1) KUHAP.
Dari pengertian di atas, laporan merupakan suatu bentuk pemberitahuan kepada pejabat yang berwenang bahwa telah ada atau sedang atau diduga akan terjadinya sebuah peristiwa pidana/kejahatan. Artinya, peristiwa yang dilaporkan belum tentu perbuatan pidana, sehingga dibutuhkan sebuah tindakan penyelidikan oleh pejabat yang berwenang terlebih dahulu untuk menentukan perbuatan tersebut merupakan tindak pidana atau bukan.[1]
Laporan atau pengaduan yang diajukan secara tertulis harus ditandatangani oleh pelapor atau pengadu.[2] Sedangkan laporan atau pengaduan yang diajukan secara lisan harus dicatat oleh penyelidik dan ditandatangani oleh pelapor atau pengadu dan penyelidik.[3] Apabila pelapor atau pengadu tidak dapat menulis, hal itu harus disebutkan sebagai catatan dalam laporan atau pengaduan tersebut.[4]
Menjadi penting perihal dengan laporan yang harus ditandatangani. Menurut hemat kami meskipun tidak disebutkan secara jelas dalam peraturan, akan tetapi penandatanganan secara logis menjadi cara mempertanggung jawabkan “keabsahan” data dari suatu laporan sehingga identitas asli diperlukan.
Penyelidikan dilaksanakan melalui kegiatan pengolahan TKP, yaitu salah satunya untuk mencari dan mengumpulkan keterangan, petunjuk, barang bukti, identitas tersangka, dan saksi/korban untuk kepentingan penyelidikan selanjutnya.[10]
Penyidikan
Laporan Polisi tentang dugaan adanya tindak pidana diterima Sentra Pelayanan Kepolisian Terpadu (“SPKT”) atau Siaga Bareskrim Polri, laporan tersebut dibuat dalam bentuk Laporan Polisi Model A atau Laporan Polisi Model B.[11]
Selain itu, penyidik juga wajib membuat rencana penyidikan, yang dimaksudkan untuk melaksanakan penyidikan agar profesional, efektif dan efisien.[12] Rencana penyidikan yang dimaksud diajukan kepada atasan penyidik secara berjenjang sekurang-kurangnya memuat:[13]
jumlah dan identitas penyidik;
sasaran/target penyidikan;
kegiatan yang akan dilakukan sesuai tahap penyidikan;
karakteristik dan anatomi perkara yang akan disidik;
waktu penyelesaian penyidikan berdasarkan bobot perkara;
kebutuhan anggaran penyidikan; dan
kelengkapan administrasi penyidikan.
Tingkat kesulitan penyidikan perkara ditentukan berdasarkan kriteria:[14]
Secara eksplisit tidak diatur bahwa seseorang harus mencantumkan nama si pelapor dan/atau tersangka dengan sesuai dengan identitas asli yang tertera dalam KTP. Bahkan dalam penyelidikan dan penyidikan tidak ada keharusan menyebut suatu identitas tersangka.
Namun, dalam hal seseroang membuat laporan suatu tindak pidana, setelah meyampaikan laporan baik tertulis maupun lisan si pelapor diwajibkan untuk menandatangani laporan tersebut. Maka di sini pelapor harus menggunakan nama asli dalam melapor.
Kemudian mengenai identitas tersangka (atau orang yang dilaporkan), penulisan nama alias dimungkinkan dilakukan jika seseorang benar-benar tidak mengetahui nama tersangkanya. Dalam penyelidikan, jika seorang tersangka tidak diketahui identitasnya, polisi memiliki kewajiban untuk untuk mencari dan mengumpulkan salah satunya identitas tersangka. Juga dalam penyidikan, jika tersangka belum diketahui identitasnya dimungkinkan untuk tetap diproses secara hukum. Hal ini tergantung dengan tingkat kesulitan perkaranya.
Demikian jawaban dari kami, semoga bermanfaat.
Dasar Hukum:
Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana
Peraturan Kepolisian Negara Republik Indonesia Nomor 14 Tahun 2012 tentang Manajemen Penyidikan Tindak Pidana