Selamat pagi, saya ada pertanyaan perihal blacklist employee di perusahaan kami. Ada beberapa karyawan yang di-blacklist karena perilaku yang kurang baik, sehingga di-PHK. Kami memiliki beberapa anak perusahaan sehingga bagian HRD ingin membuat informasi via web internal perihal blacklist employee tersebut. Tujuannya agar si karyawan yang telah di-PHK tidak bisa bergabung lagi di anak perusahaan yang lain. Bagaimana masalah ini dari segi hukumnya? Ketakutan kami adalah jika ada penuntutan dari salah satu karyawan yang di-blacklist. Mohon dibantu ya, terima kasih.
Daftar Isi
INTISARI JAWABAN
Perbuatan HRD yang secara sepihak menginformasikan data karyawan yang telah di-blacklist kepada anak perusahaan hanya untuk kepentingan internal perusahaan dan anak perusahaan saja, serta tidak untuk diinformasikan di media sosial atau di hadapan publik adalah perbuatan yang sah-sah saja. Namun lain halnya, jika data blacklist karyawan dilakukan atau diumumkan melalui media elektronik dapat berpotensi melanggar hukum. Apakah itu?
Penjelasan lebih lanjut dapat Anda baca ulasan di bawah ini.
Artikel di bawah ini adalah pemutakhiran dari artikel dengan judul Bolehkah Mem-blacklist Pekerja? yang dibuat pertama kali oleh Nurul Amalia, S.H., M.H. pada 22 Maret 2016.
Belajar Hukum Secara Online dari Pengajar Berkompeten Dengan Biaya TerjangkauMulai DariRp. 149.000
Artikel ini dibuat berdasarkan KUHP lama dan UU 1/2023 tentang KUHP yang diundangkan pada tanggal 2 Januari 2023.
Seluruh informasi hukum yang ada di Klinik hukumonline.com disiapkan semata – mata untuk tujuan pendidikan dan bersifat umum (lihat Pernyataan Penyangkalanselengkapnya). Untuk mendapatkan nasihat hukum spesifik terhadap kasus Anda, konsultasikan langsung dengan Konsultan Mitra Justika.
Pencemaran Nama Baik Menurut KUHP
Pada dasarnya perlu diketahui terlebih dahulu apa itu blacklist atau daftar hitam. Menurut KBBI, daftar hitam adalah daftar nama orang atau organisasi yang dianggap membahayakan keamanan atau daftar nama orang yang pernah dihukum karena melakukan kejahatan.
Mengenai blacklist employee yang dilakukan HRD karena alasan karyawan berkelakuan kurang baik, Anda sendiri tidak menjelaskan kelakuan kurang baik seperti apa yang telah dilakukan, apakah sampai pada perbuatan pidana misal penggelapan yang merugikan keuangan perusahaan.
Perlu diketahui bahwa mengenai blacklist employee secara spesifik tidak ada pengaturannya dalam UU Ketenagakerjaan. Oleh karena itu, ketika pihak HRD secara sepihak menginformasikan data karyawan yang telah di-blacklist kepada anak perusahaan, misal karena telah melakukan penggelapan yang merugikan, itu adalah tindakan yang sah saja karena akan menjadi pertimbangan untuk menerima atau tidak karyawan yang telah di-blacklist tersebut dengan syarat hanya untuk kepentingan internal perusahaan dan anak perusahaan saja.
Namun perlu diketahui apabila kesalahan yang pernah dilakukan si pekerja tidak pernah diproses secara hukum misal perbuatan pidana tidak pernah diputuskan oleh pengadilan dengan putusan yang telah memiliki kekuatan hukum tetap, kemungkinan Anda dapat dikenakan pasal pencemaran nama baik sebagaimana diatur di dalam KUHP yang saat artikel ini diterbitkan masih berlaku dan UU 1/2023 tentang KUHP baru yang berlaku 3 tahun sejak tanggal diundangkan.[1] Adapun bunyi ketentuannya adalah sebagai berikut:
KUHP
UU 1/2023
Pasal 310 ayat (1)
Barang siapa sengaja menyerang kehormatan atau nama baik seseorang dengan menuduhkan sesuatu hal, yang maksudnya terang supaya hal itu diketahui umum, diancam karena pencemaran dengan pidana penjara paling lama sembilan bulan atau pidana denda paling banyak Rp4,5 juta.[2]
Pasal 433 ayat (1)
Setiap Orang yang dengan lisan menyerang kehormatan atau nama baik orang lain dengan cara menuduhkan suatu hal, dengan maksud supaya hal tersebut diketahui umum, dipidana karena pencemaran, dengan pidana penjara paling lama 9 (sembilan) Bulan atau pidana denda paling banyak kategori II, yaitu Rp10 juta.[3]
Pasal 311 ayat (1)
Jika yang melakukan kejahatan pencemaran atau pencemaran tertulis dibolehkan untuk membuktikan apa yang dituduhkan itu benar, tidak membuktikannya, dan tuduhan dilakukan bertentangan dengan apa yang diketahui, maka dia diancam melakukan fitnah dengan pidana penjara paling lama empat tahun.
Pasal 434 ayat (1)
Jika Setiap Orang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 433 diberi kesempatan membuktikan kebenaran hal yang dituduhkan tetapi tidak dapat membuktikannya, dan tuduhan tersebut bertentangan dengan yang diketahuinya, dipidana karena fitnah, dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun atau pidana denda paling banyak kategori IV, yaitu Rp200 juta.[4]
Pencemaran Nama Baik menurut UU ITE
Selain dapat dijerat ketentuan pidana, apabila tindakan mem-blacklist karyawan tersebut dilakukan atau diumumkan melalui media elektronik pada dasarnya dapat saja dilaporkan dengan ketentuan Pasal 27A UU 1/2024tentang perubahan kedua UU ITEsebagai berikut:
Setiap Orang dengan sengaja menyerang kehormatan atau nama baik orang lain dengan cara menuduhkan suatu hal, dengan maksud supaya hal tersebut diketahui umum dalam bentuk Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang dilakukan melalui Sistem Elektronik.
Kemudian, pelaku yang melanggar Pasal 27A UU 1/2024 berpotensi dipidana penjara maksimal 2 tahun dan/atau denda maksimal Rp400 juta, sebagaimana diatur dalam Pasal 45 ayat (4) UU 1/2024.
Adapun yang dimaksud dari perbuatan “menyerang kehormatan atau nama baik” adalah perbuatan yang merendahkan atau merusak nama baik atau harga diri orang lain sehingga merugikan orang tersebut, termasuk menista dan/atau memfitnah.[5]
Akan tetapi, tindak pidana dalam Pasal 27A UU 1/2024 adalah tindak pidana aduan, sehingga tindak pidana ini hanya dapat dituntut apabila ada pengaduan dari korban atau orang yang terkena tindak pidana, dan bukan oleh badan hukum.[6]Selain itu, perbuatan dalam Pasal 27A UU 1/2024 tidak dapat dipidana jika dilakukan untuk kepentingan umum atau jika dilakukan karena terpaksa membela diri.[7]
Namun kami berpendapat, apabila karyawan tersebut di-blacklist bukan karena melakukan perbuatan pidana yang dapat merugikan perusahaan, ada baiknya pihak perusahaan mempertimbangkan untuk memberikan kesempatan kepada karyawan tersebut tetapi tidak untuk jabatan yang berpotensi dilakukannya tindak pidana yang dapat merugikan perusahaan.
Adapun hal ini didasarkan pada alasan karena setiap tenaga kerja memiliki kesempatan yang sama tanpa diskriminasi untuk memperoleh pekerjaan.Setiap tenaga kerja mempunyai hak dan kesempatan yang sama untuk memperoleh pekerjaan dan penghidupan yang layak tanpa membedakan jenis kelamin, suku, ras, agama, dan aliran politik sesuai dengan minat dan kemampuan tenaga kerja yang bersangkutan, termasuk perlakuan yang sama terhadap para penyandang cacat.[8]
Selain itu, sebagaimana disebutkan dalam UU Ketenagakerjaan, pemerintah dan masyarakat bersama-sama mengupayakan perluasan kesempatan kerja baik di dalam maupun di luar hubungan kerja.[9]