Apakah pelaku pelanggaran terhadap ketertiban umum dapat ditangkap? Bukankah penangkapan dilakukan terhadap perbuatan pidana yang berdasarkan 2 bukti permulaan yang cukup? Lalu, bolehkah Satpol PP menangkap orang yang melakukan pelanggaran ketertiban umum?
Daftar Isi
INTISARI JAWABAN
Penangkapan adalah suatu tindakan penyidik berupa pengekangan sementara waktu kebebasan tersangka atau terdakwa apabila terdapat cukup bukti guna kepentingan penyidikan atau penuntutan dan atau peradilan dalam hal serta menurut cara yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (“KUHAP”).
Jadi, tindakan penangkapan dilakukan oleh penyidik (dalam hal ini Kepolisian) pada proses penyidikan. Selain itu, penangkapan dilakukan guna kepentingan penyidikan atau penuntutan dan atau peradilan.
Benar bahwa alasan penangkapan atau syarat penangkapan yaitu:
seorang yang diduga keras melakukan tindak pidana;
dugaan yang kuat itu didasarkan pada bukti permulaan yang cukup (minimal dua alat bukti yang termuat dalam Pasal 184 KUHAP)
Berdasarkan Pasal 19 ayat (2) KUHAP, penangkapantidak boleh dilakukan terhadap tersangka pelaku pelanggaran, kecuali telah dipanggil secara sah dua kali berturut-turut tidak memenuhi panggilan itu tanpa alasan yang sah.
Tidak ada tugas dan wewenang yang diberikan oleh Peraturan Pemerintah Nomor 16 Tahun 2018 tentang Satuan Polisi Pamong Praja (“PP Satpol PP”) kepada Satpol PP untuk melakukan penangkapan terhadap tersangka pelaku pelanggaran ketertiban umum. Wewenang yang diberikan adalah tindakan dalam rangka menjaga dan/atau memulihkan ketertiban umum dan ketenteraman masyarakat terhadap pelanggaran atas Perda dan/atau peraturan kepala daerah, tapi tidak sampai proses peradilan.
Penjelasan lebih lanjut dapat Anda simak dalam ulasan di bawah ini.
ULASAN LENGKAP
Artikel di bawah ini adalah pemutakhiran dari artikel dengan judul sama yang dibuat oleh Sovia Hasanah, S.H. dan pertama kali dipublikasikan Selasa, 06 Juni 2017.
Penangkapan adalah suatu tindakan penyidik berupa pengekangan sementara waktu kebebasan tersangka atau terdakwa apabila terdapat cukup bukti guna kepentingan penyidikan atau penuntutan dan atau peradilan dalam hal serta menurut cara yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (“KUHAP”).
Jadi, tindakan penangkapan dilakukan oleh penyidik (dalam hal ini Kepolisian) pada proses penyidikan. Selain itu, penangkapan dilakukan guna kepentingan penyidikan atau penuntutan dan atau peradilan.
Benar bahwa alasan penangkapan atau syarat penangkapan yaitu:
seorang yang diduga keras melakukan tindak pidana;
dugaan yang kuat itu didasarkan pada bukti permulaan yang cukup (minimal dua alat bukti yang termuat dalam Pasal 184 KUHAP)
Berdasarkan Pasal 19 ayat (2) KUHAP, penangkapantidak boleh dilakukan terhadap tersangka pelaku pelanggaran, kecuali telah dipanggil secara sah dua kali berturut-turut tidak memenuhi panggilan itu tanpa alasan yang sah.
Tidak ada tugas dan wewenang yang diberikan oleh Peraturan Pemerintah Nomor 16 Tahun 2018 tentang Satuan Polisi Pamong Praja (“PP Satpol PP”) kepada Satpol PP untuk melakukan penangkapan terhadap tersangka pelaku pelanggaran ketertiban umum. Wewenang yang diberikan adalah tindakan dalam rangka menjaga dan/atau memulihkan ketertiban umum dan ketenteraman masyarakat terhadap pelanggaran atas Perda dan/atau peraturan kepala daerah, tapi tidak sampai proses peradilan.
Penjelasan lebih lanjut dapat Anda simak dalam ulasan di bawah ini.
Belajar Hukum Secara Online dari Pengajar Berkompeten Dengan Biaya TerjangkauMulai DariRp. 149.000
Ulasan:
Terima kasih atas pertanyaan Anda.
Penangkapan dan Syaratnya
Penangkapan adalah suatu tindakan penyidik berupa pengekangan sementara waktu kebebasan tersangka atau terdakwa apabila terdapat cukup bukti guna kepentingan penyidikan atau penuntutan dan atau peradilan dalam hal serta menurut cara yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana(“KUHAP”).[1]
Dari definisi penangkapan di atas dapat kita bisa ketahui bahwa tindakan penangkapan dilakukan oleh penyidik (dalam hal ini Kepolisian) pada proses penyidikan. Selain itu, penangkapan dilakukan guna kepentingan penyidikan atau penuntutan dan atau peradilan.
seorang yang diduga keras melakukan tindak pidana;
dugaan yang kuat itu didasarkan pada bukti permulaan yang cukup.
Anda benar bahwa “bukti permulaan yang cukup” adalah minimal 2 (dua) alat bukti yang termuat dalam Pasal 184 KUHAP sebagaimana dimaksud dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 21/PUU-XII/2014yakni:
keterangan saksi;
keterangan ahli;
surat;
petunjuk;
keterangan terdakwa
Larangan Penangkapan Terhadap Terangka Pelaku Pelanggaran
Untuk menjawab pertanyaan Anda tentang dapatkah pelaku pelanggaran ditangkap, kita mengacu pada Pasal 19 ayat (2) KUHAP yang berbunyi:
Terhadap tersangka pelaku pelanggaran tidak diadakan penangkapankecuali dalam hal ia telah dipanggil secara sah dua kali berturut-turut tidak memenuhi panggilan itu tanpa alasan yang sah.
Terkait hal ini, Yahya Harahap menjelaskan bahwa tidak boleh melakukan penangkapan terhadap tersangka yang melakukan tindak pidana pelanggaran. Prinsip hukum telah menggariskan, dilarang menangkap pelaku tindak pidana pelanggaran.[2]
Namun, terhadap prinsip hukum ini ada pengecualian sebagaimana dijelaskan dalamPasal 19 ayat (2) KUHAP yaitu dalam hal: apabila tersangka pelaku tindak pidana pelanggaran sudah dua kali dipanggil berturut-turut secara resmi namun tidak memenuhi panggilan tanpa alasan yang sah. Dalam kasus ini tersangka dapat ditangkap atau dapat dibawa ke kantor polisi dengan paksa, untuk dilakukan pemeriksaan.[3]
Apakah prinsip ini mutlak berlaku untuk semua tindak pidana pelanggaran? Yahya berpendapat terdapat pengecualian. Dasar pengecualian bertitik tolak dari ketentuanPasal 21 ayat (4) KUHAP yang menjelaskan bahwa penahanan hanya dapat dilakukan terhadap tersangka atau terdakwa atau orang yang melakukan tindak pidana dan atau percobaan tindak pidana atau terhadap orang yang memberi bantuan terhadap tindak pidana.[4]
Sehubungan dengan ketentuan tersebut menurut Yahya, penahanan (jadi bukan hanya penangkapan) dapat dilakukan terhadap orang yang memberi bantuan dalam tindak pidana. Sebagai contoh Pasal 506 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (“KUHP”), pasal ini dimasukkan dalam Buku III KUHP tentang pelanggaran. Yang diatur dalam Bab III mengenai pelanggaran ketertiban umum yaitu: barang siapa mencari keuntungan dari perbuatan cabul seorang wanita dan menjadikannya sebagai pencarian, diancam dengan pidana kurungan paling lama satu tahun. Perbuatan cabulnya itu sendiri merupakan tindak pidana kejahatan seperti yang diatur dalam Bab XIV KUHP (kejahatan kesusilaan) yang dirumuskan dalam Pasal 284 KUHP.[5]
Jadi berdasarkan kedua pasal di atas, Pasal 506 KUHP menghukum orang yang “memberi bantuan” dengan tujuan mencari keuntungan terhadap kejahatan perbuatan cabul yang yang disebut dalam Pasal 284 KUHP. Misalnya calo yang menawarkan atau menyediakan tempat untuk perbuatan cabul.[6]
Jika Pasal 506 jo. Pasal 284 KUHP dihubungkan dengan Pasal 21 ayat (4) KUHAP, memberi wewenang bagi penyidik untuk melakukan penangkapan terhadap pelanggaran Pasal 506 KUHP, sekalipun Pasal 506 KUHP merupakan tindak pidana pelanggaran. Malah jika diperhatikan lebih lanjut, Pasal 506 KUHP termasuk kelompok tindak pidana yang dapat dilakukan penahanan terhadap pelakunya berdasarkan Pasal 21 ayat (4) huruf b KUHAP.[7]
Jadi pada dasarnya penangkapan dilakukan oleh penyidik dan penangkapan itu tidak boleh dilakukan terhadap tersangka yang melakukan tindak pidana pelanggaran, kecuali telah dipanggil secara sah dua kali berturut-turut tidak memenuhi panggilan itu tanpa alasan yang sah. Namun, prinsip ini tidak mutlak berlaku untuk semua tindak pidana pelanggaran.
Tugas dan Wewenang Satpol PP
Di atas telah dijelaskan bahwa penangkapan itu dilakukan oleh penyidik terhadap tersangka atau terdakwa apabila terdapat cukup bukti guna kepentingan penyidikan atau penuntutan dan atau peradilan.
melakukan tindakan penertiban nonyustisial terhadap warga masyarakat, aparatur, atau badan hukum yang melakukan pelanggaran atas Perda dan/atau Perkada;
menindak warga masyarakat, aparatur, atau badan hukum yang mengganggu ketertiban umum dan ketenteraman masyarakat;
melakukan tindakan penyelidikan terhadap warga masyarakat, aparatur, atau badan hukum yang diduga melakukan pelanggaran atas Perda dan/atau Perkada; dan
melakukan tindakan administratif terhadap warga masyarakat, aparatur, atau badan hukum yang melakukan pelanggaran atas Perda dan/atau Perkada.
Tindakanpenertiban nonyustisial adalah tindakan yang dilakukan oleh Pol PP dalam rangka menjaga dan/atau memulihkan ketertiban umum dan ketenteraman masyarakat terhadap pelanggaran Perda dan/atau Perkada sesuai dengan ketentuan peraturan perundangundangan dan tidak sampai pada proses peradilan.[10]
Jadi, tidak ada tugas dan wewenang yang diberikan oleh PP Satpol PP kepada Satpol PP untuk melakukan penangkapan terhadap tersangka pelaku pelanggaran ketertiban umum. Dengan kata lain, Satpol PP bukanlah pihak yang berwenang melakukan penangkapan terhadap orang yang melakukan pelanggaran ketertiban umum. Wewenang yang diberikan adalah tindakan dalam rangka menjaga dan/atau memulihkan ketertiban umum dan ketenteraman masyarakat terhadap pelanggaran atas Perda dan/atau peraturan kepala daerah, tapi tidak sampai proses peradilan.
Sebagai tambahan informasi, hubungan kerja sama antara Satpol PP dengan Kepolisian antara lain yaitu:
Dalam melaksanakan penegakan Perda dan/atau Perkada Satpol PP dapat berkoordinasi dengan Tentara Nasional Indonesia, Kepolisian Negara Republik Indonesia, Kejaksaan Republik Indonesia, dan pengadilan yang berada di daerah provinsi/kabupaten/kota.[11]
Dalam melaksanakan tugas ketertiban umum dan ketenteraman masyarakat, Satpol PP dapat meminta bantuan personel dan peralatan dari Kepolisian Negara Republik Indonesia dan Tentara Nasional Indonesia dalam melaksanakan tugas yang memiliki dampak sosial yang luas dan risiko tinggi. [12]