Bisakah UU Dicabut Bukan karena Bertentangan dengan Konstitusi?
Bacaan 10 Menit
PERTANYAAN
Apakah bisa Undang-Undang dihapus bukan karena bertentangan dengan Konstitusi?
Pro
Pusat Data
Koleksi peraturan perundang-undangan dan putusan pengadilan yang sistematis serta terintegrasi
Solusi
Wawasan Hukum
Klinik
Tanya jawab gratis tentang berbagai isu hukum
Berita
Informasi dan berita terkini seputar perkembangan hukum di Indonesia
Jurnal
Koleksi artikel dan jurnal hukum yang kredibel untuk referensi penelitian Anda
Event
Informasi mengenai seminar, diskusi, dan pelatihan tentang berbagai isu hukum terkini
Klinik
Berita
Login
Pro
Layanan premium berupa analisis hukum dwibahasa, pusat data peraturan dan putusan pengadilan, serta artikel premium.
Solusi
Solusi kebutuhan dan permasalahan hukum Anda melalui pemanfaatan teknologi.
Wawasan Hukum
Layanan edukasi dan informasi hukum tepercaya sesuai dengan perkembangan hukum di Indonesia.
Catalog Product
Ada Pertanyaan? Hubungi Kami
Bacaan 10 Menit
Apakah bisa Undang-Undang dihapus bukan karena bertentangan dengan Konstitusi?
Terima kasih atas pertanyaan Anda.
Undang-undang merupakan salah satu jenis peraturan perundang-undangan yang disebut dalam Pasal 7 ayat (1) Undang-Undang No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan (“UU 12/2011”) yang berbunyi:
“Jenis dan hierarki Peraturan Perundang-undangan terdiri atas:
a. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
b. Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat;
c. Undang-Undang/Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang;
d. Peraturan Pemerintah;
e. Peraturan Presiden;
f. Peraturan Daerah Provinsi; dan
g. Peraturan Daerah Kabupaten/Kota.”
Sebelumnya, kami perlu meluruskan suatu hal di sini. Terhadap Undang-Undang (“UU”) tidak dikenal adanya istilah penghapusan. Adapun istilah yang digunakan terhadap UU adalah pencabutan UU.
Mengenai dicabutnya undang-undang karena bertentangan dengan konstitusi, hal ini berkaitan dengan fungsi Mahkamah Konstitusi (“MK”) yang mengadili dan memutus perkara pengujian materiil suatu UU. Seperti yang diketahui, pengujian UU terhadap Undang-Undang Dasar 1945 (“UUD 1945”) merupakan wewenang Mahkamah Konstitusi (Pasal 24C ayat [1] UUD 1945).
Akan tetapi, suatu undang-undang dapat pula dicabut dan dinyatakan tidak berlaku jika perlu diadakan cukup banyak perubahan dalam undang-undang tersebut, sehingga dibentuk undang-undang baru. Di dalam undang-undang baru ini akan diatur mengenai pencabutan undang-undang yang lama.
Seperti dijelaskan oleh Maria Farida Indrati Soeprapto dalam bukunya Ilmu Perundang-Undangan Proses dan Teknik Pembentukannya (hal. 138), bahwa suatu peraturan perundang-undangan hanya dapat dicabut dan dinyatakan tidak berlaku oleh peraturan perundang-undangan yang tingkatannya sama atau lebih tinggi. Pencabutan peraturan perundang-undangan dengan peraturan perundang-undangan yang tingkatannya lebih tinggi itu dilakukan jika peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi itu dimaksudkan untuk menampung kembali seluruh atau sebagian materi peraturan perundang-undangan yang lebih rendah yang dicabut itu.
Menurut Maria (Ibid, hal. 133), jika materi dalam peraturan perundang-undangan baru menyebabkan perlunya penggantian seluruh atau sebagian materi dalam peraturan perundang-undangan lama, di dalam peraturan perundang-undangan baru harus secara tegas diatur mengenai pencabutan seluruh atau pencabutan sebagian peraturan perundang-undangan demi kepastian hukum.
Perlu Anda ketahui bahwa, istilah ‘mencabut’ adalah proses untuk membuat suatu peraturan perundang-undangan atau ketentuan dalam peraturan perundangan-undangan tersebut tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat. Sedangkan, ‘tidak berlaku’ adalah sebuah keadaan ketika suatu peraturan perundang-undangan atau ketentuannya tidak lagi mempunyai kekuatan hukum mengikat, demikian yang dikatakan oleh M. Naufal Fileindi, S.H. dalam artikel Aturan Pencabutan dan Tidak Berlakunya Undang-Undang.
Masih berkaitan dengan hal ini, Naufal mengatakan bahwa peraturan perundang-undangan yang telah dicabut dan dinyatakan tidak berlaku memiliki suatu akibat hukum, yakni peraturan perundang-undangan tersebut tidak memiliki kekuatan hukum mengikat. Artinya, sudah tidak dapat lagi dijadikan dasar hukum atau rambu-rambu untuk mengatur aspek kehidupan bermasyarakat. Selain itu, berdasarkan teori hukum juga dinyatakan bahwa peraturan perundang-undangan yang berlaku kemudian mengenyampingkan peraturan perundang-undangan yang terdahulu sepanjang mengatur objek yang sama (lex posterior derogat lex priori).
Istilah penghapusan yang Anda sebutkan itu lazim digunakan dalam hal suatu pasal dalam peraturan perundang-undangan (seperti UU) dinyatakan tidak memiliki kekuatan hukum yang mengikat sehingga pasal tersebut harus dibatalkan. Dalam artikel MK Batalkan Sebagian Materi UU Minerba antara lain dikatakan bahwa MK membatalkan Pasal 22 huruf e dan f Undang-Undang No. 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara (“UU Minerba”) sepanjang frasa “dan atau” dan Pasal 52 ayat (1) UU Minerba sepanjang frasa “dengan luas paling sedikit 5.000 hektare dan” karena bertentangan dengan UUD 1945. Ini artinya syarat luas Wilayah Izin Usaha Pertambangan (WIUP) minimal 5.000 hektare dihapus.
Contoh lain penggunaan kata “penghapusan” suatu pasal dalam peraturan perundang-undangan adalah MK telah menghapuskan unsur yang kontroversial dalam pasal karet yang menyebabkan ketidakpastian hukum dalam Pasal 335 (1) Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (“KUHP”). Melalui Putusan No. 1/PUU-XI/2013, MK menghapus frasa ‘sesuatu perbuatan lain maupun perbuatan tidak menyenangkan’ dalam Pasal 335 (1) KUHP itu.
2. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (Wetboek van Strafrecht) Staatsblad Nomor 732 Tahun 1915;
3. Undang-Undang No. 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara;
4. Undang-Undang No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan.
KLINIK TERBARU
Dapatkan info berbagai lowongan kerja hukum terbaru di Indonesia!
Butuh lebih banyak artikel?