Ulasan:
Terima kasih atas pertanyaan Anda.
Pertama, jika pada saat penyidikan, terhadap satu atau lebih unsur tindak pidana korupsi tidak terdapat cukup bukti, sedangkan secara nyata telah ada kerugian keuangan negara sebagaimana diatur dalam Pasal 32 ayat (1) UU Tipikor yang selengkapnya berbunyi:
Dalam hal penyidik menemukan dan berpendapat bahwa satu atau lebih unsur tindak pidana korupsi tidak terdapat cukup bukti, sedangkan secara nyata telah ada kerugian keuangan negara, maka penyidik segera menyerahkan berkas perkara hasil penyidikan tersebut kepada Jaksa Pengacara Negara untuk dilakukan gugatan perdata atau diserahkan kepada instansi yang dirugikan untuk mengajukan gugatan.
Yang dimaksud dengan "secara nyata telah ada kerugian keuangan negara" di atas adalah kerugian yang sudah dapat dihitung jumlahnya berdasarkan hasil temuan instansi yang berwenang atau akuntan publik yang ditunjuk.[1]
Berkaitan dengan kondisi pertama ini, UU Tipikor menegaskan bahwa putusan bebas dalam perkara tindak pidana korupsi tidak menghapuskan hak untuk menuntut kerugian terhadap keuangan negara.[2] Putusan bebas dalam hal ini merujuk kepada putusan bebas maupun putusan lepas sebagaimana diatur dalam Pasal 191 ayat (1) dan (2) Undang-undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (“KUHAP”).[3]
Kedua, gugatan dapat diajukan ke ahli waris, apabila tersangka meninggal dunia pada saat dilakukan penyidikan, sedangkan secara nyata telah ada kerugian keuangan negara sebagaimana diatur Pasal 33 UU Tipikor yang selengkapnya berbunyi:
Dalam hal tersangka meninggal dunia pada saat dilakukan penyidikan, sedangkan secara nyata telah ada kerugian keuangan negara, maka penyidik segera menyerahkan berkas perkara hasil penyidikan tersebut kepada Jaksa Pengacara Negara atau diserahkan kepada instansi yang dirugikan untuk dilakukan gugatan perdata terhadap ahli warisnya.
Ketiga, gugatan perdata dapat juga diajukan apabila terdakwa meninggal dunia pada saat dilakukan pemeriksaan di sidang pengadilan, jika secara nyata telah ada kerugian keuangan negara. Dalam hal ini, pengajuan gugatan juga dilakukan kepada ahli warisnya. Hal ini diatur dalam Pasal 34 UU Tipikor yang menyatakan:
Dalam hal terdakwa meninggal dunia pada saat dilakukan pemeriksaan di sidang pengadilan, sedangkan secara nyata telah ada kerugian keuangan negara, maka penuntut umum segera menyerahkan salinan berkas berita acara sidang tersebut kepada Jaksa Pengacara Negara atau diserahkan kepada instansi yang dirugikan untuk dilakukan gugatan perdata terhadap ahli warisnya.
Apabila setelah putusan pengadilan telah memperoleh kekuatan hukum tetap, diketahui masih terdapat harta benda milik terpidana yang diduga atau patut diduga juga berasal dari tindak pidana korupsi yang belum dikenakan perampasan untuk negara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 38B ayat (2), maka negara dapat melakukan gugatan perdata terhadap terpidana dan atau ahli warisnya.
Sehingga, mengenai pertanyaan Anda tentang gugatan ganti kerugian oleh masyarakat terhadap koruptor yang sudah menjalani sanksi pidananya dengan dalil jembatan tidak selesai dan masyarakat tidak dapat melakukan mobilisasi, maka gugatan tersebut tidak dapat diajukan, karena masyarakat tidak mempunyai hak atau kewenangan berdasarkan undang-undang.
Apabila dicermati lebih lanjut, subjek hukum yang berwenang mengajukan gugatan perdata dalam tindak pidana korupsi adalah negara yang diwakili oleh Jaksa Pengacara Negara atau instansi yang dirugikan dari adanya tindak pidana korupsi tersebut.
Perlu diketahui bahwa Pasal 32, Pasal 33, dan Pasal 34 UU Tipikor serta Pasal 38C UU 20/2001 termasuk dalam Bab IV tentang Penyidikan, Penuntutan, dan Pemeriksaan di Sidang Pengadilan. Dengan demikian sesungguhnya pasal-pasal tersebut termasuk dalam kategori hukum formil (hukum acara).
Menurut Eddy O.S. Hiariej, dalam bukunya Teori dan Hukum Pembuktian (hal. 35), hukum acara pidana mengandung asas lex stricta yang berarti bahwa hukum acara pidana harus ditafsirkan secara ketat. Tegasnya, gugatan ganti kerugian tersebut tidak dapat diajukan oleh masyarakat karena undang-undang sudah mengatur secara limitatif pengajuan gugatan perdata terkait tindak pidana korupsi sebagaimana diatur Pasal 32, Pasal 33, dan Pasal 34 UU Tipikor serta Pasal 38C UU 20/2001.
Demikian jawaban kami, semoga bermanfaat.
Dasar Hukum:
Referensi:
Eddy O.S. Hiariej. Teori dan Hukum Pembuktian. Penerbit Erlangga: Jakarta. 2012.
[1] Penjelasan Pasal 32 ayat (1) UU Tipikor
[2] Pasal 32 ayat (2) UU Tipikor
[3] Penjelasan Pasal 32 ayat (2) UU Tipikor