Izin bertanya jika kita akan melakukan akad KPR dengan notaris dengan KPR atas nama istri, apakah boleh suami tidak ikut hadir akad karena bekerja jauh di luar kota? Adakah cara lain supaya akad tetap bisa berlangsung?
DAFTAR ISI
INTISARI JAWABAN
Pada dasarnya, dalam penandatanganan akad Kredit Pemilikan Rumah (“KPR”) di hadapan notaris mensyaratkan pasangan suami istri untuk hadir secara fisik sesuai dengan ketentuan Pasal 16 ayat (1) huruf m UU 2/2014.
Namun, jika suami berhalangan hadir secara fisik untuk menandatangani akad KPR di hadapan notaris, bagaimana langkah hukumnya?
Penjelasan lebih lanjut dapat Anda baca ulasan di bawah ini.
ULASAN LENGKAP
Terima kasih atas pertanyaan Anda.
Seluruh informasi hukum yang ada di Klinik hukumonline.com disiapkan semata – mata untuk tujuan pendidikan dan bersifat umum (lihatPernyataan Penyangkalanselengkapnya). Untuk mendapatkan nasihat hukum spesifik terhadap kasus Anda, konsultasikan langsung denganKonsultan Mitra Justika.
Sebelum menjawab inti pertanyaan Anda, kami akan menjelaskan terlebih dahulu mengenai arti akad. Akad, menurut KBBI adalah janji, perjanjian, kontrak. Lebih lanjut, dijelaskan Trisadini P. Usanti dan Abd. Shomad (hal. 45) dalam buku Transaksi Bank Syariah, hubungan hukum antara nasabah dengan bank syariah adalah hubungan kontraktual. Dalam bahasa Indonesia, istilah kontrak sama pengertiannya dengan perjanjian. Kedua istilah tersebut merupakan terjemahan dari contract atau agreement (bahasa Inggris) dan overeenkomst (bahasa Belanda). Kontrak atau perjanjian dalam bahasa Arab disebut dengan akad berasal dari al-aqdun yang berarti ikatan atau simpul tali. Kata akad secara terminologi fikih adalah perikatan antara ijab (penawaran) dengan kabul (penerimaan) secara yang dibenarkan syara’.
Dalam melakukan suatu perbuatan hukum yang akan berimplikasi kepada harta benda perkawinan atau harta bersama, maka perbuatan hukum tersebut harus atas persetujuan suami atau istri. Dalam hal ini, maka penandatangan akad Kredit Pemilikan Rumah (“KPR”) tentunya suami harus hadir secara fisik untuk menandatangani perjanjian di hadapan pihak bank, notaris, dan saksi-saksi secara bersama-sama sesuai dengan ketentuan Pasal 16 ayat (1) huruf m UU 2/2014.
Pasal 16 ayat (1) huruf m UU 2/2014 tersebut menentukan bahwa dalam menjalankan jabatannya, notaris wajib membacakan akta di hadapan penghadap dengan dihadiri oleh paling sedikit 2 orang saksi, atau 4 orang saksi khusus untuk pembuatan akta wasiat di bawah tangan, dan ditandatangani pada saat itu juga oleh penghadap, saksi, dan notaris. Selanjutnya, dalam Penjelasan Pasal 16 ayat (1) huruf m UU 2/2014 ditegaskan bahwa notaris harus hadir secara fisik dan menandatangani akta di hadapan penghadap dan saksi.
Belajar Hukum Secara Online dari Pengajar Berkompeten Dengan Biaya TerjangkauMulai DariRp. 149.000
Kemudian, Pasal 16 ayat (9) UU 2/2014 mengatur sebagai berikut:
Jika salah satu syarat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf m dan ayat (7) tidak dipenuhi, Akta yang bersangkutan hanya mempunyai kekuatan pembuktian sebagai akta di bawah tangan.
Meski demikian, kewajiban menghadap atau bertemu secara fisik tersebut dianggap tidak mendukung iklim bisnis yang menuntut kecepatan dan ketepatan dalam transaksi, sehingga dalam berbagai tulisan dan pandangan, ketentuan UU JNdan perubahannya ini perlu segera diubah atau diganti dengan pemanfaatan teknologi informasi dalam mendukung pelaksanaan tugas jabatan notaris yang sering disebut dengan istilah cyber notary atau e-notary.[1]
Lantas, apabila suami berhalangan datang secara fisik dalam penandatangan akad (perjanjian) KPR sebagaimana Anda maksud, maka suami dapat memberikan surat kuasa khusus kepada istri untuk menghadap dan menandatangani akta KPR di hadapan notaris.
Pembuatan surat kuasa khusus itu didasarkan pada Pasal 1795 KUH Perdata yang menentukan bahwa pemberian kuasa dapat dilakukan secara khusus, yaitu mengenai hanya satu kepentingan tertentu atau lebih, atau secara umum, yaitu meliputi segala kepentingan si pemberi kuasa. Lebih lanjut mengenai surat kuasa khusus dapat Anda simak dalam artikel Cara Membuat Surat Kuasa yang Baik dan Benar Beserta Contohnya.
Surat kuasa khusus pada hakikatnya dapat dibuat dengan akta di bawah tangan (dibuat sendiri oleh suami) atau dengan akta autentik (akta notaris). Namun, bank dalam menegakkan prinsip kehati-hatian[2] akan mengharapkan atau meminta kuasa khusus tersebut dibuat dalam bentuk akta notaris, mengingat kekuatan pembuktian sempurna dari akta notaris tersebut. Dengan demikian, suami Anda dapat ke kantor notaris di kota/kabupaten wilayah tempat kerja suami Anda untuk membuat kuasa khusus yang berisi pemberian kuasa atau wewenang kepada istri untuk membuat dan menandatangani perjanjian KPR dengan bank. Selanjutnya, salinan akta notaris mengenai kuasa khusus itu dapat dikirimkan kepada istri.
Ika Yuli Agustin dan Ghansham Anand. Proposing Notaries’ Deed Digitalization in Indonesia: A Legal Perspective. Lentera Hukum, Volume 8 Issue 1, 2021;
Trisadini P. Usanti dan Abd. Shomad. Transaksi Bank Syariah. Cetakan kesatu, Jakarta: Bumi Aksara, 2013;
Trisadini P. Usanti dan Abd Shomad. Hukum Perbankan. Jakarta: Kencana, 2016;
Akad, yang diakses pada Senin, 1 Juli 2024 pukul 10.15 WIB.
[1] Ika Yuli Agustin dan Ghansham Anand. Proposing Notaries’ Deed Digitalization in Indonesia: A Legal Perspective. Lentera Hukum, Vol. 8 Issue 1, 2021, hal. 49-72.
[2] Prinsip kehati-hatian (prudent banking principle) adalah asas atau prinsip yang menyatakan bahwa bank wajib bersikap hati-hati dalam menjalankan kegiatan usahanya. Prinsip ini bertujuan agar bank menjalankan usahanya secara baik dan benar dengan mematuhi ketentuan-ketentuan dan norma-norma hukum yang berlaku dalam dunia perbankan. Prinsip kehati-hatian juga bertujuan untuk melindungi dana masyarakat yang dipercayakan kepada bank, terutama dalam penghimpunan dan penyaluran dana. Selain prinsip kehati-hatian ada juga prinsip-prinsip lainnya yang wajib diterapkan bank dalam melaksanakan kegiatan usaha perbankan. Prinsip-prinsip lain tersebut antara lain ialah prinsip kepercayaan atau fiduciary principle, prinsip kerahasiaan atau confidentiality principle, dan prinsip mengenal nasabah atau know your customer. Lihat Trisadini P. Usanti dan Abd Shomad. Hukum Perbankan. Jakarta: Kencana, 2016, hal. 17-19.