Terima kasih atas pertanyaan Anda.
Perusahaan Umum Kehutanan Negara (Perum Perhutani) dan Masyarakat
Melalui PP 72/2010, Pemerintah melanjutkan penugasan kepada Perum Perhutani untuk melakukan pengelolaan hutan di hutan negara yang berada di provinsi Jawa Tengah, provinsi Jawa Timur, provinsi Jawa Barat, dan provinsi Banten, kecuali hutan konservasi, berdasarkan prinsip pengelolaan hutan lestari dan prinsip tata kelola perusahaan yang baik.
[1]
Pengelolaan hutan di hutan negara dimaksud meliputi kegiatan:
[2] tata hutan dan penyusunan rencana pengelolaan hutan;
pemanfaatan hutan;
rehabilitasi dan reklamasi hutan; dan
perlindungan hutan dan konservasi alam.
Yang dimaksud
hutan negara dalam ketentuan ini sendiri adalah hutan yang berada pada tanah yang tidak dibebani hak atas tanah.
[3]
Lebih lanjut, maksud dan tujuan Perum Perhutani adalah menyelenggarakan usaha yang bertujuan untuk kemanfaatan umum berupa penyediaan barang dan/atau jasa yang berhubungan dengan pengelolaan hutan dan hasil hutan yang berkualitas, dengan harga yang terjangkau oleh masyarakat berdasarkan prinsip pengelolaan hutan lestari dan prinsip tata kelola perusahaan yang baik.
[4]
Untuk mencapai maksud dan tujuan tersebut, Perum Perhutani menyelenggarakan kegiatan usaha utama:
[5]tata hutan dan penyusunan rencana pengelolaan hutan;
pemanfaatan hutan, yang meliputi pemanfaatan kawasan, pemanfaatan jasa lingkungan, pemanfaatan hasil hutan kayu dan bukan kayu, pemungutan hasil hutan kayu dan bukan kayu;
rehabilitasi dan reklamasi hutan;
perlindungan hutan dan konservasi alam;
pengolahan hasil hutan menjadi bahan baku atau bahan jadi;
pendidikan dan pelatihan di bidang kehutanan;
penelitian dan pengembangan di bidang kehutanan;
pengembangan agroforestri;
membangun dan mengembangkan hutan rakyat (“HR”) dan/atau hutan tanaman rakyat (“HTR”); dan
perdagangan hasil hutan dan hasil produksi sendiri maupun produksi pihak lain.
Selain itu, Perum Perhutani dapat menyelenggarakan kegiatan usaha lain berupa:
[6]usaha optimalisasi potensi sumber daya yang dimiliki untuk trading house, agroindustrial complex, agrobisnis, properti, pergudangan, pariwisata, hotel, resort, rest area, rumah sakit, pertambangan galian C, prasarana telekomunikasi, pemanfaatan sumber daya air, dan sumber daya alam lainnya; dan
kegiatan usaha lain yang sesuai dengan maksud dan tujuan Perum Perhutani.
Dalam melaksanakan pengelolaan hutan, Perum Perhutani juga
wajib melibatkan masyarakat sekitar hutan dengan memperhatikan prinsip tata kelola perusahaan yang baik. Upaya melibatkan masyarakat sekitar hutan dapat dilakukan dengan cara:
[7]memberikan dan menyelenggarakan penyuluhan, bimbingan, pendampingan, pelayanan, bantuan teknik, pendidikan, dan/atau pelatihan;
menyebarluaskan informasi mengenai proses pengelolaan hutan kepada masyarakat secara terbuka; dan
melindungi masyarakat dalam berperan serta pada pelaksanaan pengelolaan hutan, antara lain memperhatikan dan menindaklanjuti saran dan usul dari masyarakat dalam rangka pengelolaan hutan sepanjang sesuai dengan prinsip tata kelola perusahaan yang baik dan dalam rangka perlindungan hutan.
Kelompok Tani Hutan (KTH)
KTH adalah kumpulan petani warga negara Indonesia yang mengelola usaha di bidang kehutanan di dalam dan di luar kawasan hutan.
[8] KTH memiliki fungsi sebagai media:
[9]pembelajaran masyarakat;
peningkatan kapasitas sumber daya manusia;
pemecahan permasalahan;
kerja sama dan gotong royong;
pengembangan usaha produktif, pengolahan, dan pemasaran hasil hutan; dan
peningkatan kepedulian terhadap kelestarian hutan.
KTH dibentuk berdasarkan usulan atas prakarsa pelaku utama dan/atau penyuluh kehutanan/pendamping. Usulan pembentukan KTH dilakukan dengan ketentuan:
[10]keanggotaan KTH paling sedikit 15 orang;
terdapat unsur pelaku utama yang berdomisili dalam satu wilayah administrasi desa/kelurahan dan dibuktikan dengan kartu tanda penduduk (KTP); dan
melakukan kegiatan di bidang kehutanan.
Kegiatan di bidang kehutanan sendiri terdiri atas dalam bentuk:
[11]HTR;
Hutan Kemasyarakatan (“HKm”);
HR;
pembibitan tanaman kehutanan;
penanaman, pemeliharaan dan pemanenan tanaman kehutanan;
agroforestry/agrosilvopasture/agrosilvofishery;
pemanfaatan jasa lingkungan;
pemanfaatan kawasan hutan;
pemanfaatan tumbuhan dan satwa liar;
pemungutan hasil hutan bukan kayu;
pemanfaatan hutan bakau dan hutan pantai;
konservasi tanah dan air;
rehabilitasi dan reklamasi hutan; dan/atau
perlindungan dan konservasi alam.
KTH yang telah terbentuk wajib memiliki
nomor registrasi yang dikeluarkan oleh
kepala dinas provinsi yang menyelenggarakan urusan penyuluhan kehutanan.
[12]
Nomor registrasi yang dimaksud diperoleh melalui permohonan oleh ketua KTH kepada kepala dinas. Bagi KTH yang berada di dalam wilayah kawasan hutan yang dikelola oleh Perum Perhutani, permohonan tersebut disertai tembusan kepada
Kesatuan Pengelolaan Hutan Perhutani.
[13] Kepala dinas dalam waktu paling lama lima hari kerja sejak menerima surat permohonan registrasi memberikan nomor registrasi.
[14]
Uraian di atas menunjukkan bahwa sebuah kelompok petani tidak membutuhkan Surat Keputusan (SK) dari Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (“LHK”) untuk dapat menjadi suatu KTH. Sebuah kelompok petani hanya diwajibkan untuk memiliki nomor registrasi yang dikeluarkan oleh dinas provinsi setempat yang menyelenggarakan urusan penyuluhan kehutanan.
Izin Usaha Pemanfaatan Hutan Kemasyarakatan
Melalui Pasal 7 ayat (6) dan (7) PP 72/2010, PP 72/2010 telah mendorong Perum Perhutani agar bekerja sama dengan masyarakat sekitar dalam melaksanakan pengelolaan hutan dengan memperhatikan prinsip tata kelola perusahaan yang baik. Sayangnya, Anda tidak merinci bentuk kerja sama antara KTH dan Perum Perhutani yang dimaksud.
Perhutanan sosial adalah sistem pengelolaan hutan lestari yang dilaksanakan dalam kawasan hutan negara atau hutan hak/hutan adat yang dilaksanakan oleh masyarakat setempat atau masyarakat hukum adat sebagai pelaku utama untuk meningkatkan kesejahteraannya, keseimbangan lingkungan dan dinamika sosial budaya dalam bentuk hutan desa, HKm, HTR, HR, hutan adat dan
kemitraan kehutanan.
[15]
Ketua Gabungan KTH dimungkinkan oleh Permen LHK 83/2016 untuk mengajukan permohonan IUPHKm.
[16] IUPHKm adalah izin usaha yang diberikan kepada kelompok atau gabungan kelompok masyarakat setempat untuk memanfaatkan hutan pada kawasan hutan lindung dan atau kawasan hutan produksi.
[17] IUPHKm, salah satunya, diberikan pada
hutan lindung yang dikelola oleh Perum Perhutani.
[18]
Permohonan IUPHKm diajukan kepada Menteri LHK dengan tembusan kepada gubernur, bupati/walikota, kepala Unit Pelaksana Teknis, dan kepala KPH.
[19] Dalam hal hasil verifikasi telah memenuhi persyaratan paling lambat lima hari kerja sejak hasil verifikasi diterima, Direktur Jenderal Perhutanan Sosial dan Kemitraan Lingkungan
atas nama Menteri menerbitkan keputusan tentang pemberian IUPHKm.
[20]
Kemitraan Kehutanan
Kemitraan kehutanan adalah kerja sama antara masyarakat setempat dengan pengelola hutan, pemegang izin usaha pemanfaatan hutan/jasa hutan, izin pinjam pakai kawasan hutan, atau pemegang izin usaha industri primer hasil hutan.
[21]
Pengelola hutan atau pemegang izin
wajib melaksanakan pemberdayaan masyarakat setempat melalui kemitraan kehutanan. Pengelola hutan yang dimaksud, salah satunya, adalah
badan usaha milik negara atau badan usaha milik daerah pengelola hutan negara,
[22] sehingga Perum Perhutani termasuk pula pengelola hutan yang dimaksud.
Sedangkan, persyaratan masyarakat setempat calon mitra pengelola hutan atau pemegang izin harus memiliki:
[23]kartu tanda penduduk atau surat keterangan tempat tinggal dari Kepala Desa setempat yang membuktikan bahwa calon mitra bertempat tinggal di dalam dan/atau di sekitar areal pengelola hutan dan pemegang izin;
dalam hal masyarakat berada di dalam kawasan konservasi sebagai penggarap dibuktikan dengan areal garapan sebelum ditunjuk/ditetapkan kawasan konservasi berupa tanaman kehidupan berumur paling sedikit 20 tahun atau keberadaan situs budaya;
dalam hal masyarakat setempat berasal dari lintas desa, diberikan surat keterangan oleh camat setempat atau lembaga adat setempat;
mempunyai mata pencaharian pokok bergantung pada lahan garapan/pungutan hasil hutan bukan kayu di areal kerja pengelola hutan atau pemegang izin; dan
mempunyai potensi untuk pengembangan usaha padat karya secara berkelanjutan.
Pasal 44 ayat (1) Permen LHK 83/2016 menyatakan bahwa pengelola atau pemegang izin memohon kepada Menteri LHK untuk melakukan kemitraan dengan masyarakat setempat dengan tembusan kepada Direktur Jenderal Perhutanan Sosial dan Kemitraan Lingkungan dan gubernur. Berdasarkan laporan,
Menteri LHK melalui Direktur Jenderal Perhutanan Sosial dan Kemitraan Lingkungan memberikan persetujuan kemitraan kehutanan dengan mengikuti ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Permen LHK 83/2016.
[24] Menurut hemat kami, persetujuan tersebut dapat tercantum dalam suatu keputusan.
Berdasarkan uraian diatas, kelompok petani memang tidak memerlukan keputusan menteri untuk penetapannya sebagai KTH. Namun jika ingin mendapatkan izin usaha pemanfaatan maupun persetujuan kemitraan, kegiatan KTH harus berdasarkan keputusan Menteri LHK.
Demikian jawaban kami, semoga bermanfaat.
Dasar Hukum:
[1] Pasal 3 ayat (1) PP 72/2010
[2] Pasal 3 ayat (3) PP 72/2010
[3] Pasal 1 angka 6 PP 72/2010
[4] Pasal 11 ayat (1) PP 72/2010
[5] Pasal 11 ayat (2) PP 72/2010
[6] Pasal 11 ayat (3) PP 72/2010
[7] Pasal 7 ayat (6) dan (7) PP 72/2010
[8] Pasal 1 angka 1 Permen LHK 89/2018
[9] Pasal 2 Permen LHK 89/2018
[10] Pasal 3 dan Pasal 4 ayat (1) Permen LHK 89/2018
[11] Pasal 4 ayat (2) Permen LHK 89/2018
[12] Pasal 10
jo. Pasal 1 angka 15 Permen LHK 89/2018
[13] Pasal 11 ayat (1) dan (2) huruf b Permen LHK 89/2018
[14] Pasal 12 ayat (1) Permen LHK 89/2018
[15] Pasal 1 angka 1 Permen LHK 83/2016
[16] Pasal 19 ayat (1) huruf b Permen LHK 83/2016
[17] Pasal 1 angka 6 Permen LHK 83/2016
[18] Pasal 16 ayat (1) huruf b Permen LHK 83/2016
[19] Pasal 20 ayat (1) Permen LHK 83/2016
[20] Pasal 23 Permen LHK 83/2016
[21] Pasal 1 angka 9 Permen LHK 83/2016
[22] Pasal 40 ayat (1) dan (2) huruf f Permen LHK 83/2016
[23] Pasal 42 ayat (1) Permen LHK 83/2016
[24] Pasal 44 ayat (2) Permen LHK 83/2016