Bagaimana status suatu pasal yang dinyatakan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat oleh putusan Mahkamah Konstitusi (MK)? Apakah berdasarkan putusan MK itu kita dapat langsung mengabaikan pasal tersebut atau putusan MK harus diakomodasikan dalam perubahan UU terlebih dulu?
Daftar Isi
INTISARI JAWABAN
Secara singkat, terdapat 2 jenis putusan MK dalam judicial review. Pertama, putusan yang dapat dilaksanakan langsung tanpa harus dibuat peraturan baru atau perubahan. Kedua, putusan yang membutuhkan pengaturan lebih lanjut oleh DPR atau Presiden.
Oleh karenanya, apakah berdasarkan putusan MK dapat langsung mengabaikan bunyi pasal yang dinyatakan bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat?
Penjelasan lebih lanjut dapat Anda baca ulasan di bawah ini.
Artikel di bawah ini adalah pemutakhiran dari artikel dengan judul Pelaksanaan Putusan Mahkamah Konstitusi yang dibuat oleh Ali Salmande, S.H. dan pertama kali dipublikasikan pada Senin, 31 Mei 2010.
Belajar Hukum Secara Online dari Pengajar Berkompeten Dengan Biaya TerjangkauMulai DariRp. 149.000
Seluruh informasi hukum yang ada di Klinik hukumonline.com disiapkan semata – mata untuk tujuan pendidikan dan bersifat umum (lihat Pernyataan Penyangkalan selengkapnya). Untuk mendapatkan nasihat hukum spesifik terhadap kasus Anda, konsultasikan langsung dengan Konsultan Mitra Justika.
Sifat Putusan MK
Mahkamah Konstitusi (“MK”) merupakan salah satu lembaga negara Indonesia yang menjalankan kekuasaan kehakiman. Salah satu kewenangan MK adalah melakukan pengujian undang-undang terhadap UUD 1945 yang disebut juga dengan judicial review. MK berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final.[1] Hal ini berarti putusan MK telah memiliki kekuatan hukum mengikat sejak dibacakan dalam persidangan MK.
Kewenangan MK untuk membatalkan norma dalam undang-undang menjadikan MK juga disebut sebagai negative legislator, yakni lembaga yang berwenang menghapus atau membatalkan norma dalam undang-undang apabila bertentangan dengan UUD 1945.[2] MK tidak berwenang untuk membentuk norma baru karena hal tersebut merupakan kewenangan lembaga legislatif atau positive legislator. Oleh karenanya, apabila terdapat putusan MK yang menyatakan suatu bagian, pasal, atau ayat dalam undang-undang bertentangan dengan UUD 1945, maka bagian, pasal, atau ayat itu tidak memiliki daya guna (efficacy) tapi tetap berlaku/tertulis.[3]
Menurut Maria Farida Indrati S, dalam hal putusan judicial review dikabulkan oleh MK, maka bagian, pasal, atau ayat yang bertentangan dengan UUD 1945 masih memiliki daya laku (validity) sampai dinyatakan dicabut oleh lembaga yang berwenang tetapi tidak memiliki daya guna (efficacy).[4] Tidak memiliki daya guna dapat diartikan bahwa pasal tersebut tidak lagi efektif digunakan atau tidak dapat digunakan lagi. Oleh karenanya, pasal yang bertentangan dapat diabaikan dengan mendasarkan pada putusan MK.
Sejalan dengan hal tersebut, Pasal 57 ayat (1) UU 7/2020 menyebutkan putusan MK yang amar putusannya menyatakan bahwa materi muatan ayat, pasal, dan/atau bagian undang-undang bertentangan dengan UUD 1945, maka materi muatan ayat, pasal, dan/atau bagian undang-undang tersebut tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat.
Tindak Lanjut Putusan MK
Lebih lanjut, Muchamad Ali Safa’at menjelaskan bahwa pelaksanaan putusan MK dapat dibagi menjadi 2 yaitu pertama, putusan yang dapat dilaksanakan langsung tanpa harus dibuat peraturan baru atau perubahan serta kedua, putusan yang membutuhkan pengaturan lebih lanjut terlebih dahulu.[5]
Putusan yang dapat dilaksanakan langsung (self-executing) adalah putusan membatalkan norma tertentu yang tidak mengganggu sistem norma yang ada dan tidak memerlukan pengaturan lebih lanjut. Contohnya adalah Putusan MK No. 013-022/PUU-IV/2006 yang menyatakan pasal penghinaan presiden atau wakil presiden dalam KUHP dinyatakan bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat. Artinya pasal ini dapat langsung diabaikan meski masih berlaku dalam undang-undang. Kemudian, terdapat pula putusan yang pelaksanaannya membutuhkan aturan lebih lanjut (self-implementing), yaitu putusan yang membatalkan suatu norma tertentu yang mempengaruhi sistem norma yang ada sehingga memerlukan pengaturan lebih lanjut.[6] Contohnya adalah Putusan MK No. 91/PUU-XVIII/2020 yang memutuskan bahwa UU 11/2020 tentang Cipta Kerja dinyatakan inkonstitusional bersyarat.
Kendati demikian, Pasal 10 ayat (1) huruf d UU 12/2011 mengatur bahwa salah satu materi muatan yang harus diatur oleh undang-undang adalah berisi tindak lanjut atas putusan MK, yang mana harus dilakukan oleh DPR atau Presiden.
Oleh karenanya untuk menjamin kepastian hukum, DPR atau Presiden sebagai lembaga negara yang berwenang membentuk undang-undang harus menindaklanjuti putusan MK. DPR atau Presiden seyogyanya harus mengakomodir putusan MK dengan melakukan perubahan undang-undang sebagai upaya penyesuaian substansi undang-undang yang terdampak dari putusan MK.
Adena Fitri Puspitasari dan Purwono Sungkono Raharjo, Mahkamah Konstitusi sebagai Negative Legislator dan Positive Legislator, Souvereignty: Jurnal Demokrasi dan Ketahanan Nasional, Vol. 1, No. 4, 2022;
Maria Farida Indrati S, Ilmu Perundang-Undangan 1: Jenis, Fungsi, dan Materi Muatan, Yogyakarta: Kanisius, 2020;
Syukri Asy’ari, Meyrinda Rahmawaty Hilipito, dan Mohammad Mahrus Ali, Model dan Implementasi Putusan Mahkamah Konstitusi dalam Pengujian Undang-Undang (Studi Putusan Tahun 2003-2012), Jurnal Konstitusi Vol. 10 No. 4, 2013;
[6] Syukri Asy’ari, Meyrinda Rahmawaty Hilipito, dan Mohammad Mahrus Ali, Model dan Implementasi Putusan Mahkamah Konstitusi dalam Pengujian Undang-Undang (Studi Putusan Tahun 2003-2012), Jurnal Konstitusi Vol. 10 No. 4, 2013, hal. 676