Bagaimana caranya membuktikan perjanjian tidak tertulis di hadapan pengadilan?
Daftar Isi
INTISARI JAWABAN
Pembuktian perjanjian tidak tertulis di hadapan pengadilan dapat dilakukan dengan membawa lebih dari satu alat bukti lain seperti keterangan saksi, persangkaan, pengakuan, atau sumpah. Apa dasar hukumnya?
Penjelasan lebih lanjut dapat Anda baca ulasan di bawah ini.
Artikel di bawah ini adalah pemutakhiran dari artikel dengan judul Tentang Pembuktian Perjanjian Tidak Tertulis yang dibuat oleh Albert Aries, S.H., M.H.dan pertama kali dipublikasikan pada 29 Mei 2013.
Seluruh informasi hukum yang ada di Klinik hukumonline.com disiapkan semata – mata untuk tujuan pendidikan dan bersifat umum (lihat Pernyataan Penyangkalanselengkapnya). Untuk mendapatkan nasihat hukum spesifik terhadap kasus Anda, konsultasikan langsung dengan Konsultan Mitra Justika.
Keabsahan Perjanjian Tidak Tertulis
Belajar Hukum Secara Online dari Pengajar Berkompeten Dengan Biaya TerjangkauMulai DariRp. 149.000
Sebelum menjawab pokok pertanyaan Anda, terlebih dahulu kami akan mengulas apakah perjanjian tidak tertulis sah menurut hukum? Dalam KUH Perdata, suatu perjanjian tidak harus dalam bentuk tertulis. Sebab, keabsahan dari suatu perjanjian didasarkan pada empat hal saja yaitu:[1]
Berdasarkan uraian di atas, maka secara umum tidak ada kewajiban untuk membuat perjanjian dalam bentuk tertulis. Namun, undang-undang terkadang membuat pengecualian terhadap beberapa bentuk perjanjian agar dibentuk secara tertulis, antara lain:[2]
Perjanjian hibah kecuali hibah hak atas tanah, dalam bentuk akta notaris;
Perjanjian pemberian kuasa untuk memasang hipotek atas kapal, dalam bentuk akta notaris;
Perjanjian subrogasi, dalam bentuk akta notaris;
Perjanjian pemberian kuasa membebankan hak tanggungan, dalam bentuk akta pejabat pembuat akta tanah;
Perjanjian jaminan fidusia, dalam bentuk akta notaris.
Oleh karena itu, pembahasan ini akan didasarkan pada asumsi bahwa perjanjian yang akan dibuktikan di hadapan pengadilan bukanlah perjanjian yang harus dibentuk dalam bentuk tertulis.
Cara Membuktikan Perjanjian Tidak Tertulis
Dalam perkara perdata, sering kali bukti tulisan seperti perjanjian dalam bentuk tertulis yang diajukan oleh para pihak ke pengadilan untuk menegakkan hak mereka.
Namun, perlu diketahui bahwa dalam pembuktian perkara perdata, Anda dapat menggunakan lima jenis alat bukti berupa:[3]
bukti tulisan;
keterangan saksi;
persangkaan;
pengakuan;
Berdasarkan jenis alat bukti di atas, maka terdapat opsi lain selain bukti tulisan, seperti keterangan saksi, persangkaan, pengakuan, atau sumpah untuk membuktikan adanya perjanjian di antara para pihak.
Selain itu, pada dasarnya pengadilan harus memutus suatu perkara tanpa mengesampingkan prinsip unus testis nullus testis, yaitu bahwa suatu keterangan saksi yang tidak diperkuat alat bukti lain tidak boleh dipercaya oleh Majelis Hakim sebagai suatu kebenaran.[4]
Sehingga, dalam membuktikan suatu perjanjian tidak tertulis di depan pengadilan, maka tidak mutlak harus dibuktikan berdasarkan alat bukti surat. Namun, dapat dengan menghadirkan keterangan saksi dengan alat bukti lainnya seperti pengakuan dari para pihak yang melakukan perjanjian atau adanya bukti persangkaan lain seperti bukti transfer atau dokumen terkait pelaksanaan perjanjian.
Bukti elektronik seperti rekaman suara, foto, video, voice note, maupun surel juga dapat juga digunakan sebagai alat bukti di pengadilan. Hal ini ditegaskan di dalam Pasal 5 ayat (1) UU 1/2024yang menyatakan bahwa informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik dan/atau hasil cetaknya merupakan alat bukti hukum yang sah.
Keberadaan informasi dan/atau dokumen elektronik mengikat dan diakui sebagai alat bukti yang sah untuk memberikan kepastian hukum terhadap penyelenggaraan sistem elektronik dan transaksi elektronik, terutama dalam pembuktian dan hal yang berkaitan dengan perbuatan hukum yang dilakukan melalui sistem elektronik.[5]
Informasi dan/atau dokumen elektronik dan/atau hasil cetaknya tersebut merupakan perluasan dari alat bukti yang sah sesuai dengan hukum acara yang berlaku di Indonesia.[6]
Namun perlu dicatat bahwa khusus untuk informasi dan/atau dokumen elektronik berupa hasil intersepsi atau penyadapan atau perekaman yang merupakan bagian dari penyadapan harus dilakukan dalam rangka penegakan hukum atas permintaan kepolisian, kejaksaan, dan/atau institusi lainnya yang kewenangannya ditetapkan berdasarkan undang-undang.[7]