Saya mau tanya perihal penyitaan aset/harta milik terpidana korupsi. Aset yang saya maksud ini atas nama istrinya dan perolehan aset/harta pada tahun 2015 pada saat sudah menikah. Sedangkan kasus yang menimpa suaminya muncul di tahun 2019. Adakah kemungkinan hakim menyita aset tersebut yang atas nama istrinya dan tidak ada hubungan dengan tindak pidananya?
Daftar Isi
INTISARI JAWABAN
Perampasan aset atau harta kekayaan milik terpidana kasus korupsi bertujuan untuk mencegah hilangnya harta kekayaan akibat dari tindak kejahatan dan sebagai bentuk ganti kerugian keuangan negara.
Aset dan harta kekayaan yang bukan dari hasil tindak pidana korupsi tidak dapat disita dan dirampas negara, melainkan apabila seseorang tidak dapat membuktikan bahwa aset atau harta kekayaan miliknya bukan berasal dari hasil tindak pidana korupsi dan setelah diselidiki dianggap tidak seimbang dengan penghasilan dari mata pencahariannya, maka aset dan harta kekayaannya dapat dirampas untuk negara berdasarkan putusan Hakim yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap (inkracht), sebagai bentuk pemulihan keuangan negara atau sebagai pidana tambahan.
Penjelasan lebih lanjut dapat Anda baca ulasan di bawah ini.
ULASAN LENGKAP
Terima kasih atas pertanyaan Anda.
Seluruh informasi hukum yang ada di Klinik hukumonline.com disiapkan semata ā mata untuk tujuan pendidikan dan bersifat umum (lihat Pernyataan Penyangkalan selengkapnya). Untuk mendapatkan nasihat hukum spesifik terhadap kasus Anda, konsultasikan langsung dengan Konsultan Mitra Justika.
Menurut Pasal 499 KUHPerdata aset adalahtiap benda dan tiap hak yang dapat menjadi objek dari hak milik.
Belajar Hukum Secara Online dari Pengajar Berkompeten Dengan Biaya TerjangkauMulai DariRp. 149.000
Istilah aset menurut Pasal 1 angka 13 UU TPPU, disebut juga sebagai harta kekayaan yang pengertiannya adalah sebagai berikut:
Harta kekayaan adalah semua benda bergerak atau benda tidak bergerak, baik yang berwujud maupun tidak berwujud, yang diperoleh baik secara langsung maupun tidak langsung.
Sebelum menjawab pertanyaan Anda, perlu kami luruskan bahwa yang berwenang menyita aset bukanlah hakim, melainkan penyidik. Sedangkan hakim berwenang untuk melakukan perampasan.
Penyitaan adalah serangkaian tindakan penyidik untuk mengambil alih dan atau menyimpan di bawah penguasaannya benda bergerak atau tidak bergerak, berwujud atau tidak berwujud untuk kepentingan pembuktian dalam penyidikan, penuntutan dan peradilan.
Lantas apa itu perampasan aset? Istilah perampasan diatur di dalam Pasal 18 ayat 1 huruf a UU Tipikoryangberbunyi:
Perampasan barang bergerak yang berwujud atau yang tidak berwujud atau barang tidak bergerak yang digunakan untuk atau yang diperoleh dari tindak pidana korupsi, termasuk perusahaan milik terpidana di mana tindak pidana korupsi dilakukan, begitu pula dari barang yang menggantikan barang-barang tersebut.
Pasal 38 B ayat 2 UU 20/2001, perampasan aset dapat dilakukan sebagai berikut:
Dalam hal Terdakwa tidak dapat membuktikan bahwa harta benda sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diperoleh bukan karena tindak pidana korupsi, harta benda tersebut dianggap diperoleh juga dari tindak pidana korupsi dan hakim berwenang memutuskan seluruh atau sebagian harta benda tersebut dirampas untuk negara.
Dengan demikian, penyitaan aset korupsi atau harta kekayaan merupakan upaya paksa dari tindakan penyidik yang bertujuan untuk mencegah hilangnya harta kekayaan negara akibat tindak kejahatan.
Sedangkan perampasan aset atau harta kekayaan yang disita dari hasil tindak pidana korupsi berdasarkan putusan hakim yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap yang merupakan upaya pengembalian kerugian keuangan negara atau sebagai pidana tambahan.
Jenis Aset Koruptor yang Dapat Dirampas oleh Negara
Harta kekayaan atau barang yang dapat disita menurut Pasal 39 ayat 1 KUHAP adalah sebagai berikut:
Benda atau tagihan tersangka atau terdakwa yang seluruh atau sebagian diduga diperoleh dari tindakan pidana atau sebagai hasil dari tindak pidana;
Benda yang telah dipergunakan secara langsung untuk melakukan tindak pidana atau untuk mempersiapkannya;
Benda yang dipergunakan untuk menghalang-halangi penyidikan tindak pidana;
Benda yang khusus dibuat atau diperuntukkan melakukan tindak pidana;
Benda lain yang mempunyai hubungan langsung dengan tindak pidana yang dilakukan.
Adapun menurut Bahder Johan Nasution, harta benda selain dari hasil tindak pidana korupsi yang dapat dirampas adalah harta benda seseorang atau suatu badan yang dengan sengaja tidak diterangkan olehnya atau oleh pengurusnya, harta yang tidak jelas siapa pemiliknya dan harta benda seseorang yang kekayaannya setelah diselidiki dianggap tidak seimbang dengan penghasilan mata pencahariannya.[1]
Setelah dilakukan perampasan, lantas kemana uang sitaan korupsi? Perlu diketahui bahwa dalam perkara tindak pidana korupsi, dikenal juga dengan istilah pengembalian aset atau asset recovery yang bertujuan untuk membekukan atau mengembalikan aset yang di dapat dari hasil kegiatan tindak kejahatan atau melawan hukum.
Adapun perampasan aset harus berdasarkan putusan pengadilan yang tertuang dalam amar putusan dengan penetapan pidana tambahan berupa pembayaran uang pengganti sejumlah atau senilai yang dinikmati oleh terpidana. Berdasarkan Pasal 18 ayat 2 UU Tipikor, dalam jangka waktu 1 bulan sejak putusan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap, maka aset atau harta kekayaan dapat disita oleh jaksa dan dilelang untuk menutupi uang pengganti guna pengembalian aset dalam kerugian negara.
Sebagai contoh dalam praktik kasus korupsi Jiwasraya dalam kurun waktu 10 tahun sejak 2008-2018, aset koruptor disita oleh jaksa sebesar Rp18,4 triliun. Sedangkan hasil audit dari Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) jumlah kerugian negara sebesar Rp16,8 triliun.
Jumlah harta yang disita lebih besar dari jumlah kerugian negara dengan tujuan agar aset atau harta yang disita tersebut nantinya akan dimintakan ke pengadilan untuk dirampas negara dan dikembalikan ke Jiwasraya untuk membayar ganti kerugian dan pengembalian uang nasabah Jiwasraya.
Berdasarkan permasalahan yang Anda sampaikan, aset atau harta kekayaan yang dimiliki atas nama istri selama perkawinan sejak tahun 2015 sampai tahun 2019, atau sebelum terjadinya tindak pidana korupsi yang diduga dilakukan oleh suami, maka aset tersebut tidak dapat dirampas untuk negara.
Hal ini juga ditegaskan di dalam Pasal 19 ayat (1) UU Tipikor bahwa pengadilan tidak dapat menjatuhkan putusan perampasan barang yang bukan milik terdakwa korupsi jika hak pihak ketiga yang beriktikad baik akan dirugikan.
Akan tetapi jika aset tersebut didapat setelah tahun 2019 sebagai hasil dari tindak pidana korupsi dan tidak dapat dibuktikan sebaliknya serta setelah diselidiki dianggap tidak seimbang dengan penghasilan mata pencaharian, maka jaksa berdasarkan perintah hakim dalam putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap (inkracht) dapat melakukan perampasan aset sebagai bentuk pengembalian terhadap kerugian negara yang timbul akibat dari tindak pidana korupsi.