Arti Sumpah Decisoir, Suppletoir, dan Aestimatoire
Bacaan 20 Menit
PERTANYAAN
Ada yang bisa menjelaskan suppletoir, aestimatoire, dan decisoir?
Pro
Pusat Data
Koleksi peraturan perundang-undangan dan putusan pengadilan yang sistematis serta terintegrasi
Solusi
Wawasan Hukum
Klinik
Tanya jawab gratis tentang berbagai isu hukum
Berita
Informasi dan berita terkini seputar perkembangan hukum di Indonesia
Jurnal
Koleksi artikel dan jurnal hukum yang kredibel untuk referensi penelitian Anda
Event
Informasi mengenai seminar, diskusi, dan pelatihan tentang berbagai isu hukum terkini
Klinik
Berita
Login
Pro
Layanan premium berupa analisis hukum dwibahasa, pusat data peraturan dan putusan pengadilan, serta artikel premium.
Solusi
Solusi kebutuhan dan permasalahan hukum Anda melalui pemanfaatan teknologi.
Wawasan Hukum
Layanan edukasi dan informasi hukum tepercaya sesuai dengan perkembangan hukum di Indonesia.
Catalog Product
Ada Pertanyaan? Hubungi Kami
Bacaan 20 Menit
Ada yang bisa menjelaskan suppletoir, aestimatoire, dan decisoir?
Intisari:
Suppletoir, Aestimatoire, dan Decisoir merupakan tiga istilah yang dapat kita temukan dalam Hukum Acara Perdata. Ketiga istilah ini merupakan klasifikasi sumpah sebagai salah satu alat bukti.
Decisoir/sumpah pemutus yaitu sumpah yang oleh pihak satu (boleh penggugat atau tergugat) diperintahkan kepada pihak yang lain untuk menggantungkan pemutusan perkara atas pengucapan atau pengangkatan sumpah.
Suppletoir/sumpah tambahan yaitu sumpah tambahan atas perintah hakim kepada salah satu pihak yang berperkara supaya dengan sumpah itu dapat diputuskan perkara itu atau dapat ditentukan jumlah uang yang dikabulkan.
Aestimatoire/sumpah penaksir adalah sumpah yang diterapkan untuk menentukan jumlah ganti rugi atau harga barang yang digugat.
Penjelasan lebih lanjut dapat Anda simak dalam ulasan di bawah ini.
|
Ulasan:
Terima kasih atas pertanyaan Anda.
Suppletoir, Aestimatoire, dan Decisoir merupakan tiga istilah yang dapat kita temukan dalam Hukum Acara Perdata. Ketiga istilah ini merupakan klasifikasi sumpah, dimana sumpah dikenal sebagai salah satu alat bukti yang diakui dalam Hukum Acara Perdata.
Alat Bukti dalam Hukum Acara Perdata
Pasal 1865 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (“KUH Perdata”) mengatur mengenai pembuktian:
Setiap orang yang mendalilkan bahwa ia mempunyai sesuatu hak, atau, guna mengeguhkan haknya sendiri maupun membantah suatu hak orang lain, menunjuk pada suatu peristiwa, diwajibkan membuktikan adanya hak atau peristiwa tersebut.
Alat bukti terdiri dari:[1]
a. Bukti tulisan;
b. Bukti dengan saksi-saksi;
c. Persangkaan-persangkaan;
d. Pengakuan; dan
e. Sumpah.
Yahya Harahap dalam bukunya Hukum Acara Perdata tentang Gugatan, Persidangan, Penyitaan, Pembuktian, dan Putusan Pengadilan (hal. 745) menjelaskan bahwa sumpah sebagai alat bukti adalah suatu keterangan atau pernyataan yang dikuatkan atas nama Tuhan, dengan tujuan:
a. Agar orang yang bersumpah dalam memberi keterangan atau pernyataan itu, takut atas murka Tuhan apabila dia berbohong;
b. Takut kepada murka atau hukuman Tuhan dianggap sebagai daya pendorong bagi yang bersumpah untuk menerangkan yang sebenarnya.
Sumpah Decisoir, Suppletoir, dan Aestimatoire
Yahya (hal. 750) menjelaskan bahwa dalam Pasal 1929 KUH Perdata diatur mengenai klasifikasi sumpah yang terdiri dari:
a. Sumpah pemutus (decisoir eed);
b. Sumpah tambahan (suppletoir eed); dan
c. Sumpah penaksir (aestimatoire eed).
1. Sumpah Pemutus (Decisoir eed)
Sumpah decisoir disebut juga sumpah pemutus, ada juga yang mempergunakan istilah sumpah menentukan, yaitu sumpah yang oleh pihak yang satu (boleh penggugat atau tergugat) diperintahkan kepada pihak yang lain untuk menggantungkan pemutusan perkara atas pengucapan atau pengangkatan sumpah. Sumpah inilah yang disebut sumpah pemutus, yaitu:[2]
a. merupakan sumpah yang diucapkan oleh salah satu pihak atas perintah atau permintaan pihak lawan;
b. pihak yang memerintahkan atau meminta mengucapkan sumpah disebut deferent, yaitu orang atau pihak yang memerintahkan sumpah pemutus, sedangkan pihak yang diperintahkan bersumpah disebut delaat atau gedefereerde.
Makna sumpah pemutus yakni memiliki daya kekuatan memutuskan perkara atau mengakhiri perselisihan. Jadi, sumpah pemutus ini mempunyai sifat dan daya litis decisoir, yang berarti pengucapan sumpah pemutus:[3]
a. dengan sendirinya mengakhiri proses pemeriksaan perkara;
b. diikuti dengan pengambilan dan menjatuhkan putusan berdasarkan ikrar sumpah yang diucapkan;
c. dan undang-undang melekatkan kepada sumpah pemutus tersebut nilai kekuatan pembuktian sempurna, mengikat, dan menentukan.
Ruang lingkup penerapan sumpah pemutus Pasal 1930 KUH Perdata:
a. meliputi segala sengketa;
b. dapat diperintahkan dalam segala jenis sengketa.
Sumpah pemutus dapat diperintahkan:[4]
1. dalam persengketaan apa pun juga, kecuali dalam hal kedua belah pihak tidak dapat mengadakan suatu perdamaian atau dalam hal pengakuan mereka tidak boleh diperhatikan.
2. pada setiap tingkatan perkara, bahkan dalam hal tidak ada upaya pembuktian apa pun untuk membuktikan tuntutan atau tangkisan yang memerlukan pengambilan sumpah itu.
Hal serupa juga dikatakan oleh Yahya, pasal ini sendiri membatasi sepanjang sengketa yang tidak dibenarkan penyelesaiannya melalui perdamaian, yakni berkenaan dengan status hukum seseorang atau yang menyangkut dengan hukum keluarga seperti sengketa di bidang perkawinan.[5]
Syarat formil sumpah pemutus sebagai alat bukti adalah:[6]
a. Tidak ada bukti apapun
Syarat ini disebut pada Pasal 1930 ayat (2) KUH Perdata dan Pasal 156 ayat (1) Herzien Inlandsch Reglement. Sumpah pemutus merupakan alat bukti untuk memperkuat dalil gugatan atau bantahan jika sama sekali tidak ada upaya lain untuk membuktikannya dengan alat bukti lain. Kalau ada alat bukti lain, tidak ada dasar alasan untuk memerintahkannya.[7]
b. Inisiatif berada pada pihak yang memerintahkan
Syarat ini disebut pada Pasal 1929 ayat (1) KUH Perdata dan Pasal 156 ayat (1) Herzien Inlandsch Reglement (“HIR”). Sumpah pemutus merupakan sumpah yang oleh pihak yang satu diperintahkan kepada pihak yang lain untuk menggantungkan putusan perkara padanya. Itu sebabnya, sumpah pemutus disebut juga sumpah pihak karena inisiatif atau prakarsanya datang dari pihak yang berperkara atau berada di tangan pihak yang memerintahkan.[8]
2. Sumpah Tambahan (Suppletoir eed)
Sumpah tambahan ini diatur dalam Pasal 1940 KUH Perdata:
Hakim, karena jabatannya, dapat memerintahkan salah satu pihak yang berperkara untuk mengangkat sumpah, supaya dengan sumpah itu dapat diputuskan perkara itu atau dapat ditentukan jumlah uang yang dikabulkan.
Yahya menjelaskan (hal. 767) bahwa syarat formil sumpah tambahan adalah:
a. Alat bukti yang diajukan tidak mencukupi
Inilah syarat utama. Harus ada lebih dahulu permulaan pembuktian sebagai landasan menerapkan sumpah tambahan. Dengan demikian, sumpah tambahan tidak dapat berdiri sendiri sebagai alat bukti. Baru dapat didirikan apabila ada permulaan pembuktian.[9]
b. Atas perintah hakim[10]
Sumpah tambahan harus atas perintah hakim berdasrkan jabatannya. Hakim yang berwenang menilai dan mempertimbangkan apakah perlu atau tidak diperintahkan pengucapan sumpah tambahan.[11]
3. Sumpah Penaksir (Aestimatoire eed)
Yahya (hal. 775) menyebutkan sumpah ini diatur dalam kalimat terakhir Pasal 155 ayat (1) HIR dan Pasal 1940 KUH Perdata. Yahya menjelaskan bahwa sumpah penaksir merupkan salah satu alat bukti sumpah yang secara khusus diterapkan untuk menentukan berapa jumlah nilai ganti rugi atau harga barang yang digugat oleh penggugat.
Apabila dalam persidangan penggugat tidak mampu membuktikan berapa jumlah ganti rugi yang sebenarnya atau berapa nilai harga barang yang dituntutnya, begitu juga tergugat tidak mampu membuktikan bantahannya berapa ganti rugi atau harga barang yang sebenarnya, taksiran atas ganti rugi atau harga barang itu dapat ditentukan melalui pembebanan sumpah penaksir.[12]
Tujuan dari sumpah ini untuk menetapkan berapa jumlah ganti rugi atau harga yang akan dikabulkan. Jadi, penerapan sumpah ini baru dapat dilakukan apabila sama sekali tidak ada bukti dari kedua belah pihak yang dapat membuktikan jumlah yang sebenarnya. Kalau ada bukti, sumpah penaksir tidak boleh diterapkan.[13]
Yahya menjelaskan (hal. 776) bahwa syarat formil utama agar sumpah penaksir dapat diterapkan:
a. Apabila penggugat telah mampu membuktikan haknya atas dalil pokok gugatan;
b. Karena sumpah penaksir tersebut asesor kepada hak yang menimbulkan adanya tuntutan atas sejumlah ganti rugi atau sejumlah harga barang, maka selama belum dapat dibuktikannya hak, tidaklah mungkin menuntut ganti rugi atau harga barang.
Jadi menjawab pertanyaan Anda, bahwa Decisoir, Suppletoir, dan Aestimatoire merupakan klasifikasi sumpah sebagai alat bukti dalam hukum acara perdata. Decisoir dapat disebut dengan sumpah pemutus, suppletoir disebut dengan sumpah tambahan dan aestimatoire adalah sumpah penaksir.
Demikian jawaban dari kami, semoga bermanfaat.
Dasar hukum:
Kitab Undang-Undang Hukum Perdata.
Referensi:
Harahap, Yahya. 2016. Pembahasan Hukum Acara Perdata tentang Gugatan, Persidangan, Penyitaan, Pembuktian, dan Putusan Pengadilan. Jakarta: Sinar Grafika.
[1]Pasal 1866 KUH Perdata
[2] Yahya Harahap, hal. 750
[3] Yahya Harahap, hal. 750
[4] Pasal 1930 KUH Perdata
[5] Yahya Harahap, hal. 752 dan Pasal 1930 KUHPerdata
[6] Yahya Harahap, hal. 753-754
[7] Pasal 1930 ayat (2) KUHPerdata
[8] Yahya Harahap, hal. 754
[9] Pasal 1941 KUH Perdata
[10] Pasal 1929 jo. Pasal 1940 KUHPerdata
[11] Pasal 1929 ayat (2) jo. Pasal 1940 KUH Perdata
[12] Yahya Harahap, hal. 775
[13] Yahya Harahap, hal. 776
KLINIK TERBARU
Dapatkan info berbagai lowongan kerja hukum terbaru di Indonesia!
Butuh lebih banyak artikel?