Hak substitusi merupakan salah satu bentuk pemberian kuasa. Diatur dalam Pasal 1803 KUH Perdata, pada dasarnya arti hak substitusi adalah hak untuk menunjuk kuasa pengganti, yaitu ketika penerima kuasa menunjuk orang lain untuk menggantikan dirinya dalam melaksanakan kuasa.
Penjelasan lebih lanjut dapat Anda baca ulasan di bawah ini.
ULASAN LENGKAP
Terima kasih atas pertanyaan Anda.
Sebelum menjawab pokok pertanyaan Anda mengenai arti hak substitusi, ada baiknya kita pahami terlebih dahulu pengertian pemberian kuasa.
Pemberian kuasa secara khusus diatur dalam Pasal 1792KUH Perdata yang berbunyi:
Pemberian kuasa ialah suatu persetujuan yang berisikan pemberian kekuasaan kepada orang lain yang menerimanya untuk melaksanakan sesuatu untuk dan atas nama orang yang memberikan kuasa.
Belajar Hukum Secara Online dari Pengajar Berkompeten Dengan Biaya TerjangkauMulai DariRp. 149.000
Menurut R. Soebekti sebagaimana dikutip Nurun Ainuddin, pemberian kuasa adalah suatu perjanjian di mana pihak yang satu memberikan perintah kepada pihak yang lain untuk melakukan suatu perbuatan hukum.[1]
Dari definisi tersebut, dapat dilihat 3 unsur pemberian kuasa:
Perjanjian;
Memberikan kekuasaan kepada penerima kuasa;
Menyelenggarakan urusan untuk dan atas nama pemberi kuasa.
Adapun sifat dari pemberian kuasa adalah perwakilan, mengingat tindakan penerima kuasa adalah untuk melakukan tindakan untuk dan atas nama pemberi kuasa.[2]
Pada dasarnya, hak substitusi merupakan salah satu bentuk pemberian kuasa.
Pemberian kuasa dengan hak substitusi terdapat dalam Pasal 1803 KUH Perdata, yang berbunyi:
Penerima kuasa bertanggung jawab atas orang lain yang ditunjuknya sebagai penggantinya dalam melaksanakan kuasanya:
Bila tidak diberikan kuasa untuk menunjuk orang lain sebagai penggantinya.
Bila kuasa itu diberikan tanpa menyebutkan orang tertentu sedangkan orang yang dipilihnya ternyata orang yang tidak cakap atau tidak mampu. Pemberi kuasa senantiasa dianggap telah memberi kuasa kepada penerima kuasanya untuk menunjuk seorang lain sebagai penggantinya untuk mengurus barang-barang yang berada di luar wilayah Indonesia atau di luar pulau tempat tinggal pemberi kuasa. Pemberi kuasa dalam segala hal, dapat secara langsung mengajukan tuntutan kepada orang yang telah ditunjuk oleh penerima kuasa sebagai penggantinya.
Sederhananya, hak substitusi adalah hak untuk menunjuk kuasa pengganti, dalam hal ini penerima kuasa memberikan haknya kepada orang lain agar orang lain tersebut dapat mewakilkan pemberi kuasa dalam melakukan suatu tindakan hukum.
Hak substitusi kerap digunakan dalam dunia advokat, yaitu ketika seorang advokat mengalihkan kuasa yang diberikan kliennya kepada kuasa lain (advokat lain).
Alasan penggunaan hak substitusi adalah agar advokat lain dapat membantu advokat penerima kuasa (dari klien) yang berhalangan dalam melaksanakan kuasanya, baik untuk melakukan pengurusan maupun menghadiri persidangan di pengadilan.
Menurut M. Yahya Harahap, pemberi hak substitusi harus menuliskan hak dan kewenangan secara tegas dalam surat kuasa, yaitu berupa klausula dalam surat kuasa yang berisi pernyataan bahwa penerima kuasa dapat melimpahkan kuasa itu kepada seorang atau beberapa orang yang bertindak sebagai kuasa substitusi.[3]
Hal ini untuk memastikan bahwa kuasa substitusi yang ditunjuk memiliki kredibilitas dan profesionalitas yang diperlukan.
Seluruh informasi hukum yang ada di Klinik hukumonline.com disiapkan semata – mata untuk tujuan pendidikan dan bersifat umum (lihat Pernyataan Penyangkalan selengkapnya). Untuk mendapatkan nasihat hukum spesifik terhadap kasus Anda, konsultasikan langsung dengan Konsultan Mitra Justika.
Yahya Harahap. Segi-Segi Hukum Perjanjian. Cet.ke-2. (Bandung: Alumni), 1986;
Yahya Harahap. Hukum Acara Perdata tentang Gugatan, Persidangan, Penyitaan, Pembuktian, dan Putusan Pengadilan. (Jakarta: Sinar Grafika), 2005;
Nurun Ainuddin. Hak Substitusi pada Pemberian Kuasa Beserta Tanggung Jawab Hukumnya. Jurnal Hukum Jatiswara. Vol. 30 No. 1, April 2015.
[1] Nurun Ainuddin, Hak Substitusi pada Pemberian Kuasa Beserta Tanggung Jawab Hukumnya, Jurnal Hukum Jatiswara, Vol. 30 No. 1, April 2015, hal. 167
[2] M. Yahya Harahap, Segi-Segi Hukum Perjanjian, cet.ke-2 (Bandung: Alumni, 1986), hal. 306.
[3] M. Yahya Harahap, Hukum Acara Perdata tentang Gugatan, Persidangan, Penyitaan, Pembuktian, dan Putusan Pengadilan. (Jakarta: Sinar Grafika, 2005), hal. 23