Apakah Surat Bermaterai Dapat Menghilangkan Pertanggungjawaban Pidana?
Bacaan 14 Menit
PERTANYAAN
Apakah surat bermaterai yang mengatakan �pihak keluarga tidak akan menuntut apabila ada kerugian fisik atau jiwa� bisa menghilangkan tuntutan pidana?
Pro
Pusat Data
Koleksi peraturan perundang-undangan dan putusan pengadilan yang sistematis serta terintegrasi
Solusi
Wawasan Hukum
Klinik
Tanya jawab gratis tentang berbagai isu hukum
Berita
Informasi dan berita terkini seputar perkembangan hukum di Indonesia
Jurnal
Koleksi artikel dan jurnal hukum yang kredibel untuk referensi penelitian Anda
Event
Informasi mengenai seminar, diskusi, dan pelatihan tentang berbagai isu hukum terkini
Klinik
Berita
Login
Pro
Layanan premium berupa analisis hukum dwibahasa, pusat data peraturan dan putusan pengadilan, serta artikel premium.
Solusi
Solusi kebutuhan dan permasalahan hukum Anda melalui pemanfaatan teknologi.
Wawasan Hukum
Layanan edukasi dan informasi hukum tepercaya sesuai dengan perkembangan hukum di Indonesia.
Catalog Product
Ada Pertanyaan? Hubungi Kami
Bacaan 14 Menit
Apakah surat bermaterai yang mengatakan �pihak keluarga tidak akan menuntut apabila ada kerugian fisik atau jiwa� bisa menghilangkan tuntutan pidana?
Intisari:
Apakah surat pernyataan bermaterai dapat menghilangkan tuntutan pidana? Seseorang bisa dimintai pertanggungjawaban pidananya kecuali ada alasan-alasan penghapus pidana. Surat pernyataan bermaterai tidak termasuk sebagai salah satu alasan penghapus pidana.
Penjelasan lebih lanjut dapat Anda simak dalam ulasan di bawah ini.
|
Ulasan:
Terima kasih atas pertanyaan Anda.
Yang menjadi pertanyaan Anda adalah apakah surat pernyataan bermaterai dapat menghilangkan tuntutan pidana? Untuk itu kita hurus merujuk pada apa saja dasar yang dapat meniadakan pidana.
Pertanggungjawaban Pidana
Menurut Chairul Huda dalam bukunya Dari Tiada Pidana, Tanpa Kesalahan Menuju Kepada Tiada Pertanggungjawaban Pidana Tanpa Kesalahan (hal. 6) menjelaskan bahwa dalam suatu tindak pidana, pertanggungjawaban pidana hanya dapat dituntut jika tindak pidana dilakukan dengan kesalahan.
Chairul Huda (hal. 62) menjelaskan bahwa pertanggungjawaban pidana dipandang ada, kecuali ada alasan-alasan penghapus pidana. Dalam lapangan acara pidana, hal ini berarti seseorang terdakwa dipandang bertanggungjawab atas tindak pidana yang dilakukannya, jika tidak dapat membuktikan bahwa dirinya mempunyai defence ketika melakukan tindak pidana.
Lebih lanjut dijelaskan bahwa penuntut umum berhak untuk mendakwa dan menuntut seseorang karena melakukan tindak pidana. Untuk itu, penuntut umum berkewajiban membuktikan apa yang didakwa dan dituntut itu, yaitu membuktikan hal-hal yang termuat dalam rumusan tindak pidana. Sementara itu, terdakwa dapat mengajukan pembelaan atas dasar adanya alasan-alasan penghapus pidana. Untuk menghindar dari pengenaan pidana, terdakwa harus dapat membuktikan bahwa dirinya mempunyai alasan penghapus pidana ketika melakukan tindak pidana.
Alasan-alasan Penghapus Pidana
Dalam ilmu hukum pidana dikenal alasan penghapus pidana yaitu alasan pembenar dan alasan pemaaf menurut Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (“KUHP”):
a. Alasan pembenar berarti alasan yang menghapus sifat melawan hukum suatu tindak pidana. Jadi, dalam alasan pembenar dilihat dari sisi perbuatannya (objektif). Misalnya, tindakan 'pencabutan nyawa' yang dilakukan eksekutor penembak mati terhadap terpidana mati (Pasal 50 KUHP);
b. Alasan pemaaf adalah alasan yang menghapus kesalahan dari si pelaku suatu tindak pidana, sedangkan perbuatannya tetap melawan hukum. Jadi, dalam alasan pemaaf dilihat dari sisi orang/pelakunya (subjektif). Misalnya, lantaran pelakunya tak waras atau gila sehingga tak dapat mempertanggungjawabkan perbuatannya itu (Pasal 44 KUHP).
Menurut Lamintang dalam bukunya yang berjudul Dasar-Dasar Hukum Pidana Indonesia (hal. 388), sebagaimana kami sarikan, dasar-dasar yang meniadakan hukuman atau strafuitsluitingsgronden antara lain dapat kita jumpai di dalam Buku ke-1 KUHP, yaitu:
a. Pasal 44 KUHP
Mengatur tentang tidak dapat dihukumnya orang yang ontoerekeningsvatbaar atau orang yang “tidak dapat dipertanggungjawabkan atas perbuatannya”.
b. Pasal 48 KUHP
Menentukan tentang tidak dapat dihukumnya orang yang berada dalam suatu overmacht (keadaan memaksa).
c. Pasal 49 ayat (1) KUHP
Mengatur tentang tidak dapat dihukumnya orang yang melakukan suatu noodweer (pembelaan diri karena terpaksa).
d. Pasal 49 ayat (2) KUHP
Mengatur tentang tidak dapat dihukumnya orang yang telah melakukan sesuatu tindakan yang pada hakikatnya merupakan suatu noodweerexces (pembelaan darurat yang melampaui batas pertahanan yang sangat perlu, yang dilakukan karena perasaan tergoncang).
e. Pasal 50 KUHP
Mengatur tentang tidak dapat dihukum seseorang yang melakukan sesuatu perbuatan untuk melaksanakan perintah perundang-undangan.
f. Pasal 51 ayat (1) KUHP
Mengatur tentang tidak dapat dihukum orang yang telah melakukan sesuatu tindakan untuk melaksanakan suatu perintah jabatan yang telah diberikan oleh kekuasaan yang berwenang untuk memberikan perintah semacam itu.
g. Pasal 51 ayat (2) KUHP
Mengatur tentang tidak dapat dihukum orang yang telah melakukan suatu tindakan untuk melaksanakan suatu perintah jabatan yang telah diberikan oleh kekuasaan yang tidak berwenang untuk memberikan perintah semacam itu, asalkan perintah tersebut oleh orang yang mendapat perintah dengan itikad baik telah dianggap sebagai suatu perintah yang diberikan oleh kekuasaan yang memang berwenang untuk memberikan perintah dan pelaksanaan dari perintah tersebut memang terletak di dalam lingkungan pekerjaannya.
h. Pasal 59 KUHP
Mengatur tentang tidak dapat dihukum pengurus atau komisaris-komisaris karena pelanggaran apabila pelanggaran tersebut terjadi di luar pengetahuan mereka.
Hal di atas merumuskan hal-hal yang dapat mengecualikan pelaku tindak pidana dari pertanggungjawaban pidana.
Selain dari keadaan tersebut maka pidana terhadap seseorang tidak dapat ditiadakan. Ini berarti surat pernyataan “pihak keluarga tidak akan menuntut apabila ada kerugian fisik atau jiwa” tidak bisa menghilangkan pertanggunjawaban pidana.
Demikian jawaban dari kami, semoga bermanfaat.
Kitab Undang-Undang Hukum Pidana.
1. Chairul Huda. Dari Tiada Pidana, Tanpa Kesalahan Menuju Kepada Tiada Pertanggungjawaban Pidana Tanpa Kesalahan. Jakarta: Kencana. 2006.
2. P.A.F. Lamintang. Dasar-dasar Hukum Pidana Indonesia. Bandung: PT. Citra Aditya Bakti, 2013.
KLINIK TERBARU
Dapatkan info berbagai lowongan kerja hukum terbaru di Indonesia!
Butuh lebih banyak artikel?