Setahu saya karyawan-karyawan dan petinggi BUMN biasanya juga sering diperiksa KPK. Mengapa demikian dan seberapa besar sebenarnya risiko bagi karyawan petinggi BUMN untuk diciduk KPK? Apakah kerugian dalam BUMN termasuk kerugian negara?
Daftar Isi
INTISARI JAWABAN
Badan Usaha Milik Negara (“BUMN”) adalah badan usaha yang seluruh atau sebagian besar modalnya dimiliki oleh negara melalui penyertaan secara langsung yang berasal dari kekayaan negara yang dipisahkan.
Dalam menjalankan bisnisnya, apabila BUMN mengalami kerugian, maka direksi, komisaris, ataupun pejabat strukturalnya berpotensi dijerat dengan pasal tindak pidana korupsi jika terbukti ada tindakan melawan hukum dan mengakibatkan kerugian keuangan negara atau perekonomian negara. Namun, apakah setiap kerugian BUMN maka akan menjadi kasus korupsi?
Penjelasan lebih lanjut dapat Anda baca ulasan di bawah ini.
ULASAN LENGKAP
Terima kasih atas pertanyaan Anda.
Pengertian BUMN
Sebelum menjawab pertanyaan Anda, dapat kami sampaikan bahwa yang dimaksud dengan Badan Usaha Milik Negara (“BUMN”) berdasarkan Pasal 1 ayat (1) UU BUMN adalah badan usaha yang seluruh atau sebagian besar modalnya dimiliki oleh negara melalui penyertaan secara langsung yang berasal dari kekayaan negara yang dipisahkan.
Berdasarkan ketentuan Pasal 1 ayat (1) UU BUMN tersebut, maka secara sederhana BUMN adalah perusahaan yang di dalamnya terdapat modal negara. Dalam menyelenggarakan tujuan-tujuan tersebut, BUMN memperoleh modalnya dari kekayaan negara yang dipisahkan, sebagaimana diatur dalam Pasal 4 ayat (1) UU BUMN.
Adapun yang dimaksud dengan kekayaan negara yang dipisahkan adalah pemisahan kekayaan negara dari APBN untuk dijadikan penyertaan modal negara pada BUMN, untuk selanjutnya pembinaan dan pengelolaannya tidak lagi didasarkan pada sistem APBN, melainkan didasarkan pada prinsip-prinsip perusahaan yang sehat.[1]
Belajar Hukum Secara Online dari Pengajar Berkompeten Dengan Biaya TerjangkauMulai DariRp. 149.000
Kemudian, jika dilihat dari komposisi kepemilikan modalnya, terdapat dua jenis BUMN yaitu:
Persero atau perusahaan perseroan yaitu BUMN yang berbentuk perseroan terbatas yang mayoritas modalnya (minimal 51%) dimiliki oleh negara dan tujuan utamanya mengejar keuntungan.[2] Contoh: PT Pertamina (Persero);
Perum atau perusahaan umum yaitu BUMN yang seluruh modalnya dimiliki oleh negara dan tidak terbagi atas saham, yang bertujuan untuk kemanfaatan umum berupa penyediaan barang dan/atau saja dan sekaligus mengejar keuntungan berdasarkan prinsip pengelolaan perusahaan.[3] Contoh: Perum Peruri.
Bisakah Direksi BUMN Dijerat Pasal Korupsi?
Tindak pidana korupsi diatur dalam Pasal 2 ayat (1) UU 20/2001jo. Putusan MK No. 25/PUU-XIV/2016(hal. 116) adalah suatu tindakan yang melawan hukum untuk memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi, yang merugikan keuangan negara atau perekonomian negara.
Selanjutnya, menurut Pasal 3 UU 31/1999jo. Putusan MK No. 25/PUU-XIV/2016 (hal. 116) termasuk juga sebagai suatu tindak pidana korupsi apabila ada unsur menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan dengan tujuan untuk memperkaya/menguntungkan diri sendiri dan merugikan keuangan negara atau perekonomian negara.
Lantas, apakah direksi atau karyawan BUMN termasuk sebagai penyelenggara negara sebagaimana dimaksud pasal tindak pidana korupsi di atas? Pasal 2 UU 28/1999 dan penjelasannya menerangkan bahwa yang termasuk ke dalam kategori penyelenggara negara antara lain:
Pejabat negara pada lembaga tertinggi negara;
Pejabat negara pada lembaga tinggi negara;
Menteri;
Gubernur;
Hakim;
Pejabat negara lain sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku; dan
Pejabat lain yang memiliki fungsi strategis dalam kaitannya dengan penyelenggara negara sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku meliputi salah satunya direksi, komisaris, dan pejabat struktural pada BUMN dan BUMD.
Oleh karena itu, apabila direksi, komisaris atau pejabat struktural BUMN lainnya melakukan tindakan melawan hukum dengan tujuan untuk memperkaya diri atau orang lain atau suatu korporasi, dan mengakibatkan kerugian keuangan negara atau perekonomian negara dapat dijerat dengan pasal-pasal tindak pidana korupsi sebagaimana dijelaskan di atas.
Salah satu contoh kasus korupsi yang menjerat direksi BUMN adalah lain kasus PT ASABRI (Persero). Mengutip artikel Dua Eks Dirut Asabri Divonis 20 Tahun Penjara, terdakwa melakukan investasi saham, reksadana, medium term note (MTN) atau surat jangka menengah dan investasi lainnya yang berisiko tinggi. Kerja sama melalui produk reksadana yang memiliki kinerja tidak baik dan mengalami penurunan harga tersebut mengakibatkan kerugian negara senilai kurang lebih Rp22,788 triliun.
Berdasarkan contoh kasus di atas, dapat dipahami bahwa meskipun dalam menjalankan usahanya sehari-hari dilaksanakan berdasarkan prinsip-prinsip perusahaan yang sehat, namun karena modal BUMN berasal dari kekayaan milik negara, maka keputusan-keputusan dan tindakan-tindakan yang dilakukan oleh pejabat BUMN memiliki risiko baik secara langsung maupun tidak langsung terhadap keuangan atau perekonomian negara.
Apakah Setiap Kerugian BUMN Dianggap Korupsi?
Lantas, Anda apakah kerugian dalam BUMN termasuk kerugian negara dan otomatis direksi atau pejabat strukturalnya dijerat pasal tindak pidana korupsi? Untuk menjawab pertanyaan tersebut, perlu dipahami bahwa BUMN yang berbentuk persero tidak semua modalnya berasal dari kekayaan negara karena hanya disyaratkan minimal 51%. BUMN persero tersebut tidak hanya tunduk pada UU BUMN, melainkan juga tunduk pada segala ketentuan dan prinsip-prinsip yang berlaku bagi perseroan terbatas dalam UU PT.[4]
Oleh sebab itu, kerugian yang dialami oleh BUMN akibat dari keputusan bisnis yang diambil oleh direksi, Pasal 97 ayat (5) UU PT pada dasarnya mengatur suatu bentuk perlindungan terhadap direksi yang menimbulkan kerugian bagi perseroan, sebagai berikut:
Anggota Direksi tidak dapat dipertanggungjawabkan atas kerugian sebagaimana dimaksud pada ayat (3) apabila dapat membuktikan:
kerugian tersebut bukan karena kesalahan atau kelalaiannya;
telah melakukan pengurusan dengan itikad baik dan kehati-hatian untuk kepentingan dan sesuai dengan maksud dan tujuan Perseroan;
tidak mempunyai benturan kepentingan baik langsung maupun tidak langsung atas tindakan pengurusan yang mengakibatkan kerugian; dan
telah mengambil tindakan untuk mencegah timbul atau berlanjutnya kerugian tersebut.
Dalam hukum perseroan terbatas, perlindungan terhadap direksi yang menimbulkan kerugian bagi perseroan sebagaimana Pasal 97 ayat (5) UU PT di atas dikenal sebagai prinsip business judgement rule.
Dikutip dari Penerapan Doktrin Business Judgement Rule di Indonesia, prinsip business judgement rule adalah suatu konsep di mana direksi perseroan tidak dapat dibebankan tanggung jawab secara hukum atas keputusan yang diambilnya, walaupun keputusan tersebut menimbulkan kerugian bagi perusahaan, sepanjang keputusan itu dilakukan dengan iktikad baik, tujuan dan cara yang benar, dasar yang rasional, dan kehati-hatian.
Apabila ditinjau dari komposisi kepemilikan saham suatu BUMN persero, negara merupakan pemegang saham mayoritas atau bahkan pemegang saham keseluruhan dari BUMN. Maka dari itu, kerugian yang dialami oleh suatu BUMN sering kali dianggap sebagai sebuah kerugian negara mengingat adanya penyertaan modal negara dalam BUMN tersebut.
Adapun, definisi dari kerugian negara diatur dalam Pasal 1 angka 15 UU BPK adalah kekurangan uang, surat berharga, dan barang, yang nyata dan pasti jumlahnya sebagai akibat dari perbuatan melawan hukum baik sengaja maupun lalai.
Pembuktian kerugian negara dalam kasus tindak pidana korupsi dilakukan dengan menggunakan hasil pemeriksaan dan perhitungan dari BPK selaku lembaga yang berwenang untuk menilai dan/atau menetapkan jumlah kerugian negara, sebagaimana di atur dalam Pasal 10 ayat (1) UU BPK.
Namun, karena pada hakikatnya setiap kegiatan usaha pasti memiliki risiko, termasuk juga risiko kerugian, maka UU PT telah memberikan perlindungan kepada direksi BUMN dalam setiap keputusan bisnis yang diambil melalui prinsip business judgement rule. Dengan demikian, seorang direksi BUMN tidak dapat serta merta bertanggung jawab atas kerugian yang diderita BUMN akibat dari keputusan bisnis yang diambilnya, selama telah memenuhi ketentuan dalam Pasal 97 ayat (5) UU PT.
Contoh kasus mengenai hubungan antara prinsip business judgement rule dengan tindak pidana korupsi di lingkungan BUMN dapat Anda simak dalam Putusan MA No. 121 K/Pid.Sus/2020. Terdakwa adalah direktur utama PT Pertamina (Persero) periode 2009-2014 yang mana telah menerima penawaran terkait dengan investasi participating interest (“PI”) di Blok BMG Australia tanpa melakukan pembahasan atau kajian terlebih dahulu dan menyetujui PI yang belum ada due diligence serta analisa risiko yang ditangantangani dengan penandatanganan sale purchase agreement yang belum mendapatkan persetujuan dari bagian legal dan dewan komisaris (hal. 34).
Atas perbuatan terdakwa tersebut, jaksa penuntut umum dalam mendakwa bahwa terdakwa memperkaya rock oil company limited (ROC Ltd) Australia sehingga merugikan keuangan negara Rp568.066.000.000,- berdasarkan laporan kantor akuntan publik (hal. 34).
Namun, dalam pertimbangannya, majelis hakim kasasi menilai bahwa langkah-langkah yang dilakukan oleh terdakwa tidak keluar dari ranah business judgement rule, yang ditandai dengan tiadanya unsur kecurangan (freud), benturan kepentingan (conflict of interest), perbuatan melawan hukum dan kesalahan yang disengaja (hal. 38). Oleh karena itu, terdakwa diputus lepas dari segala tuntutan hukum (hal. 40).
Dengan demikian, dapat kami simpulkan bahwa kerugian yang diderita oleh BUMN tidak serta-merta dapat memenuhi rumusan delik tindak pidana korupsi yang menyebabkan kerugian keuangan negara. Perlu dibuktikan terlebih dahulu apakah kerugian yang terjadi ditimbulkan dari suatu perbuatan melawan hukum atau tidak.
Apabila kerugian tersebut timbul dari suatu keputusan bisnis yang diambil oleh direksi BUMN, selama direksi tersebut memenuhi syarat dalam Pasal 97 ayat (5) UU PT tentang prinsip business judgement rule, maka kerugian tersebut tidak dapat dipertanggungjawabkan terhadapnya, termasuk juga pertanggungjawaban secara pidana.