Saya pernah mendengar suatu berita bahwa ada orang gila yang berusaha memperkosa wanita di pinggir jalan. Tetapi wanita itu telah berhasil menyelamatkan diri dan yang ingin memperkosa ternyata orang gila. Apakah orang gila tersebut bisa dipidanakan?
Daftar Isi
INTISARI JAWABAN
Ilmu hukum pidana mengenal adanya alasan penghapus pidana yaitu alasan pembenar dan pemaaf. Dalam kasus orang gila yang melakukan tindak pidana, dapat berlaku alasan pemaaf lantaran pelaku tak waras atau gila sehingga tak dapat mempertanggungjawabkan perbuatannya itu.
Namun, hal tersebut harus berdasarkan pertimbangan hakim yang berkuasa untuk memutuskan tentang dapat tidaknya terdakwa dipertanggungjawabkan atas perbuatannya itu dengan meminta nasehat dari dokter penyakit jiwa.
Terdapat perbedaan ketentuan dalam KUHP yang saat artikel ini diterbitkan danUU 1/2023 yang baru berlaku 3 tahun sejak tanggal diundangkan, apabila ternyata pelaku betul dinilai tidak dapat bertanggung jawab atas perbuatannya. Bagaimana ketentuannya?
Penjelasan lebih lanjut dapat Anda baca ulasan di bawah ini.
Artikel di bawah ini adalah pemutakhiran dari artikel dengan judul Apakah Seorang yang Gila Bisa Dipidana? yang dibuat oleh Tri Jata Ayu Pramesti, S.H. dan pertama kali dipublikasikan pada Rabu, 17 April 2013.
Artikel ini dibuat berdasarkan KUHP lama dan UU 1/2023 tentang KUHP yang diundangkan pada tanggal 2 Januari 2023.
Belajar Hukum Secara Online dari Pengajar Berkompeten Dengan Biaya TerjangkauMulai DariRp. 149.000
Seluruh informasi hukum yang ada di Klinik hukumonline.com disiapkan semata – mata untuk tujuan pendidikan dan bersifat umum (lihat Pernyataan Penyangkalan selengkapnya). Untuk mendapatkan nasihat hukum spesifik terhadap kasus Anda, konsultasikan langsung dengan Konsultan Mitra Justika.
Alasan Penghapus Pidana
Sebelum menjawab pertanyaan Anda, perlu diketahui bahwa dalam ilmu hukum pidana mengenal adanya alasan penghapus pidana yaitu alasan pembenar dan pemaaf, dengan penjelasan sebagai berikut.
Alasan pembenar berarti alasan yang menghapus sifat melawan hukum suatu tindak pidana. Jadi, dalam alasan pembenar dilihat dari sisi perbuatannya (objektif). Misalnya, tindakan 'pencabutan nyawa' yang dilakukan eksekutor penembak mati terhadap terpidana mati (Pasal 50 KUHPyang saat artikel ini diterbitkan masih berlaku dan Pasal 31 UU 1/2023yang berlaku 3 tahun sejak tanggal diundangkan,[1] yaitu tahun 2026).
Alasan pemaaf adalah alasan yang menghapus kesalahan dari si pelaku suatu tindak pidana, sedangkan perbuatannya tetap melawan hukum. Jadi, dalam alasan pemaaf dilihat dari sisi orang/pelakunya (subjektif). Misalnya, lantaran pelakunya tak waras atau gila sehingga tak dapat mempertanggungjawabkan perbuatannya itu.
Mengenai contoh alasan pemaaf dapat dilihat pada Pasal 44 KUHP dan Pasal 38 dan 39 UU 1/2023, sebagai berikut.
KUHP
UU 1/2023
Pasal 44 ayat (1) KUHP
Barang siapa melakukan perbuatan yang tidak dapat dipertanggungkan kepadanya karena jiwanya cacat dalam pertumbuhan atau terganggu karena penyakit, tidak dipidana.
Pasal 38 UU 1/2023
Setiap orang yang pada waktu melakukan tindak pidana menyandang disabilitas mental dan/atau disabilitas intelektual dapat dikurangi pidananya dan/atau dikenai tindakan.
Pasal 44 ayat (2) KUHP
Jika ternyata perbuatan itu tidak dapat dipertanggungkan kepada pelakunya karena pertumbuhan jiwanya cacat atau terganggu karena penyakit, maka hakim dapat memerintahkan supaya orang itu dimasukkan ke rumah sakit jiwa, paling lama satu tahun sebagai waktu percobaan.
Pasal 39 UU 1/2023
Setiap orang yang pada waktu melakukan tindak pidana menyandang disabilitas mental yang dalam keadaan kekambuhan akut dan disertai gambaran psikotik dan/atau disabilitas intelektual derajat sedang atau berat tidak dapat dijatuhi pidana, tetapi dapat dikenai tindakan.
Berdasarkan pernyataan Anda, orang gila tersebut hampir melakukan tindak pidana perkosaan. Dalam KUHP, hal tersebut dikenal sebagai tindak pidana percobaan yang diatur dalam Pasal 53 ayat (1) KUHP dan Pasal 17 ayat (1) UU 1/2023 sebagai berikut.
Pasal 53 ayat (1) KUHP
Pasal 17 ayat (1) UU 1/2023
Mencoba melakukan kejahatan dipidana, jika niat untuk itu telah ternyata dan adanya permulaan pelaksanaan, dan tidak selesainya pelaksanaan itu, bukan semata-mata disebabkan karena kehendaknya sendiri.
Percobaan melakukan tindak pidana terjadi jika niat pelaku telah nyata dari adanya permulaan pelaksanaan dari Tindak Pidana yang dituju, tetapi pelaksanaannya tidak selesai, tidak mencapai hasil, atau tidak menimbulkan akibat yang dilarang, bukan karena semata-mata atas kehendaknya sendiri.
Menurut R. Soesilo dalam bukunya yang berjudul Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) Serta Komentar-Komentarnya Lengkap Pasal Demi Pasal (hal. 60-61) sebab tidak dapat dihukumnya terdakwa berhubung perbuatannya tidak dapat dipertanggungjawabkan kepadanya adalah karena:
Kurang sempurna akalnya. Yang dimaksud dengan perkataan “akal” di sini ialah kekuatan pikiran, daya pikiran, dan kecerdasan pikiran. Orang dapat dianggap kurang sempurna akalnya, misalnya: idiot, imbicil, buta-tuli, dan bisu mulai lahir, orang-orang semacam ini sebenarnya tidak sakit, tetapi karena cacat-cacatnya sejak lahir, maka pikirannya tetap sebagai kanak-kanak.
Sakit berubah akalnya. Yang dapat dimasukkan dalam pengertian ini misalnya: sakit gila, histeri (sejenis penyakit saraf terutama pada wanita), epilepsi, dan bermacam-macam penyakit jiwa lainnya.
Sementara yang dimaksud dengan disabilitas mental dan disabilitas intelektual dalam Pasal 38 UU 1/2023, yaitu:
Disabilitas mental adalah terganggunya fungsi pikir, emosi, dan perilaku, antara lain:[2]
psikososial, antara lain, skizofrenia, bipolar, depresi, anxiety, dan gangguan kepribadian; dan
disabilitas perkembangan yang berpengaruh pada kemampuan interaksi sosial, antara lain, autis dan hiperaktif.
Disabilitas intelektual adalah terganggunya fungsi pikir karena tingkat kecerdasan di bawah rata-rata, antara lain, lambat belajar, disabilitas grahita, dan down syndrome.[3]
Pelaku tindak pidana yang menyandang disabilitas mental dan/atau disabilitas intelektual dinilai kurang mampu untuk menginsafi tentang sifat melawan hukum dari perbuatan yang dilakukan atau untuk berbuat berdasarkan keinsafan yang dapat dipidana.[4]
Sedangkan menurut Penjelasan Pasal 39 UU 1/2023 mengenai penyandang disabilitas mental dalam keadaan kekambuhan akut dan disertai gambaran psikotik dan/atau penyandang disabilitas intelektual derajat sedang atau berat, tidak mampu bertanggung jawab. Untuk dapat menjelaskan tidak mampu bertanggung jawab dari segi medis, perlu dihadirkan ahli sehingga pelaku tindak pidana dipandang atau dinilai tidak mampu bertanggung jawab.
Tindak Pidana Percobaa
R. Soesilo berpendapat bahwa menurut arti kata sehari-hari yang diartikan percobaan yaitu menuju ke suatu hal akan tetapi tidak sampai pada hal yang dituju itu, atau hendak berbuat sesuatu. Percobaan dapat dihukum apabila memenuhi syarat-syarat (hal. 68-69):
niat sudah ada untuk berbuat kejahatan itu;
orang sudah memulai berbuat kejahatan itu;
perbuatan kejahatan itu tidak jadi sampai selesai oleh karena terhalang oleh sebab-sebab yang timbul kemudian.
Berdasarkan pernyataan Anda, bahwa orang gila tersebut berusaha memperkosa wanita dan wanita tersebut berhasil melarikan diri. Ini berarti percobaan melakukan tindak pidana telah terjadi (memenuhi ketiga syarat di atas) dan KUHP menyatakan bahwa hal itu sudah masuk lingkup tindak pidana.
Dalam hal percobaan, KUHP mengatur maksimum hukuman yaitu maksimum hukuman ancaman pidana pokok dikurangi sepertiganya.[5] Sementara UU 1/2023 mengatur pidana untuk percobaan melakukan tindak pidana paling banyak dua per tiga dari maksimum hukuman ancaman pidana pokok.[6]
Dengan demikian, orang yang melakukan percobaan tindak pidana tersebut dapat dipidana maksimum sebesar pidana perkosaan yang diatur dalam Pasal 285 KUHP dan Pasal 473 ayat (1) UU 1/2023 yakni penjara 12 tahun, dikurangi dengan sepertiga atau dua per tiga dari 12 tahun tersebut.
Bisakah Orang Gila Dipidana?
Menjawab pertanyaan Anda, berdasarkan penjelasan di atas, jika ternyata pelaku betul dinilai tidak dapat bertanggung jawab atas perbuatannya, maka berlaku alasan pemaaf bagi pelaku, dimana menurut KUHP ia tidak dapat dipidana dan hakim dapat memerintahkan agar pelaku dimasukkan ke dalam rumah sakit jiwa selama masa percobaan maksimum 1 tahun[7] untuk mencegah terjadinya hal serupa yang membahayakan baik keselamatan orang gila tersebut maupun masyarakat sekitar.
Hal tersebut sebagaimana pendapat R Soesilo (hal. 61) yaitu hakimlah yang berkuasa memutuskan tentang dapat tidaknya terdakwa dipertanggungjawabkan atas perbuatannya itu dengan meminta nasehat dari dokter penyakit jiwa. Jika hakim berpendapat bahwa bahwa orang itu betul tidak dipertanggungjawabkan atas perbuatannya, maka orang itu dibebaskan dari segala tuntutan pidana (ontslag van alle rechtsvervolgin).
Berbeda dengan ketentuan KUHP, berdasarkan ketentuan UU 1/2023, jika pelaku terbukti dalam pemeriksaan medis sebagai penyandang disabilitas mental, maka dapat dikurangi pidananya dan/atau dikenai tindakan. Sedangkan jika pelaku dalam kondisi kambuh yang akut dan disertai gambaran psikotik, maka dikenai tindakanberdasarkan Pasal 103 ayat (2) UU 1/2023 berupa: