Istri saya karyawan swasta, saat ini sedang hamil 7 bulan. Ketika ingin mengajukan cuti hamil, perusahaan mengatakan bisa cuti hamil, tetapi karena belum 1 tahun bekerja, jadi istri saya tidak mendapat gaji selama cuti hamil. Benarkah demikian? Atau apakah saat cuti melahirkan dapat gaji? Terima kasih.
Daftar Isi
INTISARI JAWABAN
Pada dasarnya pekerja perempuan yang sedang hamil berhak mendapatkan cuti dan tetap dibayarkan gaji atau upah secara penuh dengan memperhatikan perhitungan gaji untuk karyawan cuti melahirkan. Hal ini seperti yang diatur dalam UU Ketenagakerjaan dan perubahannya serta UU KIA. Bagi perusahaan yang melanggar ketentuan hak cuti melahirkan dan tidak membayarkan upah, dapat dikenai sanksi pidana.
Penjelasan lebih lanjut dapat Anda baca ulasan di bawah ini.
Artikel di bawah ini adalah pemutakhiran dari artikel dengan judul Belum Setahun Bekerja, Apakah Bisa Cuti Melahirkan? yang dibuat oleh Tri Jata Ayu Pramesti, S.H.dan pertama kali dipublikasikan pada 24 Desember 2015.
Seluruh informasi hukum yang ada di Klinik hukumonline.com disiapkan semata – mata untuk tujuan pendidikan dan bersifat umum (lihat Pernyataan Penyangkalanselengkapnya). Untuk mendapatkan nasihat hukum spesifik terhadap kasus Anda, konsultasikan langsung dengan Konsultan Mitra Justika.
Belajar Hukum Secara Online dari Pengajar Berkompeten Dengan Biaya TerjangkauMulai DariRp. 149.000
Cuti Hamil dan Melahirkan Menurut UU Ketenagakerjaan
Hak cuti hamil dan melahirkan adalah hak yang diberikan oleh undang-undang khusus bagi pekerja perempuan. Adapun pengaturan mengenai cuti hamil dan melahirkan ini diatur dalam Pasal 82UU Ketenagakerjaan yang berbunyi:
Pekerja/buruh perempuan berhak memperoleh istirahat selama 1,5 bulan sebelum saatnya melahirkan anak dan 1,5 bulan sesudah melahirkan menurut perhitungan dokter kandungan atau bidan.
Pekerja/buruh perempuan yang mengalami keguguran kandungan berhak memperoleh istirahat 1,5 bulan atau sesuai dengan surat keterangan dokter kandungan atau bidan.
Dari rumusan pasal tersebut dapat diketahui lama cuti melahirkan adalah 3 bulan dengan pembagian 1,5 bulan sebelum melahirkan dan 1,5 bulan sesudah melahirkan. Perlu diperhatikan juga bahwa lamanya cuti melahirkan ini dapat diperpanjang berdasarkan surat keterangan dokter kandungan atau bidan, baik sebelum maupun setelah melahirkan.[1]
Bagi perusahaan yang tidak memberikan cuti melahirkan kepada karyawannya dapat dijerat pidana dan tindakannya termasuk tindak pidana kejahatan.[2] Pelanggaran terhadap Pasal 82 UU Ketenagakerjaan dapat dikenai sanksi pidana penjara paling singkat 1 tahun dan paling lama 4 tahun dan/atau pidana denda paling sedikit Rp100 juta dan paling banyak Rp400 juta.[3]
Cuti Hamil dan Melahirkan Menurut UU KIA
Namun kemudian diterbitkan UU KIAyang memberikan peraturan cuti melahirkan terbaru. Dalam UU KIA, ibu didefinisikan sebagai perempuan yang mengandung, melahirkan, dan/atau menyusui anak atau mengangkat anak, yang merawat, mendidik, dan/atau mengasuh anak.[4]
Selanjutnya UU KIA mengatur bahwa setiap ibu yang bekerja berhak mendapatkan cuti melahirkan 6 bulan dengan ketentuan sebagai berikut:[5]
paling singkat 3 bulan pertama; dan
paling lama 3 bulan berikutnya jika terdapat kondisi khusus yang dibuktikan dengan surat keterangan dokter.
ibu yang mengalami masalah kesehatan, ganggungan kesehatan, dan/atau komplikasi pasca persalinan atau keguguran; dan/atau
anak yang dilahirkan mengalami masalah kesehatan, gangguan kesehatan, dan/atau komplikasi.
Selain itu, ibu yang bekerja juga berhak mendapatkan:[7]
waktu istirahat 1,5 bulan atau sesuai dengan surat keterangan dokter, dokter kebidanan dan kandungan, atau bidan jika mengalami keguguran;
kesempatan dan fasilitas yang layak untuk pelayanan kesehatan dan gizi serta melakukan laktasi selama waktu kerja;
waktu yang cukup dalam hal diperlukan untuk kepentingan terbaik bagi anak; dan/ atau
akses penitipan anak yang terjangkau secara jarak dan biaya.
Pemberi kerja wajib dalam memberikan cuti melahirkan.[8] Selain itu, pemberi kerja tidak dapat memberhentikan seorang ibu yang melaksanakan cuti melahirkan dan tetap memberikan hak-haknya sebagai pekerja.[9]
Jika seorang ibu yang sedang melaksanakan cuti melahirkan diberhentikan dari pekerjaannya dan/atau tidak memperoleh haknya, pemerintah pusat dan/atau pemerintah daerah memberikan bantuan hukum sesuai dengan ketentuan perundang-undangan.[10]
Apakah Saat Cuti Melahirkan Dapat Gaji?
Menjawab pertanyaan Anda, dari penjelasan mengenai cuti melahirkan menurut UU Ketenagakerjaan dan UU KIA di atas, cuti hamil dan melahirkan ini memfokuskan pada kondisi pekerja perempuan yang sedang hamil, bukan masa kerjanya.
Hal ini karena cuti hamil bukanlah cuti tahunan yang memiliki prasyarat lama bekerja sebelum mendapatkannya. Cuti tahunan diberikan sekurang-kurangnya 12 hari kerja setelah pekerja yang bersangkutan bekerja selama 12 bulan secara terus-menerus.[11]
Lantas, apakah saat cuti melahirkan dapat gaji? Pasal 84 UU Ketenagakerjaanjo. Pasal 5 ayat (2) UU KIA mengatur bahwa pekerja perempuan yang menjalani cuti hamil dan melahirkan berhak atas gaji atau upah penuh dengan perhitungan gaji untuk karyawan cuti melahirkan:
secara penuh untuk 3 bulan pertama;
secara penuh untuk bulan keempat; dan
75% dari upah untuk bulan kelima dan keenam.
Ketentuan soal hak atas upah ini kemudian dipertegas kembali dalam PP Pengupahandan perubahannyayang menyatakan bahwa pekerja/buruh yang tidak masuk kerja dan/atau tidak melakukan pekerjaan karena alasan cuti sebelum dan sesudah melahirkan, tetap dibayar upahnya.[12]
Langkah Hukum
Cuti hamil dan melahirkan serta tetap dibayarkan upahnya adalah hak istri Anda. Adapun langkah hukum yang dapat istri Anda lakukan adalah jalur penyelesaian perselisihan hak dengan terlebih dahulu melalui musyawarah untuk mencapai mufakat, yakni melalui perundingan bipartit.[13] Perundingan bipartit adalah perundingan antara pekerja/buruh atau serikat pekerja/serikat buruh dengan pengusaha untuk menyelesaikan perselisihan hubungan industrial.[14] Perundingan ini harus dilaksanakan paling lambat 30 hari kerja.[15]
Apabila perundingan bipartit ini gagal atau pengusaha menolak berunding, maka penyelesaian kemudian ditempuh melalui jalur tripartit yaitu mencatatkan perselisihannya kepada instansi yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan setempat dengan melampirkan bukti bahwa upaya-upaya penyelesaian melalui perundingan bipartit telah dilakukan.[16] Nantinya, Anda dan pengusaha menempuh mediasi hubungan industrial.[17] Dalam hal penyelesaian melalui mediasi tidak mencapai kesepakatan, salah satu pihak dapat mengajukan gugatan kepada Pengadilan Hubungan Industrial.[18]
Contoh Kasus
Untuk mempermudah pemahaman Anda, kami berikan contoh kasus dalam Putusan MA No. 81 K/Pdt.Sus-PHI/2015. Dalam dalilnya, penggugat (pekerja perempuan) ini mengungkapkan bahwa ia telah melahirkan anak yang kedua di mana cuti melahirkan penggugat hanya diberikan oleh pihak tergugat (pengusaha) selama 2 bulan. Sedangkan menurut Pasal 82 UU Ketenagakerjaan dinyatakan bahwa pekerja perempuan yang melahirkan berhak atas cuti melahirkan selama 3 bulan, sehingga masih ada sisa cuti penggugat selama 1 bulan lagi yang harus dibayarkan oleh tergugat. Karena alasan tertentu, tergugat melakukan pemutusan hubungan kerja secara sepihak terhadap penggugat (hal. 4).
Akhirnya, hakim dalam putusannya menghukum tergugat membayar hak-hak penggugat akibat pemutusan hubungan kerja berupa uang pesangon, uang penghargaan masa kerja dan uang pengganti perumahan dan pengobatan serta uang kekurangan atas cuti melahirkan dengan jumlah sebesar Rp39.450.000 (hal. 7-8).
Demikian jawaban dari kami tentang perhitungan gaji untuk karyawan cuti melahirkan, semoga bermanfaat.