Belakangan ini, ada beberapa kasus anak dianiaya tetangga. Misalnya kasus di Sulawesi Barat, seorang anak 15 tahun dianiaya tetangga. Kemudian, kasus di Palembang, anak dianiaya tetangga saat pulang sekolah, dan lain-lain.
Kasus yang saya alami sendiri, suatu hari anak saya dicubit pipinya dengan keras oleh seorang ibu tetangga. Alasannya, dia merasa kesal dengan anak saya karena anak saya mengganggu anaknya. Anak saya menangis keras karena kesakitan dan berlari pulang ke saya, mamanya. Tentu saya tidak terima dengan sikap orang tersebut. Langkah hukum apa yang dapat saya lakukan dan bagaimana hukumnya atas tindakan orang tersebut terhadap anak saya? Terima kasih.
DAFTAR ISI
INTISARI JAWABAN
Sebelumnya, pendekatan kekeluargaan sebaiknya didahulukan sebelum memutuskan untuk menyelesaikan melalui jalur hukum pidana. Kecuali jika perbuatan tetangga Anda membahayakan anak Anda secara fisik maupun psikis.
Meski demikian, perbuatan mencubit pada yurisprudensi dikategorikan sebagai bentuk penganiayaan. Lantas, apa jerat hukum yang dapat diterapkan terhadap pelaku penganiayaan anak?
Penjelasan lebih lanjut dapat Anda baca ulasan di bawah ini.
Artikel ini adalah pemutakhiran kedua dari artikel dengan judul Apakah Langkah Hukum Jika Anak Dicubit Tetangga? yang dibuat oleh Diana Kusumasari, S.H., M.H. dan dipublikasikan pertama kali pada 21 Mei 2011, kemudian dimutakhirkan pertama kali oleh Tri Jata Ayu Pramesti, S.H. pada 23 Mei 2016.
Belajar Hukum Secara Online dari Pengajar Berkompeten Dengan Biaya TerjangkauMulai DariRp. 149.000
Artikel ini dibuat berdasarkan KUHP lama dan UU 1/2023 tentang KUHP yang diundangkan pada tanggal 2 Januari 2023.
Seluruh informasi hukum yang ada di Klinik hukumonline.com disiapkan semata – mata untuk tujuan pendidikan dan bersifat umum (lihat Pernyataan Penyangkalan selengkapnya). Untuk mendapatkan nasihat hukum spesifik terhadap kasus Anda, konsultasikan langsung dengan Konsultan Mitra Justika.
Pasal Penganiayaan Ringan dalam KUHP dan UU 1/2023
Sebelumnya, kami bersimpati atas kejadian yang Anda dan anak Anda alami. Berdasarkan informasi yang Anda berikan, perbuatan mencubit orang lain, dapat kami asumsikan sebagai tindak pidana penganiayaan ringan. Dalam KUHPlama yang saat artikel ini diterbitkan masih berlaku dan UU 1/2023tentang KUHP baru yang berlaku 3 tahun sejak tanggal diundangkan,[1] yaitu tahun 2026, tindak pidana penganiayaan ringan diatur dalam pasal berikut:
Pasal 352 KUHP
Pasal 471 UU 1/2023
Kecuali yang tersebut dalam pasal 353 dan 356, maka penganiayaan yang tidak menimbulkan penyakit atau halangan untuk menjalankan pekerjaan jabatan atau pencarian, diancam, sebagai penganiayaan ringan, dengan pidana penjara paling lama 3 bulan atau pidana denda paling banyak Rp4.5 juta.[2]
Pidana dapat ditambah sepertiga bagi orang yang melakukan kejahatan itu terhadap orang yang bekerja padanya, atau menjadi bawahannya.
Percobaan untuk melakukan kejahatan ini tidak dipidana
Selain penganiayaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 467 dan Pasal 470, penganiayaan yang tidak menimbulkan penyakit atau halangan untuk menjalankan profesi jabatan atau mata pencaharian, dipidana karena penganiayaan ringan, dengan pidana penjara paling lama 6 bulan atau pidana denda paling banyak kategori II, yaitu Rp10 juta.[3]
Jika tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan terhadap orang yang bekerja padanya atau menjadi bawahannya, pidananya dapat ditambah 1/3.
Percobaan melakukan tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1), tidak dipidana.
terhadap ibu atau bapaknya yang sah, istri atau anaknya;
terhadap pejabat yang ketika atau karena menjalankan tugasnya yang sah;
dengan memberikan bahan yang berbahaya bagi nyawa atau kesehatan untuk dimakan atau diminum (Pasal 356 KUHP).
tidak menimbulkan penyakit atau halangan untuk menjalankan pekerjaan jabatan atau pencarian.
Kemudian, menurut R. Soesilo dalam bukunya Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) Serta Komentar-Komentarnya Lengkap Pasal Demi Pasal, dalam yurisprudensi, yang dimaksud dengan kata penganiayaan yaitu sengaja menyebabkan perasaan tidak enak (penderitaan), rasa sakit, atau luka. Contoh “rasa sakit” tersebut misalnya diakibatkan mencubit, mendupak, memukul, menempeleng, dan sebagainya (hal. 245).
Maka, dapat disimpulkan bahwa baik dalam Pasal 352 KUHP maupun Pasal 471 UU 1/2023, tindak pidana disebut penganiayaan ringan karena penganiayaan ini tidak menyebabkan luka atau penyakit dan tidak menyebabkan korban tidak bisa menjalankan aktivitas sehari-harinya.[4]
Jadi, jika tetangga Anda memenuhi unsur-unsur dalam pasal tindak pidana penganiayaan ringan di atas, ia berpotensi dipidana penjara maksimal 3 bulan atau pidana denda maksimal Rp4.5 juta berdasarkan Pasal 352 ayat (1) KUHP. Sedangkan menurut Pasal 471 ayat (1) UU 1/2023, tetangga Anda berpotensi dipidana penjara maksimal 6 bulan atau pidana denda maksimal Rp10 juta.
Namun sebagai informasi, jika penganiayaan tersebut berakibat luka berat atau mengakibatkan kematian korban, maka pelaku berpotensi dipidana berdasarkan Pasal 351 KUHP atau Pasal 466 UU 1/2023, yang mengatur tentang penganiayaan berat. Selengkapnya dapat Anda baca dalam artikel Ini Bunyi Pasal 351 KUHP tentang Penganiayaan.
Namun, jika korban penganiayaan (dalam hal ini korban dicubit) adalah seorang anak yang belum berusia 18 tahun[5], perbuatan mencubit anak oleh tetangga Anda termasuk tindakan kekerasan terhadap anak yang dilarang dalam UU Perlindungan Anak dan perubahannya. Adapun pasal terkait berbunyi sebagai berikut:
Pasal 76C UU 35/2014
Setiap orang dilarang menempatkan, membiarkan, melakukan, menyuruh melakukan, atau turut serta melakukan kekerasan terhadap anak.
Selanjutnya, jika larangan di atas dilanggar, pelaku bisa dijerat Pasal 80 ayat (1) UU 35/2014, dengan ancaman pidana penjara maksimal 3 tahun 6 bulan dan/atau denda maksimal Rp72 juta.
Apabila anak (korban) mengalami luka berat, maka pelaku dipidana penjara maksimal 5 tahun dan/atau denda maksimal Rp100 juta.[6] Sedangkan jika anak meninggal dunia, pelaku dapat dipidana penjara maksimal 15 tahun dan/atau denda maksimal Rp3 miliar.[7]
Lebih lanjut, terhadap keberadaan Pasal 352 KUHP, Pasal 471 UU 1/2023, dan Pasal 76C jo. Pasal 80 UU 35/2014 dapat diterapkan asas atau doktrin lex specialis derogat legi generali, yang artinya hukum khusus menyampingkan hukum umum.[8] Dalam kasus hukum pidana, terdapat tindak pidana umum yang diatur dalam KUHP, dan tindak pidana khusus yang pengaturan hukumnya berada di luar KUHP. Menyambung kasus hukum yang Anda tanyakan, tindak pidana khusus contohnya penganiayaan terhadap anak diatur dalam UU Perlindungan Anak dan perubahannya.
Pada kasus ini, Pasal 76C jo. Pasal 80 UU 35/2014 memiliki karakteristik unsur yang lebih spesifik dibandingkan Pasal 352 KUHP dan Pasal 471 UU 1/2023. Walau demikian, dalam praktiknya penyidik dapat mengenakan pasal berlapis terhadap suatu tindak pidana yang memenuhi unsur-unsur penganiayaan sebagaimana diatur dalam KUHP dan UU 1/2023 serta UU Perlindungan Anak dan perubahannya. Artinya, jika unsur-unsur tindak pidananya terpenuhi, penyidik dapat menggunakan pasal-pasal tersebut.
Langkah Hukum yang Dapat Dilakukan
Apabila Anda hendak memproses perkara ini secara pidana, Anda dapat melaporkan pelaku kepada kepolisian. Cara melapor tindak pidana ke polisi selengkapnya dapat Anda temukan dalam artikel Mau Melaporkan Tindak Pidana ke Polisi? Begini Prosedurnya.
Namun, menurut hemat kami, sebaiknya Anda mengedepankan pendekatan kekeluargaan sepanjang perbuatan tersebut tidak membahayakan anak Anda secara fisik maupun psikis. Kemudian, perlu kami sampaikan bahwa hukum pidana adalah ultimum remedium atau upaya terakhir penegakan hukum, apabila segala upaya seperti perdamaian telah ditempuh.[9] Artinya perkara diutamakan untuk diselesaikan melalui jalur kekeluargaan terlebih dahulu.
Untuk mempermudah pemahaman Anda, kami akan berikan contoh kasus dalam Putusan MA No. 606 K/Pid.Sus/2009. Dalam kasus ini, terjadi penganiayaan terhadap seorang anak yang dilakukan oleh tetangganya, yaitu korban telah dianiaya oleh terdakwa dengan cara mencubit kedua tangan korban, dada, pipi, serta memukul bagian belakang korban serta menendang alat kelamin korban (hal. 1).
Jaksa Penuntut Umum menuntut terdakwa dengan tindak pidana penganiayaan Pasal 351 KUHP dan tindak pidana kekejaman, kekerasan atau ancaman kekerasan atau penganiayaan terhadap anak sebagaimana diatur dan diancam pidana dalam Pasal 80 ayat (1) UU Perlindungan Anak (sebelum diubah oleh UU 35/2014). Dalam amar putusannya, hakim Pengadilan Negeri Makale dalam Putusan No. 04/Pid.B/2008/PN.MKL, memutus bersalah terdakwa dan terdakwa dijatuhkan pidana penjara selama 10 bulan, dan hakim menetapkan pidana tersebut tidak usah dijalani kecuali kalau dikemudian hari dengan putusan hakim diberikan perintah lain atas alasan bahwa terpidana sebelum waktu percobaan selama 1 tahun 6 bulan berakhir telah bersalah melakukan suatu tindak pidana, serta membebani terdakwa membayar biaya perkara sebesar Rp2 ribu (hal. 3). Putusan ini kemudian dikuatkan oleh Pengadilan Tinggi dan Mahkamah Agung.
Demikian jawaban dari kami, semoga bermanfaat.
DASAR HUKUM
Kitab Undang-Undang Hukum Pidana
Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak
Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak
Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2016 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak
Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2016
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2023 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana
Peraturan Mahkamah Agung Nomor 2 Tahun 2012 tentang Penyesuaian Batasan Tindak Pidana Ringan dan Jumlah Denda dalam KUHP
Mas Putra Zenno Januarsyah. Penerapan Prinsip Ultimum Remedium dalam Tindak Pidana Korupsi. Jurnal Yudisial, Vol. 10, No. 3, 2017;
R. Soesilo. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) Serta Komentar-Komentarnya Lengkap Pasal Demi Pasal, Bogor: Politeia, 1991;
Renaldy (et.al). Penerapan Restorative Justice dalam Menyelesaikan Tindak Pidana Penganiayaan di Polsek Balikpapan Selatan. Jurnal Lex Suprema, Vol. 1, No. II, 2019;
Shinta Agustina. Implementasi Asas Lex Specialis Derogat Legi Generali dalam Sistem Peradilan Pidana. Jurnal Masalah-Masalah Hukum FH Universitas Diponegoro, Vol 44, No. 4, 2015.