KlinikBerita
New
Hukumonline Stream
Data PribadiJurnal
Personalisasi
Halo,
Anda,

Segera Upgrade paket berlangganan Anda.
Dapatkan fitur lebih lengkap
Profil
Ada pertanyaan? Hubungi Kami
Bahasa
id-flag
en-flag

Akibat Hukum Perjanjian yang Dibuat dengan Iktikad Buruk

Share
Perdata

Akibat Hukum Perjanjian yang Dibuat dengan Iktikad Buruk

 Akibat Hukum Perjanjian yang Dibuat dengan Iktikad Buruk
Erni Agustin S.H., LL.MPusat Kajian Hukum Bisnis FH Unair

Bacaan 10 Menit

Article Klinik

PERTANYAAN

Apakah setiap perjanjian yang sudah disepakati oleh para pihak itu tetap berkekuatan mengikat, sekalipun salah satu pihak telah melakukan iktikad buruk atau punya niat buruk?

Daftar Isi

    INTISARI JAWABAN

    Prinsip iktikad baik (good faith) adalah salah satu prinsip umum dalam hukum kontrak yang tercermin dalam Pasal 1338 KUH Perdata. Dalam perkembangannya, prinsip iktikad baik tidak hanya diterapkan pada tahap pelaksanaan perjanjian, melainkan juga dalam seluruh fase atau tahapan kontrak sebagai suatu proses yaitu mulai tahap prakontraktual, kontraktual, hingga pascakontraktual.

    Lalu, apa akibat hukum jika ada iktikad buruk pada satu tahap perjanjian?

    Penjelasan lebih lanjut dapat Anda baca ulasan di bawah ini.

    ULASAN LENGKAP

    Terima kasih atas pertanyaan Anda.

    Artikel di bawah ini adalah pemutakhiran dari artikel dengan judul Jika Pihak dalam Perjanjian Beriktikad Buruk yang dibuat oleh Umar Kasim dan pertama kali dipublikasikan pada 5 Desember 2011.

    KLINIK TERKAIT

    Seluruh informasi hukum yang ada di Klinik hukumonline.com disiapkan semata – mata untuk tujuan pendidikan dan bersifat umum (lihat Pernyataan Penyangkalan selengkapnya). Untuk mendapatkan nasihat hukum spesifik terhadap kasus Anda, konsultasikan langsung dengan Konsultan Mitra Justika.

    Prinsip iktikad baik (good faith) adalah salah satu prinsip umum dalam hukum kontrak yang tercermin dalam Pasal 1338 KUH Perdata yang berbunyi:

    Belajar Hukum Secara Online dari Pengajar Berkompeten Dengan Biaya TerjangkauMulai DariRp. 149.000

    Semua persetujuan yang dibuat sesuai dengan undang-undang berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya. Persetujuan itu tidak dapat ditarik kembali selain dengan kesepakatan kedua belah pihak atau karena alasan-alasan yang ditentukan oleh undang-undang. Persetujuan harus dilaksanakan dengan itikad baik.

    Subekti menjelaskan iktikad baik pada saat pembuatan perjanjian berarti kejujuran orang yang beriktikad baik menaruh kepercayaan sepenuhnya kepada pihak lawan, yang dianggapnya jujur dan tidak menyembunyikan sesuatu yang buruk yang di kemudian hari dapat menimbulkan kesulitan-kesulitan.[1] 

    Adapun, menurut J. Satrio dalam artikel Pelaksanaan Suatu Perjanjian: Pelaksanaan Perjanjian dengan Iktikad Baik, asas iktikad baik mau mengatakan bahwa kreditur pada waktu melaksanakan hak-haknya dan debitur pada waktu memenuhi kewajibannya (yang timbul dari perjanjian), harus bertindak (bersikap) dengan mengindahkan (memperhatikan) tuntutan kepantasan dan kepatutan.

    Lebih lanjut, J. Satrio menjelaskan bahwa para pihak dalam perjanjian harus melaksanakan perjanjian sebagaimana yang dituntut dalam pergaulan hidup terhadap orang-orang yang baik dan lumrah, tanpa ada pemerasan, tanpa menghalang-halangi lawa janjinya dalam berprestasi, tanpa menyulitkan dan menyebabkan timbulnya ongkos yang tidak perlu pada lawan janjinya.

    Dalam perkembangannya, prinsip iktikad baik tidak hanya diterapkan pada tahap pelaksanaan perjanjian, melainkan juga dalam seluruh fase atau tahapan kontrak sebagai suatu proses yaitu mulai tahap prakontraktual (negosiasi/perundingan), tahap kontraktual (pembentukan/formation of contract), hingga tahap pascakontraktual (pelaksanaan perjanjian).

    Iktikad Buruk pada Tahap Prakontrak

    Pada tahap prakontrak, pada dasarnya perjanjian belum lahir sehingga para pihak belum terikat perjanjian. Oleh karena itu, jika terdapat iktikad buruk pada tahap prakontrak, maka tidak dapat dinyatakan adanya wanprestasi.

    Namun, apabila terdapat iktikad buruk yang membawa kerugian pada tahap prakontrak, maka pihak yang dirugikan dapat mengajukan upaya pemulihan hak yang didasarkan pada Pasal 1365 KUH Perdata tentang perbuatan melanggar hukum; tentunya apabila unsur-unsur perbuatan melanggar hukum terpenuhi. Pihak yang dirugikan juga harus dapat membuktikan bahwa kerugian yang timbul adalah akibat dari adanya perbuatan dari pihak lawan tersebut.

    Iktikad Buruk pada Tahap Kontraktual

    Berdasarkan Pasal 1320 KUH Perdata, terdapat empat syarat sahnya suatu perjanjian, yakni kesepakatan, kecakapan, suatu hal tertentu, dan sebab (causa) yang diperbolehkan.

    Disarikan dari artikel Ini 4 Syarat Sah Perjanjian dan Akibatnya Jika Tak Dipenuhi, syarat kesepakatan dan kecakapan merupakan syarat subjektif, sedangkan syarat suatu hal tertentu dan sebab yang diperbolehkan merupakan syarat objektif. Pada tahap pembentukan perjanjian, syarat-syarat tersebut haruslah dipenuhi.

    Lebih lanjut, akibat hukum jika syarat subjektif tidak terpenuhi adalah perjanjian dapat dibatalkan. Sementara, jika perjanjian tidak memenuhi syarat objektif, maka perjanjian batal demi hukum.

    Dengan terpenuhinya syarat perjanjian, maka perjanjian mengikat para pihak. Hal ini sebagaimana diatur dalam Pasal 1338 KUH Perdata bahwa semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya.

    Apabila terdapat iktikad buruk pada tahap pembentukan perjanjian, misalnya penipuan (bedrog), paksaan (dwang), atau kekhilafan (dwaling), atau penyalahgunaan keadaan (misbruik van omstandigheden) dalam kesepakatan yang dibuat, maka perjanjian yang dimaksud akan menjadi dapat dibatalkan (voidable/vernietigbaar).

    Upaya yang dapat dilakukan adalah melakukan pembatalan perjanjian karena tidak dipenuhinya syarat subjektif perjanjian. Dengan pembatalan perjanjian, maka kedua belah pihak akan dibawa kembali pada keadaan sebelum perjanjian dibuat.

    Iktikad Buruk pada Tahap Pelaksanaan Kontrak

    Pihak yang beriktikad buruk pada tahap pelaksanaan kontrak dapat diartikan pihak tersebut melakukan wanprestasi.

    Bentuk-bentuk wanprestasi menurut Subekti yaitu:[2]

    1. tidak memenuhi sama sekali prestasi yang telah diperjanjikan;
    2. memenuhi tetapi tidak sebagaimana mestinya;
    3. memenuhi tapi terlambat atau tidak sesuai dengan jangka waktu yang disepakati; dan
    4. melakukan hak yang dilarang dalam perjanjian.

    Akibat wanprestasi yang dilakukan, maka sebagaimana diatur dalam Pasal 1267 KUH Perdata, pihak kreditur dapat memilih untuk memaksa debitur memenuhi perjanjian jika hal itu masih dapat dilakukan, atau menuntut pemutusan perjanjian, dengan disertai penggantian biaya, rugi, dan bunga.

    Dengan demikian, untuk menjawab pertanyaan Anda, maka perlu ditelusuri kembali, iktikad buruk yang Anda maksud berada pada tahap perjanjian yang mana. Sehingga dapat ditentukan apa akibat hukumnya terhadap perjanjian dan upaya hukum apa yang dapat dilakukan oleh pihak yang dirugikan.

    Demikian jawaban dari kami, semoga bermanfaat.

    DASAR HUKUM

    Kitab Undang-Undang Hukum Perdata.

    REFERENSI

    1. Aspek-Aspek Hukum Perikatan Nasional. Bandung: Alumni, Bandung, 1976;
    2. Subekti. Hukum Perjanjian. Jakarta: Intermasa, 1996.

    [1] Subekti. Aspek-Aspek Hukum Perikatan Nasional. Bandung: Alumni, 1976, hal. 26-27

    [2] Subekti. Hukum Perjanjian. Jakarta: Intermasa, 1996, hal. 45

    TAGS

    Punya masalah hukum yang sedang dihadapi?

    atauMulai dari Rp 30.000
    Powered byempty result

    KLINIK TERBARU

    Lihat Semua

    TIPS HUKUM

    Lihat Semua
    logo channelbox

    Dapatkan info berbagai lowongan kerja hukum terbaru di Indonesia!

    Kunjungi

    Butuh lebih banyak artikel?

    Pantau Kewajiban Hukum
    Perusahaan Anda