Akibat Hukum Memarahi Anak di Depan Umum
Bacaan 6 Menit
PERTANYAAN
Pasal manakah yang bisa digunakan untuk menjerat seseorang yang telah mengintimidasi anak/memarahi anak di depan umum?
Pro
Pusat Data
Koleksi peraturan perundang-undangan dan putusan pengadilan yang sistematis serta terintegrasi
Solusi
Wawasan Hukum
Klinik
Tanya jawab gratis tentang berbagai isu hukum
Berita
Informasi dan berita terkini seputar perkembangan hukum di Indonesia
Jurnal
Koleksi artikel dan jurnal hukum yang kredibel untuk referensi penelitian Anda
Event
Informasi mengenai seminar, diskusi, dan pelatihan tentang berbagai isu hukum terkini
Klinik
Berita
Login
Pro
Layanan premium berupa analisis hukum dwibahasa, pusat data peraturan dan putusan pengadilan, serta artikel premium.
Solusi
Solusi kebutuhan dan permasalahan hukum Anda melalui pemanfaatan teknologi.
Wawasan Hukum
Layanan edukasi dan informasi hukum tepercaya sesuai dengan perkembangan hukum di Indonesia.
Catalog Product
Ada Pertanyaan? Hubungi Kami
Bacaan 6 Menit
Pasal manakah yang bisa digunakan untuk menjerat seseorang yang telah mengintimidasi anak/memarahi anak di depan umum?
Intimidasi adalah tindakan menakut-nakuti (terutama untuk memaksa orang atau pihak lain berbuat sesuatu) berupa gertakan atau ancaman. Anak yang diintimidasi akan menderita kekerasan psikis. Pelaku kekerasan psikis pada anak dapat dijerat pidana berdasarkan UU Perlindungan Anak. Penjelasan lebih lanjut dapat Anda simak dalam ulasan di bawah ini. |
Terima kasih atas pertanyaan Anda.
Bentuk Intimidasi
Definisi intimidasi menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (“KBBI”) yang kami akses dari laman Badan Bahasa Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan adalah sebagai berikut:
tindakan menakut-nakuti (terutama untuk memaksa orang atau pihak lain berbuat sesuatu); gertakan; ancaman;
meng·in·ti·mi·da·si, v menakut-nakuti; menggertak; mengancam: alat negara tidak dibenarkan ~ rakyat
Dari definisi mengintimidasi di atas, dapat kita lihat bahwa tidak ada perbuatan kekerasan fisik atau kontak fisik dalam intimidasi. Intimidasi dilakukan dalam bentuk gertakan atau ancaman. Oleh karena itu, kami simpulkan bahwa mengintimidasi atau memarahi anak di depan umum itu tidak dilakukan dengan cara memukul, menampar, mencubit, atau perilaku kontak fisik lainnya.
Jadi, melihat dari bagaimana bentuk intimidasi itu, dapat kita ketahui bahwa mengintimidasi atau memarahi anak merupakan bentuk kekerasan psikis.
Definisi kekerasan psikis dapat kami temukan dalam sebuah tulisan Problema dan Solusi Strategis Kekerasan Terhadap Anak yang kami akses dari laman resmi Pusat Penelitian dan Pengembangan Kesejahteraan Sosial RI Kementerian Sosial (“Kemensos RI”):
“Kekerasan psikis adalah perbuatan yang mengakibatkan ketakutan, hilangnya rasa percaya diri, hilangnya kemampuan untuk bertindak, rasa tidak berdaya, dan/atau penderitaan psikis berat pada seseorang.”
Masih soal perlindungan dari kekerasan psikis, kami juga berpedoman pada Pasal 58 ayat (1) Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia (“UU HAM”):
“Setiap anak berhak untuk mendapatkan perlindungan hukum dari segala bentuk kekerasan fisik atau mental, penelantaran, perlakuan buruk, dan pelecehan seksual selama dalam pengasuhan orang tua atau walinya, atau pihak lain manapun yang bertanggungjawab atas pengasuhan.”
Hak Anak Terbebas dari Kekerasan
Pasal 13 ayat (1) Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak:
“Setiap anak selama dalam pengasuhan orang tua, wali, atau pihak lain mana pun yang bertanggung jawab atas pengasuhan, berhak mendapat perlindungan dari perlakuan:
a. diskriminasi;
b. eksploitasi, baik ekonomi maupun seksual;
c. penelantaran;
d. kekejaman, kekerasan, dan penganiayaan;
e. ketidakadilan; dan perlakuan salah lainnya”
Adapun arti kekerasan adalah setiap perbuatan terhadap Anak yang berakibat timbulnya kesengsaraan atau penderitaan secara fisik, psikis, seksual, dan/atau penelantaran, termasuk ancaman untuk melakukan perbuatan, pemaksaan, atau perampasan kemerdekaan secara melawan hukum.[1]
Menjawab pertanyaan Anda, karena penderitaan psikis merupakan dampak dari perbuatan kekerasan, maka seseorang yang mengintimidasi anak hingga menderita secara psikis dapat dijerat pasal tentang larangan menempatkan, membiarkan, melakukan, menyuruh melakukan, atau turut serta melakukan kekerasan terhadap anak yang terdapat dalam Pasal 76C UU 35/2014.
Ancaman sanksi bagi larangan dalam Pasal 76C UU 35/2014 terdapat dalam Pasal 80 UU 35/2014:
(1) Setiap Orang yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 76C, dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun 6 (enam) bulan dan/atau denda paling banyak Rp72.000.000,00 (tujuh puluh dua juta rupiah).
(2) Dalam hal Anak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) luka berat, maka pelaku dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan/atau denda paling banyak Rp100.000.000,00 (seratus juta rupiah).
(3) Dalam hal Anak sebagaimana dimaksud pada ayat (2) mati, maka pelaku dipidana dengan pidana penjara paling lama 15 (lima belas) tahun dan/atau denda paling banyak Rp3.000.000.000,00 (tiga miliar rupiah).
(4) Pidana ditambah sepertiga dari ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), dan ayat apabila yang melakukan penganiayaan tersebut Orang Tuanya.
Sebagai contoh kasus dapat kita temukan dalam Putusan Pengadilan Negeri Jakarta Timur Nomor 971/Pid.Sus/2013/ PN.Jkt.Tim. Dalam pertimbangannya, hakim mengatakan bahwa ancaman kekerasan merupakan kekerasan dalam bentuk psikologis seperti mengalami ketakutan secara terus menerus, menerima ancaman, membuat seseorang dalam perasaan terhina. Berdasarkan fakta hukum, Majelis Hakim berpendapat bahwa perbuatan terdakwa pergi meninggalkan rumah tempat kediaman bersama, lalu kembali ke rumah untuk mengambil dan membawa dokumen yang antara lain milik saksi FS (anak) merupakan perbuatan yang dikualifikasi sebagai bentuk ancaman psikologis yakni menimbulkan perasaan terancam dan takut.
Hakim memutus terdakwa bersalah berdasarkan Pasal 80 ayat (4) UU Perlindungan Anak dan menyatakan terdakwa telah terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana: “Melakukan Ancaman Kekerasan Terhadap Anak Kandung” dan menjatuhkan pidana penjara selama 8 (delapan) bulan dan denda Rp 500.000,- (lima ratus ribu rupiah).
1. Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia;
2. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak sebagaimana yang telah diubah oleh Undang-Undang Nomor 35 tahun 2014 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak.
Putusan Pengadilan Negeri Jakarta Timur Nomor 971/Pid.Sus/2013/ PN.Jkt.Tim.
http://badanbahasa.kemdikbud.go.id/kbbi/index.php, diakses pada 7 September 2015 pukul 11.31 WIB.
[1] Pasal 1 angka 16 Undang-Undang Nomor 35 tahun 2014 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak (“UU 35/2014”)
KLINIK TERBARU
Dapatkan info berbagai lowongan kerja hukum terbaru di Indonesia!
Butuh lebih banyak artikel?