Saya pernah membaca bahwa penyebutan para pihak dalam perjanjian tidak harus menggunakan sebutan/nama Pihak I dan Pihak II tetapi juga sebutan/nama lain yang disepakati para pihak. Yang penting adalah konsistensi dalam penggunaan sebutan/nama yang telah dipilih dalam suatu perjanjian. Atas hal tersebut, apakah ada dampak jika penulisan sebutan/nama tidak konsisten dalam perjanjian? Terima kasih.
Daftar Isi
INTISARI JAWABAN
Inkonsistensi penulisan sebutan (identitas) para pihak dalam suatu perjanjian dapat mengakibatkan para pihak atau pihak ketiga kesulitan dalam memahami isi perjanjian, sehingga berpotensi menimbulkan perbedaan pemahaman atau pemaknaan kewajiban masing-masing pihak.
Lantas, apakah inkonsistensi penyebutan para pihak itu dapat mengakibatkan perjanjian menjadi batal atau tidak sah?
Penjelasan lebih lanjut dapat Anda baca ulasan di bawah ini.
ULASAN LENGKAP
Terima kasih atas pertanyaan Anda.
Seluruh informasi hukum yang ada di Klinik hukumonline.com disiapkan semata – mata untuk tujuan pendidikan dan bersifat umum (lihat Pernyataan Penyangkalanselengkapnya). Untuk mendapatkan nasihat hukum spesifik terhadap kasus Anda, konsultasikan langsung dengan Konsultan Mitra Justika.
Akibat Hukum Inkonsistensi Penyebutan Para Pihak dalam Perjanjian
Pembuatan perjanjian secara tertulis, baik dengan akta di bawah tangan ataupun akta autentik, selain bertujuan sebagai alat bukti (pembuktian), juga bertujuan untuk memudahkan para pihak dalam memahami kewajiban masing-masing.
Adapun, dalam pembuatan perjanjian (kontrak), wajib diuraikan dengan jelas identitas dan kapasitas atau kewenangan bertindak (komparisi) para pihak. Kami mengambil contoh akta notaris yang diatur di dalam Pasal 38 ayat (1) dan (3) UU 2/2014, bahwa setiap akta terdiri atas awal akta atau kepala akta, badan akta, dan akhir atau penutup akta. Dalam badan akta, memuat:
nama lengkap, tempat dan tanggal lahir, kewarganegaraan, pekerjaan, jabatan, kedudukan, tempat tinggal para penghadap dan/atau orang yang mereka wakili;
keterangan mengenai kedudukan bertindak penghadap;
isi akta yang merupakan kehendak dan keinginan para pihak yang berkepentingan; dan
nama lengkap, tempat dan tanggal lahir, serta pekerjaan, jabatan, kedudukan, dan tempat tinggal dari tiap-tiap saksi pengenal.
Belajar Hukum Secara Online dari Pengajar Berkompeten Dengan Biaya TerjangkauMulai DariRp. 149.000
Umumnya, untuk memudahkan penyebutan atau uraian selanjutnya mengenai identitas para pihak, maka selanjutnya dapat disingkat atau disebut “Pihak I” “Pihak II” atau nama lain yang disepakati.
Penyebutan para pihak tersebut sebagaimana telah Anda sampaikan, harus konsisten digunakan. Apabila terdapat penyebutan yang tidak konsisten maka dapat mengakibatkan:
Para pihak atau pihak ketiga (auditor, advokat, hakim, dan lain-lain) kesulitan dalam memahami isi perjanjian atau kewajiban para pihak sehingga menimbulkan ketidakjelasan atau ketidakpastian;
Hambatan dalam pelaksanaan perjanjian dan tuntutan kewajiban yang telah diperjanjikan;
Dapat memengaruhi keabsahan perjanjian apabila tidak dapat ditentukan dengan jelas objek perjanjian, dan bertentangan dengan peraturan perundang-undangan.
Dengan demikian, inkonsistensi penyebutan para pihak tersebut dapat mengakibatkan sengketa atau perselisihan mengenai pemahaman atau pemaknaan kewajiban masing-masing pihak.
Jika Terjadi Sengketa Akibat Inkonsistensi Penyebutan Para Pihak
Apabila ada inkonsistensi penyebutan para pihak dalam perjanjian, maka dapat dilakukan penafsiran atau interpretasi dalam memahami isi atau kewajiban para pihak dalam perjanjian tersebut. Jika merujuk pada KBBI, penafsiran berarti upaya untuk menjelaskan arti sesuatu yang kurang jelas. Penafsiran atau interpretasi adalah suatu metode untuk mencari atau menemukan makna intrinsik (yang sebenarnya) dari suatu ketentuan, peraturan, pernyataan dan lain-lain. Singkatnya penafsiran bertujuan untuk “melihat yang tersirat daripada yang tersurat”.[1]
Dapat pula diartikan bahwa penafsiran merupakan proses dimana seseorang memberikan makna dari suatu simbol ekspresi yang digunakan oleh orang lain (baik dalam bentuk bahasa lisan, tulisan, dan atau perbuatan).[2]
Adapun, mengenai metode penafsiran perjanjian tersebut diatur di dalam Pasal 1342- 1351 KUH Perdata. Lebih spesifik, Pasal 1348 KUH Perdata menjelaskan bahwa semua janji yang dibuat dalam suatu perjanjian, harus diartikan dalam hubungan satu sama lain; tiap janji harus ditafsirkan dalam rangka perjanjian seluruhnya. Sehingga, apabila ada inkonsistensi penyebutan para pihak dalam perjanjian, maka dapat dilakukan inpretasi atau penafsiran dengan melihat isi perjanjian secara keseluruhan.
Dengan demikian, sepanjang perjanjian para pihak telah memenuhi syarat keabsahan perjanjian sebagaimana diatur dalam Pasal 1320 KUH Perdata, maka ketidaksesuaian penyebutan para pihak dalam perjanjian tidak mengakibatkan perjanjian menjadi batal atau tidak sah. Adapun, untuk menentukan maksud para pihak tersebut dapat menggunakan metode penafsiran atau interpretasi.
Oleh karena itu, mengingat potensi perselisihan yang dapat terjadi, maka dalam menyusun kontrak perlu konsisten dalam penyebutan dan perumusan yang jelas mengenai identitas dan kapasitas bertindak para pihak dalam perjanjian.