Ayah saya memiliki sebidang tanah yang sudah diwakafkan untuk pemakaman umum. Namun, setelah beliau meninggal ada anaknya (ahli waris) yang ingin mengambil tanah wakaf itu kembali. Adakah upaya hukum yang bisa dilakukan ahli waris untuk mengupayakan kembalinya tanah yang sudah diwakafkan itu?
Seseorang yang berwakaf (wakif), maka ia telah melepaskan hak kepemilikannya atas harta benda yang diwakafkan itu. Wakaf yang telah diikrarkan tidak dapat dibatalkan, sehingga dalam kasus Anda, ahli waris wakif tidak bisa atau tidak berhak mengambil tanah wakaf itu kembali (membatalkan wakaf).
Penjelasan lebih lanjut dapat Anda klik ulasan di bawah ini.
Wakaf berasal dari kata (bahasa Arab) waqf, yang memiliki arti: berdiri, berhenti.[1] Secara terminologis, wakaf berarti menyerahkan suatu hak milik yang tahan lama zatnya kepada seorang nadzir (penjaga wakaf) atau kepada suatu badan pengelola, dengan ketentuan bahwa hasil atau manfaatnya digunakan kepada hal-hal yang sesuai dengan ajaran syari’at Islam.[2]
Perlu ditegaskan, benda yang diwakafkan bukan lagi hak milik yang mewakafkan, dan bukan pula hak milik tempat menyerahkan, tetapi ia menjadi hak milik Allah (hak umum). Sehingga dengan adanya ikrar wakaf, maka terlepaslah sudah hubungan hukum kepemilikan benda tersebut dari pemilik awalnya.[3]
Belajar Hukum Secara Online dari Pengajar Berkompeten Dengan Biaya TerjangkauMulai DariRp. 149.000
Perbuatan hukum wakif untuk memisahkan dan/atau menyerahkan sebagian harta benda miliknya untuk dimanfaatkan selamanya atau untuk jangka waktu tertentu sesuai dengan kepentingannya guna keperluan ibadah dan/atau kesejahteraan umum menurut syariah.
Wakaf dapat dilakukan tidak hanya terbatas pada harta benda tidak bergerak seperti tanah dan bangunan, namu wakif dapat pula mewakafkan harta benda yang bergerak, baik berwujud atau tidak berwujud meliputi uang, logam mulia, surat berharga, kendaraan, hak kekayaan intelektual, hak sewa, dan benda bergerak lainnya. [4]
Wakaf bisa diperuntukan bagi sarana dan kegiatan ibadah, pendidikan serta kesehatan. Kemudian bantuan kepada fakir miskin, anak terlantar, yatim piatu, bea siswa. Bisa juga diperuntukkan bagi kemajuan dan peningkatan ekonomi umat, maupun kemajuan kesejahteraan umum lainnya.[5]
Seseorang yang berwakaf berarti telah melepaskan hak kepemilikan, sebab wakaf yang telah diikrarkan tidak dapat dibatalkan.[6] Harta benda yang sudah diwakafkan dilarang:[7]
dijadikan jaminan;
disita;
dihibahkan;
dijual;
diwariskan;
ditukar; atau
dialihkan dalam bentuk pengalihan hak lainnya.
Jika seseorang dengan sengaja melanggar ketentuan di atas diancam pidana dengan Pasal 67 ayat (1) UU Wakaf yang berbunyi:
Setiap orang yang dengan sengaja menjaminkan, menghibahkan, menjual, mewariskan, mengalihkan dalam bentuk pengalihan hak lainnya harta benda wakaf yang telah diwakafkan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 40 atau tanpa izin menukar harta benda wakaf yang telah diwakafkan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 41, dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp 500 juta.
Sehingga menjawab pertanyaan Anda, maka sangat jelas dan tegas bahwa ahli waris tidak bisa atau tidak berhak untuk mengambil tanah wakaf itu kembali (membatalkan wakaf). Hal ini tentu berlaku ketika wakaf telah sah dilakukan dan memenuhi unsur dan persyaratan.
Lain halnya jika ada pelanggaran hukum, misalnya persyaratan wakif seperti dewasa, berakal sehat, tidak terhalang melakukan perbuatan hukum, dan pemilik sah harta benda wakaf ternyata tidak dipenuhi.
Selain itu, misalnya ikrar wakaf ternyata di kemudian hari diketahui dilakukan karena adanya ancaman/paksaan, atau harta benda yang telah diwakafkan ternyata milik orang lain atau telah dialihkan kepemilikannya sebelum ikrar wakaf, dan sebagainya.
Penyelesaian Sengketa
Jika terjadi pelanggaran di atas dan timbul perselisihan, maka upaya penyelesaiannya pertama-tama ditempuh melalui musyawarah untuk mencapai mufakat.[8] Jika sengketa tidak berhasil diselesaikan dengan musyawarah, bisa ditempuh melalui mediasi, arbitrase atau pengadilan.[9]
Mediasi adalah penyelesaian sengketa dengan bantuan pihak ketiga (mediator) yang disepakati oleh para pihak yang bersengketa. Jika mediasi tidak berhasil, sengketa dapat dibawa ke badan arbitrase syariah. Dalam hal badan arbitrase syariah tidak berhasil menyelesaikan, sengketa itu dapat dibawa ke pengadilan agama dan/atau mahkamah syar’iyah.[10]
Adapun dalam KHI, penyelesaian perselisihan terkait benda wakaf dan nadzir diajukan ke Pengadilan Agama setempat sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.[11]
Kewenangan atau kompetensi Pengadilan Agama untuk menyelesaikan sengketa wakaf sesungguhnya sudah ditegaskan oleh Pasal 49 UU 3/2006:
Pengadilan agama bertugas dan berwenang memeriksa, memutus, dan menyelesaikan perkara di tingkat pertama antara orang-orang yang beragama Islam di bidang:
Agus Triyanta dan Mukmin Zakie. Problematika Pengelolaan Tanah Wakaf: Konsep Klasik dan Keterbatasan Inovasi Pemanfaatannya di Indonesia. Jurnal Hukum Ius Quia Iustum No. 4 Vol. 21 Oktober 2014;
[2] Muhammad Daud Ali. Sistem Ekonomi Islam Zakat dan Wakaf. Jakarta: UI-Press, 1988, hal. 80
[3] Agus Triyanta dan Mukmin Zakie. Problematika Pengelolaan Tanah Wakaf: Konsep Klasik dan Keterbatasan Inovasi Pemanfaatannya di Indonesia. Jurnal Hukum Ius Quia Iustum No. 4 Vol. 21 Oktober 2014, hal. 587