Apakah dalam jawaban tergugat dalam gugatan sederhana boleh diajukan eksepsi kewenangan absolut? Dalam Pasal 17 Perma 2/2015 disebutkan tidak bisa mengajukan eksepsi. Bagaimana jika ada putusan akhir hakim yang mengadili menerima eksepsi tergugat mengenai kewenangan absolut? Terima kasih.
Namun di sisi lain, dalam hukum acara perdata, hakim secara ex-officio harus menyatakan diri tidak berwenang mengadili, jika memiliki cukup alasan objektif bahwa perkara termasuk dalam yurisdiksi absolut lingkungan peradilan lain.
Penjelasan lebih lanjut dapat Anda klik ulasan di bawah ini.
Dikutip dari artikel Apa Saja yang Harus Dimasukkan dalam Jawaban Gugatan?, eksepsi kewenangan absolut adalah bantahan tergugat mengenai penggugat yang dinilai salah mendaftarkan gugatannya di pengadilan yang tidak berwenang mengadili perkara yang bersangkutan. Ini berkaitan dengan pembagian lingkungan peradilan dan peradilan khusus.
Belajar Hukum Secara Online dari Pengajar Berkompeten Dengan Biaya TerjangkauMulai DariRp. 149.000
Masih bersumber dari artikel yang sama, misalnya dalam kasus mengenai sengketa pembagian warisan orang yang beragama Islam yang diajukan ke pengadilan negeri (peradilan umum). Tergugat mengajukan eksepsi bahwa pengadilan negeri tidak berwenang mengadili perkara warisan bagi yang beragama Islam sebab itu berada dalam yurisdiksi pengadilan agama.
Disarikan dari buku M. Yahya Harahap yang berjudul Hukum Acara Perdata tentang Gugatan, Persidangan, Penyitaan, Pembuktian, dan Putusan Pengadilan, eksepsi kewenangan absolut menurut Pasal 134 Herzien Inlandsch Reglement (“HIR”) dan Pasal 132 Reglement op de Rechtsvorderin (“Rv”) dapat diajukan kapan saja, sebelum putusan dijatuhkan. Pengajuannya tidak dibatasi hanya pada sidang pertama, tetapi terbuka dalam segala tahap proses pemeriksaan (hal. 420).
Pasal 134 HIR sendiri memungkinkan hakim secara ex-officio menyatakan diri tidak berwenang mengadili:
Jika perselisihan itu suatu perkara yang tidak masuk kekuasaan pengadilan negeri, maka pada setiap waktu dalam pemeriksaan perkara itu, dapat di minta supaya hakim menyatakan dirinya tidak berkuasa dan hakim pun wajib pula mengakuinya karena jabatannya.
Masih dari buku yang sama, M. Yahya Harahap menjelaskan hakim wajib menyatakan tidak berwenang mengadili secara absolut terhadap perkara yang sedang diperiksanya bersifat imperatif, meskipun tergugat tidak mengajukan eksepsi mengenai hal itu (hal. 421).
Dengan demikian, dengan ada atau tidaknya eksepsi, hakim wajib menyatakan diri tidak berwenang apabila cukup alasan objektif bahwa perkara yang dikemukakan dalam gugatan penggugat, termasuk dalam yurisdiksi absolut lingkungan peradilan lain (hal. 421).
Eksepsi Kewenangan Absolut dalam Gugatan Sederhana
Perlu Anda ketahui, hakim melakukan pemeriksaan pendahuluan terhadap materi gugatan sederhana berdasarkan syarat dalam Pasal 3 dan Pasal 4 Perma 4/2019. Hakim menilai sederhana atau tidaknya pembuktian.[1]
Apabila dalam pemeriksaan, hakim berpendapat bahwa gugatan tidak termasuk dalam gugatan sederhana, maka hakim mengeluarkan penetapan yang menyatakan bahwa gugatan bukan gugatan sederhana, mencoret dari register perkara dan memerintahkan pengembalian sisa biaya perkara kepada penggugat.[2]
Menjawab pertanyaan Anda, dalam proses pemeriksaan gugatan sederhana, memang tidak dapat diajukan tuntutan provisi, eksepsi, rekonvensi, intervensi, replik, duplik, atau kesimpulan.[3]
kepala putusan dengan irah-irah yang berbunyi "Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa";
identitas para pihak;
uraian singkat mengenai duduk perkara;
pertimbangan hukum; dan
amar putusan.
Sehingga bila ada kondisi putusan atas gugatan sederhana yang menerima eksepsi yang diajukan tergugat, hal ini dapat menimbulkan putusan yang cacat hukum.
Namun bila hakim menyatakan diri secara ex-officio tidak berwenang sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya, ini bukanlah suatu putusan yang cacat hukum.
Ini dikarenakan apa yang diputus hakim justru berdasar pada ketentuan hukum acara perdata yang tetap berlaku sepanjang tidak diatur secara khusus dalam Perma 2/2015 dan Perma 4/2019.
Sehingga menurut hemat kami, perlu ditelisik lebih mendalam proses persidangan, muatan jawaban tergugat, pertimbangan hukum, dan amar dari putusan gugatan sederhana, hingga berujung pada pernyataan hakim tidak berwenang mengadili tersebut.
Upaya Hukum Keberatan
Adapun apabila penggugat tidak menerima putusan gugatan sederhana dengan dalih adanya cacat hukum seperti yang dimaksud di atas, penggugat bisa mengajukan upaya hukum keberatan.[5]
Keberatan diajukan kepada ketua pengadilan dengan menandatangani akta pernyataan keberatan di hadapan panitera disertai alasan-alasannya.[6]
Permohonan keberatan diajukan paling lambat tujuh hari setelah putusan diucapkan atau setelah pemberitahuan putusan.[7]
Kepaniteraan menerima dan memeriksa kelengkapan berkas permohonan keberatan disertai dengan memori keberatan.[8]
Permohonan keberatan yang diajukan melampaui batas waktu pengajuan dinyatakan tidak dapat diterima dengan penetapan ketua pengadilan berdasarkan surat keterangan panitera.[9]
Putusan terhadap permohonan keberatan diucapkan paling lambat tujuh hari setelah tanggal penetapan majelis hakim.[10] Putusan keberatan merupakan putusan akhir yang tidak tersedia upaya hukum banding, kasasi, atau peninjauan kembali.[11]
Seluruh informasi hukum yang ada di Klinik hukumonline.com disiapkan semata – mata untuk tujuan pendidikan dan bersifat umum (lihatPernyataan Penyangkalanselengkapnya). Untuk mendapatkan nasihat hukum spesifik terhadap kasus Anda, konsultasikan langsung dengan Konsultan Mitra Justika.