KlinikBerita
New
Hukumonline Stream
Data PribadiJurnal
Personalisasi
Halo,
Anda,

Segera Upgrade paket berlangganan Anda.
Dapatkan fitur lebih lengkap
Profil
Ada pertanyaan? Hubungi Kami
Bahasa
id-flag
en-flag

Adakah Batasan Jumlah Gratifikasi?

Share
Pidana

Adakah Batasan Jumlah Gratifikasi?

Adakah Batasan Jumlah Gratifikasi?
Muhammad Raihan Nugraha, S.H.Si Pokrol

Bacaan 10 Menit

Article Klinik

PERTANYAAN

Saya memiliki pertanyaan seputar gratifikasi, yaitu:

  1. Apa itu gratifikasi?
  2. Adakah batasan gratifikasi? Bagaimana kriteria gratifikasi yang dilarang dan tidak boleh diterima?
  3. Apa pebedaan suap dan gratifikasi?

Daftar Isi

    INTISARI JAWABAN

    Pada dasarnya, menurut Pasal 12B ayat (1) UU 20/2001, setiap gratifikasi kepada pegawai negeri atau penyelenggara negara dianggap pemberian suap jika berhubungan dengan jabatannya dan yang berlawanan dengan kewajiban atau tugasnya.

    Lantas, adakah batasan gratifikasi? Bagaimana kriteria gratifikasi yang dilarang dan tidak boleh diterima?

    Penjelasan lebih lanjut dapat Anda baca ulasan di bawah ini.

    ULASAN LENGKAP

    Terima kasih atas pertanyaan Anda.

    Artikel di bawah ini adalah pemutakhiran dari artikel dengan judul sama yang dibuat oleh Letezia Tobing, S.H., M.Kn. dan dipublikasikan pada 24 Juli 2014.

    Seluruh informasi hukum yang ada di Klinik hukumonline.com disiapkan semata – mata untuk tujuan pendidikan dan bersifat umum (lihat Pernyataan Penyangkalan selengkapnya). Untuk mendapatkan nasihat hukum spesifik terhadap kasus Anda, konsultasikan langsung dengan Konsultan Mitra Justika.

    Apa itu Gratifikasi?

    Untuk menjawab pertanyaan Anda mengenai apa itu gratifikasi, kami akan merujuk pada dasar hukum UU Tipikor sebagaimana diubah dengan UU 20/2001.

    Menurut Penjelasan Pasal 12B ayat (1) UU 20/2001, gratifikasi adalah pemberian dalam arti luas, yakni meliputi pemberian uang, barang, rabat (discount), komisi, pinjaman tanpa bunga, tiket perjalanan, fasilitas penginapan, perjalanan wisata, pengobatan cuma-cuma, dan fasilitas lainnya. Gratifikasi tersebut baik yang diterima di dalam negeri maupun di luar negeri dan yang dilakukan dengan menggunakan sarana elektronik atau tanpa sarana elektronik.

    Selain itu, menurut KBBI, gratifikasi adalah uang hadiah kepada pegawai di luar gaji yang telah ditentukan.

    Dari penjelasan di atas, dapat disimpulkan bahwa gratifikasi merupakan pemberian secara luas di luar gaji, baik diterima di dalam negeri maupun di luar negeri, dan yang dilakukan dengan menggunakan sarana elektronik atau tanpa sarana elektronik.

    Adakah Batasan Gratifikasi?

    Menurut literatur berjudul Memahami Gratifikasi yang diterbitkan oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (“KPK”), pengertian gratifikasi dalam Penjelasan Pasal 12B ayat (1) UU 20/2001 mempunyai makna yang netral, artinya tidak terdapat makna tercela atau negatif dari arti kata gratifikasi tersebut. Apabila penjelasan tersebut dihubungkan dengan rumusan Pasal 12B ayat (1) UU 20/2001, dapat dipahami bahwa tidak semua gratifikasi itu bertentangan dengan hukum, melainkan hanya gratifikasi yang memenuhi kriteria dalam unsur Pasal 12B ayat (1) UU 20/2001 saja (hal. 5). Sehingga, untuk mengetahui kriteria gratifikasi yang bertentangan dengan hukum (merupakan kejahatan korupsi), perlu dilihat rumusan Pasal 12B ayat (1) UU 20/2001 sebagai berikut:

    Setiap gratifikasi kepada pegawai negeri atau penyelenggara negara dianggap pemberian suap, apabila berhubungan dengan jabatannya dan yang berlawanan dengan kewajiban atau tugasnya, dengan ketentuan sebagai berikut:

    1. Yang nilainya Rp10 juta atau lebih, pembuktian bahwa gratifikasi tersebut bukan merupakan suap dilakukan oleh penerima gratifikasi;
    2. Yang nilainya kurang dari Rp10 juta, pembuktian bahwa gratifikasi tersebut suap dilakukan oleh penuntut umum.

    Adapun ketentuan pidana gratifikasi bagi pegawai negeri atau penyelenggara negara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12B ayat (1) UU 20/2001 adalah pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara minimal 4 tahun dan maksimal 20 tahun, dan pidana denda minimal Rp200 juta dan maksimal Rp1 miliar.[1]

    Sebagai informasi, ketentuan pidana gratifikasi tidak berlaku, jika penerima melaporkan gratifikasi yang diterimanya kepada KPK, yaitu wajib dilakukan oleh penerima gratifikasi paling lambat 30 hari kerja terhitung sejak tanggal gratifikasi tersebut diterima. KPK dalam waktu paling lambat 30 hari kerja sejak tanggal menerima laporan wajib menetapkan gratifikasi dapat menjadi milik penerima atau milik negara.[2]

    Melihat pada uraian Pasal 12B ayat (1) UU 20/2001 di atas, terlihat bahwa tidak diatur mengenai batasan gratifikasi yang boleh diterima. Pasal tersebut hanya mengatur bahwa setiap gratifikasi kepada pegawai negeri atau penyelenggara negara dianggap pemberian suap jika berhubungan dengan jabatannya dan yang berlawanan dengan kewajiban atau tugasnya.

    Lebih lanjut, dalam Frequently Asked Questions Gratifikasi Online juga ditegaskan bahwa kriteria gratifikasi yang dilarang yaitu:

    1. gratifikasi yang diterima berhubungan dengan jabatan;
    2. penerimaan tersebut dilarang oleh peraturan yang berlaku, bertentangan dengan kode etik, memiliki konflik kepentingan atau merupakan penerimaan yang tidak patut/tidak wajar.

    Untuk memudahkan pemahaman Anda, berikut adalah contoh gratifikasi yang tidak boleh diterima:

    1. terkait dengan pemberian layanan pada masyarakat diluar penerimaan yang sah;
    2. terkait dengan tugas dalam proses penyusunan anggaran diluar penerimaan yang sah;
    3. terkait dengan tugas dalam proses pemeriksaan, audit, monitoring dan evaluasi diluar penerimaan yang sah;
    4. terkait dengan pelaksanaan perjalanan dinas diluar penerimaan yang sah/resmi dari instansi;
    5. dalam proses penerimaan/promosi/mutasi pegawai;
    6. dalam proses komunikasi, negosiasi dan pelaksanaan kegiatan dengan pihak lain terkait dengan pelaksanaan tugas dan kewenangannya;
    7. sebagai akibat dari perjanjian kerjasama/kontrak/kesepakatan dengan pihak lain;
    8. sebagai ungkapan terima kasih sebelum, selama atau setelah proses pengadaan barang dan jasa;
    9. merupakan hadiah atau souvenir bagi pegawai/pengawas/tamu selama kunjungan dinas;
    10. merupakan fasilitas hiburan, fasilitas wisata, voucher oleh pejabat/pegawai dalam kegiatan yang terkait dengan pelaksanaan tugas dan kewajibannya dengan pemberi gratifikasi yang tidak relevan dengan penugasan yang diterima;
    11. dalam rangka mempengaruhi kebijakan/keputusan /perlakuan pemangku kewenangan;
    12. dalam pelaksanaan pekerjaan yang terkait dengan jabatan dan bertentangan dengan kewajiban/tugas pejabat/pegawai; dan lain sebagainya.

    Oleh karena itu, berapapun nilai gratifikasi yang diterima penyelenggara negara atau pegawai negeri, bila pemberian itu patut diduga berkaitan dengan jabatan/kewenangan yang dimiliki, maka sebaiknya penyelenggara negara atau pegawai negeri tersebut segera melapor ke KPK untuk dianalisa lebih lanjut.

    Apa Perbedaan Suap dan Gratifikasi?

    Menjawab pertanyaan Anda terkait apa perbedaan suap dan gratifikasi? Disarikan dari artikel Begini Perbedaan Suap dan Gratifikasi, suap dapat berupa janji, sedangkan gratifikasi adalah pemberian dalam arti luas dan bukan janji.

    Kemudian, dalam suap ada unsur intensi atau maksud untuk mempengaruhi pejabat publik dalam pengambilan kebijakan maupun keputusannya. Sedangkan untuk gratifikasi, diartikan sebagai pemberian dalam arti luas, namun dapat dianggap sebagai suap jika berhubungan dengan jabatannya dan yang berlawanan dengan kewajiban atau tugasnya.

    Selain itu, Prof. Eddy Omar Syarif, Wakil Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia sekaligus Guru Besar Hukum Pidana Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada menerangkan perbedaan suap dan gratifikasi terletak pada ada atau tidaknya meeting of minds pada saat penerimaan. Pada tindak pidana suap, terdapat meeting of minds antara pemberi dan penerima suap, sedangkan pada tindak pidana gratifikasi tidak terdapat meeting of minds antara pemberi dan penerima. Meeting of minds sendiri adalah istilah lain dari konsensus atau hal yang bersifat transaksional.[3]

    Demikian jawaban dari kami, semoga bermanfaat.

    Dasar Hukum:

    Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.

    Referensi:

    1. KPK. Memahami Gratifikasi. Jakarta: Komisi Pemberantasan Korupsi RI, 2021;
    2. KPK. Pengantar Gratifikasi. Jakarta: Direktorat Pendidikan dan Pelayanan Masyarakat Kedeputian Bidang Pencegahan, 2015;
    3. Frequently Asked Questions Gratifikasi Online, diakses pada hari Jumat, 14 Juni 2024, Pukul 16.33 WIB;
    4. KBBI, gratifikasi, diakses pada hari Jumat, 14 Juni 2024, Pukul 17.00 WIB.

    [1] Pasal 12B ayat (2) Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (“UU 20/2001”)

    [2] Pasal 12C ayat (1), (2), dan (3) UU 20/2001

    [3] KPK. Pengantar Gratifikasi. Jakarta: Direktorat Pendidikan dan Pelayanan Masyarakat Kedeputian Bidang Pencegahan, 2015, hal. 16

    TAGS

    Punya masalah hukum yang sedang dihadapi?

    atauMulai dari Rp 30.000
    Powered byempty result

    KLINIK TERBARU

    Lihat Semua

    TIPS HUKUM

    Lihat Semua
    logo channelbox

    Dapatkan info berbagai lowongan kerja hukum terbaru di Indonesia!

    Kunjungi

    Butuh lebih banyak artikel?

    Pantau Kewajiban Hukum
    Perusahaan Anda