Tak Dilibatkan Bahas Revisi UU MD3, DPD Geram
Utama

Tak Dilibatkan Bahas Revisi UU MD3, DPD Geram

Keputusan Baleg dinilai telah menyalahi putusan Mahkamah Konstitusi.

RFQ/YOZ
Bacaan 2 Menit
Foto: RES
Foto: RES
Sejatinya pembahasan sebuah rancangan undang-undang (RUU) dilakukan secara tripatrit atau tiga pihak antara pemerintah, DPR dan DPD sebagaimana putusan Mahkamah Konstitusi pada 2013. Namun, tidak demikian halnya dengan pembahasan Revisi UU No.17 Tahun 2014 tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD (MD3), DPD tak dilibatkan. Hal ini disampaikan Wakil Ketua DPR, Agus Hermanto, di Gedung DPR, Selasa (25/11).

Ia beralasan revisi terhadap UU MD3 terkait dengan kewenangan DPR dan alat kelengkapan dewan. Selain itu, kata Agus, jika melibatkan DPD dikhawatirkan pembahasan bakal berlangsung panjang. Padahal target penyelesaian Revisi UU MD3 pada 5 Desember 2014. “Kalau melibatkan DPD , revisinya tidak akan selesai-selesai, karena akan merembet meluas ke masalah terkait isu-isu DPD dan pembahasannya akan berlarut-larut,” ujarnya.

Politisi Partai Demokrat itu berpandangan, pendeknya waktu pembahasan membuat DPR bekerja ekstra. Pasalnya per tanggal 6 Desember DPR sudah memasuki masa reses. Oleh sebab itu, pembahasan terbatas pada hal yang berkaitan dengan kesepakatan antara Koalisi Indonesia Hebat (KIH) dengan Koalisi Merah Putih (KMP).

Sebagaimana diketahui, KIH dan KMP menyepakati penghapusan sejumlah ayat dalam Pasal 74 dan Pasal 98 UU MD3, yang menyangkut hak interpelasi di tingkat komisi. Soalnya, aturan penggunaan hak interpelasi dalam UU MD3 bersifat mengulang lantaran telah diatur dalam pasal lain. “Sehingga belum saatnya kalau kita harus membahas keterlibatan dengan DPD,” kata Agus.

Ketua Panitia Perancang Undang-Undang (PPUU) DPD, Gede Pasek Suardika, mengatakan ketidakikutsertaan dan ketidakterlibatan DPD dalam revisi UU MD3 merupakan kesalahan. Putusan MK menyatakan bahwa keikutsertaan dan keterlibatan DPD dalam pembentukan UU sebagai konsekuensi norma Pasal 22D ayat (1) UUD 1945.

Jadi, katanya, penyusunan UU merupakan bagian tidak terpisahkan dari hak dan/atau kewenangan DPD dalam mengajukan dan membahas RUU. Oleh karena itu, pembahasan revisi UU MD3 tidak bisa sepihak atau dua pihak saja tapi wajib menyertakan DPD dalam proses legislasi model tripartit. Merupakan pereduksian hak dan/atau kewenangan DPD jika pembahasan revisi UU MD 3 tetap dilaksanakan tanpa keikutsertaan dan keterlibatan DPD sekaligus mengurangi semangat perubahan UUD 1945 guna menciptakan checks and balances dalam pembentukan UU melalui sistem bikameral.

“(Keputusan) ini salah! Kami telah berkomunikasi dengan pimpinan Baleg DPR; tapi tak semuanya, karena ketua sulit ditemui,” ujar Pasek dalam siaran pers yang diterima hukumonline.

Menurutnya, alasan penyusunan UU setidaknya karena kebutuhan membentuk UU yang baru atau UU yang sama sekali belum ada, penggantian UU atau mengganti UU yang lama yang jika perubahan materinya lebih 50 persen maka terjadi penggantian UU, dan perubahan UU atau mengubah UU yang lama jika perubahan materinya kurang 50 persen maka hanya terjadi revisi UU.

“Jika kurang 50 persen, termasuk hanya satu dua tiga pasal, tetap sama namanya, yaitu perubahan undang-undang. Tidak bisa karena materinya hanya terkait DPR, DPR saja yang bahas. Ini perbedaan undang-undang dengan tata tertib. Kalau tata tertib, silakan saja mereka yang bahas,” katanya.

Pasek menegaskan, putusan MK yang memberikan penegasan penafsiran dengan mengabulkan permohonan DPD untuk sebagian atas pengujian materi ayat, pasal, dan/atau bagian UU No.27 Tahun 2009 tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD (UU MD3) serta UU No.12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan (UU P3) terhadap UUD 1945 yang menjelaskan posisi DPD dalam proses legislasi model tripartit.

“Kalau DPR mengkritisi Pemerintah karena tidak mau datang ke DPR, kita mengkritisi DPR karena memaksakan kehendak dan kemauan sendiri tanpa memperhatikan ketentuan yang berlaku: bahwa DPR, DPD, dan Pemerintah harus taat kepada putusan MK. Ketaatan ini bagian dari sumpah/janji kita,” ujarnya.

Pasek juga menyoroti mekanisme pembentukan panitia kerja (panja) revisi UU MD3 dalam Rapat Pleno Baleg DPR, Senin (24/11), yang menyepakati Wakil Ketua Baleg DPR Fraksi Partai Demokrat (F-PD) Saan Mustopa selaku ketuanya.

“Mereka sepakat membentuk panja. Bagaimana mungkin, belum dibawa ke rapat paripurna kok dibentuk panja. Mestinya revisi UU atas persetujuan rapat paripurna, dikembalikan ke komisi atau badan yang menanganinya, kemudian dibentuk panja,” pungkasnya.
Tags:

Berita Terkait